KEMBALI KE DARMARAJA

– Sebuah perjuangan membebaskan buta huruf –

Diceritakan oleh:

DODO SURAPRADJA

Disunting oleh;

KOSASIH SURAPRADJA

PUSTAKA PRIBADI  – 2001

Cerita ini berdasarkan kisah nyata, hanya sebagian nama orang merupakan nama fiktif.

DAFTAR ISI

Prolog . . . .. .. .. .. .. .. .. .. .. … . .. .. .. .     . .. ..

Ayahku. . . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 2

Masa Muda . . .. .. .. .. .. .. .. .. … .. .. .. .. .. ..16

Mantri Guru . .. .. .. .. .. .. .. .. .. . . .. .. .. .. … .. 30

Perang Kemerdekaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 49

Negara ‘boneka’Pasundan .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. … . . . 59

Pendidikan Masyarakat . . .. .. .. .. .. … . .. .. .. .. .. .. 82

Kembali KeDarmaraja . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . 111

Epilog . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. … . .. .. .. .. .. .. 123

Lampiran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 126

P R O L O G

Bila kalian turut memperjuangkan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka adalah hak dan kewajiban kalian, karena kalian adalah pemuda-pemuda Indonesia yang menjadi harapan bangsa.

Pemuda-pemuda bangsa kami pun bersikap demikian ketika tanah air kami dijajah oleh bangsa lain.

Pemuda-pemuda bangsa kami pun memberontak dan mengusir si penjajah dari tanah air kami.

Tetapi kalian harus berpikir logis, mana mungkin bangsa Indonesia bisa merdeka bila 90% rakyatnya masih buta huruf…..!Camkanlah itu…..!

Oleh karena itu, jika kalian ingin memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, setelah keluar dari sekolah ini, berantaslah buta huruf di bumi Indonesia ini…..!

A Y A H KU

1. Sekolah

Ayahku bernama Sastrapradja, lengkapnya Raden Sastrapradja bin Raden Mardja’in Soerapradja,

anak keempat yang dilahirkan oleh pasangan suami-istri Raden Mardja’in Soerapradja dan Nji Raden Atiah. Konon kabarnya, kakekku ini sangat kaya. Karena uangnya sangat banyak, ia menyimpannya di dalam ‘gentong’ (tempayan besar), tempat air yang terbuat dari tanah liat, sehingga ia terkenal dengan sebutan ‘Bapak Gentong’.

Kakek dan nenekku meninggal ketika ayahku masih kecil, sehingga sejak kecil ayahku menjadi yatim-piatu, lalu diangkat anak oleh pamannya, Raden Soerakaria yang ber- istrikan Nji Raden Atimah, tinggal di kampung Ciwangi, desa Cibogo, kecamatan Cadasngampar, kawedanan Darmaraja, kabupaten Sumedang.

Pada suatu hari ayahku diberitahu oleh bapak angkatnya bahwa ayahku masih mempunyai tanah warisan berupa sebidang sawah. Oleh karena itu, bapak angkatnya menganjurkan agar ayahku segera belajar bertani untuk mengolah sawah tersebut.

“Mang,” jawab ayahku setelah mendengar nasihat ayah angkat-nya itu, “kalau hanya sekedar mencangkul, saya sudah mampu melakukannya, yang saya perlukan sekarang ini adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, saya mohon dengan sangat agar saya diizinkan masuk sekolah. Untuk biayanya, saya rela tanah warisan milik saya itu dijual.” (Ayahku memanggil ayah angkatnya ‘mang’ yaitu kata panggilan dari kata ’emang’, ‘amang’ atau ‘mamang’ yang berarti ‘paman’.)

Mendengar jawaban ayahku itu bapak angkatnya kaget, tetapi permintaan ayahku itu

disetujuinya juga. Ayahku diizinkan masuk Sekolah Desa di Situraja yang jaraknya dari Ciwangi

lebih kurang lima belas kilometer. Di Situraja ayahku tinggal pada seorang guru.

Dengan demikian, dalam keluarga kami ayahku menjadi orang pertama yang mendapat

pendidikan formal di sekolah. Ini merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan di

masyarakat bagi keluarga kami.

Setelah menamatkan Sekolah Desa yang lamanya tiga tahun itu, dengan mudah ayahku dapat  menduduki jabatan Juru Tulis Desa di desa Cibogo, suatu jabatan ideal bagi seorang remaja di desaku pada saat itu.

2. H i bah

Bapak angkat ayahku tidak mempunyai anak. Dari bapak angkatnya ayahku mendapat hibah sebidang tanah dan sebuah rumah yang sampai saat itu ditempatinya. Ketika bapak angkatnya meninggal, salah seorang pamannya yang lain menggugatnya dan mengatakan bahwa penghibahan rumah itu kepada ayahku tidak sah.

Karena ayahku tidak mau mengalah dan tidak mau meninggalkan rumah itu, si penggugat main hakim sendiri, rumah itu dirusak-nya dan dibongkarnya.

Kasus ini muncul di pengadilan kawedanan., Wedana bertanya kepada si penggugat, “Apa alasanmu menuduh bahwa penghibahan rumah itu tidak sah?”

“Karena ia Jurutulis Desa, Juragan. Bisa saja ia pura-pura mendapat hibah.” (Kata ‘juragan’ berarti ‘tuan’.)

“Kenapa kamu menuduhnya begitu?”

“Kalau benar-benar ia mendapat hibah rumah itu, coba katakan kapan hibah itu dilakukan dan siapa saksi-saksinya?”

Mungkin si penggugat itu mau menjebak ayahku karena saksi-saksinya sudah meninggal.

“Apakah tertuduh bisa menjawab pertanyaan tadi?” tanya Wedana kepada ayahaku.

“Dapat, Juragan. Manusia itu tidak selalu dapat mengingat-ingat di luar kepala segala sesuatu yang terjadi. Oleh karena itu, untuk menghindari lupa, manusia membuat catatan-catatan. Jadi kalau penggugat menanyakan kapan hibah itu dilakukan dan siapakah saksi-saksinya, tinggal melihat saja surat hibah ini. Di sini tertera tanggal surat hibah ini dibuat beserta nama-nama dan cap jempol saksi-saksinya, serta disahkan dan ditandatangani oleh Kuwu Cibogo,” kata ayahku sambil menyodorkan surat hibah itu kepada Wedana. (‘Kuwu’ adalah ‘kepala desa’.)

“Bagus!” kata Wedana itu gembira. “Ulis benar-benar cerdas. Mari duduknya pindah ke dekat saya. Ulis benar-benar hebat.” (‘Ulis’ adalah kata panggilan sebagai singkatan dari ‘jurutulis’.)

Setelah ayahku pindah duduknya ke dekatnya, Wedana itu berdiri sambil berkata, “Perhatian! Perhatian! Tuduhan terdakwa tidak terbukti, sehingga terdakwa dibebaskan dari segala tuduhan.

Si penggugat sendiri dinyatakan terbukti bersalah karena telah melakukan tuduhan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan telah main hakim sendiri dengan cara merusak dan membongkar rumah orang lain. Untuk kesalahannya itu si penggugat harus masuk penjara dan harus mengganti rumah yang dibongkarnya.”

***

3. K u wu

Setelah beberapa tahun ayahku menjadi Jurutulis Desa di desa Cibogo, Kuwu di desa itu

meninggal. Segera akan dilakukan pemilihan Kuwu baru. Untuk pemilihan Kuwu itu

direncanakan akan diadakan musyawarah dalam pertemuan bulanan pamong desa di desa itu yang biasanya dilaksanakan tiap hari Kamis minggu pertama. Dalam pertemuan kali ini akan diundang seluruh rakyat yang telah dewasa di desa itu.

Sampai sejauh itu belum terdengar adanya calon Kuwu yang dijagokan. Ayahku sebagai

Jurutulis Desa yang tamatan sekolah, andaikata mencalonkan diri, mempunyai peluang besar untuk memenangkan pilihan Kuwu itu. Mungkin saja dalam hati kecilnya, ayahku mempunyai ambisi seperti itu, tetapi karena kerendahan hatinya, ia tidak mem perlihatkannya kepada masyarakat, dan ia tidak mencalonkan diri.

Pada hari Kamis yang ditentukan itu, pagi-pagi ayahku bersiap-siap akan berangkat ke Balai Desa untuk menghadiri pertemuan itu. Ketika akan keluar rumah, ayahku melihat ada taburan tanah merah di depan pintu. Di samping itu diketemukan pula boneka kecil terbuat dari kapas yang diikat dengan rambut. Di pintu belakang pun terdapat pula benda-benda semacam itu. Melihat itu ayahku jadi waspada.

“Ini pasti perbuatan orang yang membenciku dan akan mencelakakanku,” pikir ayahku. “Tetapi, siapa gerangan?”

Ayahku lalu memutuskan akan keluar rumah tanpa melewati ambang pintu seperti biasanya, karena menurut kepercayaan nenek moyang, bila seseorang melangkahi benda-benda tersebut, pasti akan mengalami kesialan atau bahkan kecelakaan. Akhirnya ayahku keluar rumah dengan jalan membobol dinding bambu ruangan depan.

Sesampai di jalan desa, di depan rumah, ayahku bertemu dengan rombongan Camat dari

Cadasngampar, yang juga akan menghadiri pertemuan itu.

“Ulis,” kata Camat, “dalam pertemuan nanti akan diperiksa juga berkas surat-surat dan catatan keuangan pajak. Apakah buku-bukunya sudah dibawa?”

“Belum, Juragan.” jawab ayahku.

“Lebih baik kita ambil dulu,” kata Camat lagi.

Camat beserta rombongannya menyertai ayahku mengambil buku-buku yang dimaksud ke rumah. Setelah buku-buku itu ditemukan ayahku berangkat lagi. Tentu saja keberangkatannya

sekali ini tidak bisa lagi melalui jebolan dinding karena akan mengakibatkan kehebohan bagi Camat beserta rombongananya. Terpaksa ayahku berangkat

melalui pintu biasa, dengan risiko akan mengalami kesialan atau mungkin kecelakaan karena telah melangkahi taburan tanah merah di depan pintu.

“Dalam pertemuan itu Wedana berkata, antara lain, “Seperti kita ketahui, beberapa waktu yang lalu Kuwu desa Cibogo telah meninggal. Sekarang kita harus memilih Kuwu baru sebagai penggantinya. Pertama-tama kita daftarkan dulu calon-calonnya. Pemilihan Kuwu akan kita selenggarakan bulan depan.”

Hadirin diam, tidak ada yang berbicara.

“Ulis, coba maju ke depan dan catatkan siapa-siapa calon Kuwu itu,” katanya kepada ayahku.

Setelah ayahku maju dengan membawa buku catatan, Wedana berkata lagi, “Sekarang kita

mulai. Siapa yang akan mencalonkan Kuwu baru dan siapa calonnya?”

Hadirin diam. Menunggu.

Setelah agak lama menunggu, ada seseorang yang berdiri sambil mengangkat tangan, lalu

berkata, “Saya mencalonkan Jurutulis Desa Sastrapradja!”

Ternyata yang berbicara itu adalah Uwa Haji Amin, yang masih ada kaitan keluarga dengan kami. Ayahku biasa menyebutnya Kang Haji.

“Bagaimana, Ulis?” tanya Wedana, “Apakah Ulis bersedia dicalonkan?”

“Bagaimana kebijaksanaan Juragan saja,” jawab ayah tanda menyetujui.

“Ya, baru muncul seorang calon! Ayo, Ulis! Catat nama Ulis sendiri!” kata Wedana itu lagi.

“Ada calon lain?”

Hadirin diam lagi.

Setelah lama tidak ada yang berbicara, Wedana berkata lagi, “Kenapa cuma ada seorang? Mana calon lain? Kalau hanya seorang, terpaksa kita hanya memajukan cuma seorang calon tunggal.

Kalau begitu, bagaimana kalau Jurutulis Desa Sastrapradja kita kukuhkan saja jadi Kuwu?

Setuju?”

“Setujuuuuu…..!” kata hadirin serempak.

“Kalau semua setuju, hari Kamis bulan depan kita mengadakan petemuan lagi untuk pengukuhan Kuwu baru. Sekarang pertemuan ini kita tutup!”

Baru saja Wedana menutup pertemuan, tiba-tiba ada seseorang berdiri sambil menangkat tangan, lalu berkata, “Saya mengusulkan calon yang lain, yaitu Darmana, anak Kuwu desa Cibogo almarhum!”

“Kenapa tidak dari tadi? Sekarang pertemuan sudah ditutup! Baiklah, kita bicarakan pada

pertemuan yang akan datang saja!” Pertemuan dibubarkan.

Ternyata benar, karena melangkahi taburan tanah merah di depan pintu rumah, ayahku mendapat kesialan, yaitu pengangkatannya menjadi Kuwu jadi terombang-ambing, tidak menentu.

Pertemuan selanjutnya diadakan pada hari Kamis bulan berikutnya.

Ketika ayahku akan keluar rumah, kembali menjebol dinding seperti bulan yang lalu.

Selanjutnya dengan langkah yang mantap dan dengan penuh keyakinan serta percaya diri,

ayahku menghadiri pertemuan itu.

Dalam pertemuan itu Wedana berkata, “Berhubung dengan calon kedua terlambat diajukan, yaitu

ketika pertemuan sudah ditutup, maka calon yang kedua ditolak!”

Setelah berhenti sejenak Wedana melanjutkan berbicara, “Setelah dipertimbangkan dengan seksama, Pemerintah menetapkan, bahwa Sastrapradja, Jurutulis Desa Cibogo, diajukan sebagai calon tunggal. Dan karena pada hari Kamis bulan lalu telah disetujui oleh rakyat yang menghadiri pertemuan, maka dengan ini Sastrapradja dikukuhkan menjadi Kuwu Desa Cibogo…..! Setuju…..?”

Terdengar tepukan tangan dengan teriakan, “Setujuuuuu…..!”

“Dengan ini, kami atas nama Pemerintah mengucapkan selamat kepada Kuwu desa Cibogo yang baru!” kata Wedana itu lagi sambil maju mendekati ayahku yang masih duduk terbengongbengong.

Mendengar teriakan Wedana itu dengan tergopoh-gopoh ayahku berdiri dan maju mendekati Wedana, menerima ucapan selamat dari Wedana, Camat, dan para pejabat lainnya, dengan cara bersalaman yang didahului menyembah.

Dalam kesempatan memberi sambutan, ayahku berkata antara lain “Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kepercayaan Pemerintah yang telah menetapkan saya sebagai Kuwu desa Cibogo. Dengan ini pula, izinkanlah saya mengangkat Darmana sebagai Jurutulis Desa Cibogo.”

Terdengar lagi tepukan tangan tanda setuju.

Ternyata benar lagi. Taburan tanah merah di depan pintu rumah tidak dilangkahi oleh ayahku dan sekarang ayahku sudah menjadi Kuwu desa Cibogo yang sah. Wallahu a’lam bissawab.

***

4. C i t a – c i t a

“Sebenarnya Tata tidak menginginkan jadi Kuwu,” kata ayahku pada suatu hari kepada kami tiga bersaudara, Kang Adjep, Ela (Antria) dan aku sendiri, Dodo.

Kalau berbicara dengan kami ayahku suka menyebut dirinya ‘Tata’ (nama panggilan ‘Tata’ berasal dari nama ayahku: Sastrapradja), demikian juga kami memanggil ayahku seperti itu.

“Tugas seorang Kuwu itu berat sekali,” ayahku melanjutkan pembicaraannya, “harus mengabdi kepada Pemerintah dan sekaligus harus mengabdi kepada rakyat, harus membela Pemerintah dan sekaligus harus membela rakyat. Ini berat sekali, karena keinginan Pemerintah dan keinginan rakyat kadang-kadang tidak sejalan, bahkan ada kalanya bertentangan. Lebih-leih lagi kita bukan mengabdi kepada Pemerintah bangsa sendiri, melainkan kepada Pemerintah Belanda, Kalau sudah begini, Kuwu harus ada di tengah-tengah…..”

Setelah berhenti sejenak, ayahku berbicara lagi, “Sebetulnya Tata ingin menjadi guru, tetapi tidak terlaksana. Oleh karena itu Tata mengharap di antara keturunan Tata kelak, syukur kalau di antara kalian bertiga, ada yang melanjutkan cita-cita Tata ini, ada yang menjadi guru. Guru itu dihormati dan dihargai oleh murid-murid, oleh para orang tua murid, oleh sesama guru, oleh sesama pegawai, bahkan oleh para pembesar, lebih-lebih lagi oleh rakyat. Guru itu dianggap serba bisa dan serba tahu, sehingga menjadi tempat bertanya bagi semua orang. Atas jasa guru, seseorang bisa membaca, bisa menulis, dan bisa berhitung, pokoknya menjadi orang pandai, bahkan bisa menjadi seorang pemimpin. Begitu besar jasa guru sehingga menurut pendapat Tata, sepantasnyalah bila guru itu mendapat bintang jasa.”

Kami bertiga tertunduk diam mendengarkan pembicaraan ayahku. Kata-kata ayahku sangat menyentuh hati kecilku, karena diam-diam sejak lama aku telah mempunyai cita-cita untuk menjadi guru.

“Tata, saya mempunyai cita-cita untuk menjadi guru,” kataku ragu-ragu.

“Bagus, Jang,” kata ayahku. (‘Jang’ adalah singkatan dari kata ‘ujang’, yaitu panggilan untuk lakilaki

muda.) “Tata mendoakan mudah-mudahan cita-citamu bisa tercapai. Tetapi Tata ingin tahu juga, apa sebabnya Dodo mempunyai cita-cita untuk menjadi guru.”

“Begini…..,” jawabku malu-malu, “kalau saya sedang mengerjakan repetisi di kelas, guru saya dengan santai berkeliling sambil menggendong tangan di belakang, memperhatikan murid-murid kalau-kalau ada yang menyontek. Nikmat sekali tampaknya. Lalu saya melamun, kelak ingin menjadi guru seperti guru saya itu.” (‘Repetisi’ adalah ‘ulangan’ atau ‘evaluasi belajar’.)

“Iya, benar juga,” kata ayahku sambil tertawa, “kita bekerja itu harus dengan kenikmatan, jangan merasa terpaksa.”

“Di samping itu,” kata ayahku melanjutkan pembicaraannya, “Tata memberi peringatan kepada kalian bertiga, bahwa seandai-nya rakyat di desa Cibogo ini merasa senang dan puas atas kepemimpinan Tata memimpin desa ini, tentu mereka sudah mengincar salah seorang anak Tata untuk diajukan sebagai pengganti Kuwu desa Cibogo ini bila Tata sudah berhenti kelak. Oleh karena itu, kalian harus waspada. Bila di antara kalian ada yang berminat untuk menjadi Kuwu di desa Cibogo ini, harus bersiap-siap sejak dini, bahkan sejak sekarang mula. Bila di antara kalian

tidak ada yang berminat, harus menjauh dari desa ini, bersekolah jauh-jauh, lalu bekerja di tempat yang jauh, agar rakyat di sini tidak menanti-nanti dan tidak mengandalkan kehadiranmu.”

Kami bertiga termenung, merenungkan kata-kata ayahku.

***

5. Nenek moyang

Pada suatu malam kami bertiga berbincang-bincang dengan ayah.

“Tata,” kata Kang Adjep, “saya mendengar kata orang, keluarga kita ini keturunan Praboe Siliwangi,

Raja Keradjaan Padjadjaran pada masa dulu. Apakah benar?”

“Tidak ada bukti tertulis tentang kebenaran ini. Memang menurut cerita yang Tata dengar, pada zaman dahulu Praboe Siliwangi itu, di samping permaisuri, mempunyai banyak istri yang disebut ‘selir’.

Kata orang, salah seorang selir itu berasal dari daerah kita ini, yaitu dari daerah Pawenang (Wado), bernama Nji Raden Ratna Manintjang Aris Kembang Pramoenggoe. Dari selir ini mempunyai keturunan, entah keturunan yang ke berapa, salah seorang di antaranya bernama

Praboe Djajakoesoemah yang disebut juga Pangeran Bangsit.

Praboe Djajakoesoemah mempunyai anak yang bernama Pangeran Martasinga.

Pangeran Martasinga mempunyai anak, yaitu:

(1) Raden Aria Setjagati, dimakamkan di Tarikolot,

(2) Raden Aria Satjanagara, dimakamkan di Pawenang,

(3) Raden Soetadinata (Pangeran Gagak Sangkoer), dimakamkan di Gunung Gagak Jalu, (4) Nji Raden Lintang Loemajoeng dimakamkan di Karangnunggal (Tasikmalaya),

(5) Dalem Wangsadita (Bupati Limbangan),

(6) Raden Aria Nanggadisoeta, dimakamkan di Pawenang.

Raden Soetadinata mempunyai anak bernama Raden Dipasinga

yang pernah menjadi komandan pasukan pemerintah di bawah pim-pinan Pangeran Kornel pada waktu menumpas pemberontakan Bagoes Rangin di Bantarjati (Jatitujuh).

Raden Dipasinga mempunyai anak bernama Raden Dipalaksana.

Raden Dipalaksana mempunyai anak bernama Raden Dipakerta.

Raden Dipakerta mempunyai anak bernama:

(1) Raden Soeradinata;

(2) Raden Soeranata;

(3) Raden Soerapradja;

(4) Raden Djarim (Embah Djamrong).

Raden Djarim mempunyai anak bernama:

(1) Raden Mardja’in Soerapradja,

(2) Raden Soerakaria,

(3) Raden Soeradinata (Embah Mandor Soera)

(4) Raden Hadji Abdoel Gaos.

Raden Mardja’in Soerapradja menikah dengan Nji Raden Atiah, mempunyai anak, yaitu: (1) Raden Soeradimadja,

(2) Raden Adimadja,

(3) Raden Soemartapradja,

(4) Raden Sastrapradja (Tata sendiri),

(5) Nji Raden Soetidjah,

(6) Raden Winatapradja.

Setelah Nji Raden Atiah meninggal, Raden Mardja’in Soerapradja menikah dengan adik iparnya, Nji Raden Emod, dan mempunyai anak

(7) Raden Natapradja.

Raden Sastrapradja (Tata) mempunyai anak, yaitu kalian berempat:

(1) Raden Saleh,

(2) Raden Adjep,

(3) Nji Raden Antria,

(4) Raden Dodo.”

“Jadi kita ini benar-benar turunan raja, ya?” tanyaku sombong.

“Benar, karena itulah cerita yang diwariskan kepada kita secara turun-temurun,” jawab ayahku,

“tetapi janganlah hal ini menyebabkan kalian menjadi sombong, karena di zaman modern ini bukan waktunya lagi menyombongkan keturunan.”

Di samping silsilah keturunan tadi ada versi lain lagi…..,”

“Bagaimana ceritanya?” tanyaku tak sabar.

“Dengarkan,” kata ayahku memulai ceritanya.

“Ketika Praboe Anggalarang menjadi raja di Padjadjaran mempunyai anak, yaitu:

(1) Praboe Siliwangi (Praboe Soerjakantjana)

(2) Praboe Garbamenak.

Praboe Garbamenak menikah dengan Ratoe Inten Dewata dan mempunyai

anak Raden Angkawidjaja

yang kemudian mendirikan Kerajaan Soemedanglarang dan bergelar Praboe Geusan Oeloen.

Ketika kerajaan Padjadjaran hampir runtuh, Praboe Siliwangi sudah mempunyai firasat tentang hal ini, lalu memanggil orang-orang kepercyaannya untuk menyelamatkan benda-benda keramat milik kerajaan, yaitu Mahkota Kerajaan yang bernama ‘Makuta Binokasih’ dan senjata-senjata kerajaan.

Orang-orang ini disuruh pergi sebelum kehancuran melanda Keradjaan Padjadjaran. Mereka yaitu:

(1) Praboe Djajaperkosa (Embah Sajang Hawoe),

(2) Batara Dipati Widjaja (Nangganan),

(3) Sang Hjang Kondang Hapa,

(4) Praboe Pantjar Boewana (Embah Terong Peot), menuju ke timur.

Sesampainya ke Kerajaan Soemedanglarang mereka menyerahkan Makuta Binokasih dan

senjata kerajaan Padjadjaran kepada Praboe Geusan Oeloen, kemanakan Praboe Siliwangi itu, selanjutnya mereka mengabdi kepada Praboe Geusan Oeloen.

Pada waktu sekarang ini, bila ada orang yang merasa keturunan Sumedanglarang akan mengawinkan anak perempuannya, diperkenankan meminjam Makota Binokasih itu untuk dipergunakan oleh anaknya pada hari pernikahannya.

Pangeran Geusan Oeloen kemudian diganti oleh anaknya,

Raden Adipati Rangga Gede, lalu diganti oleh anaknya lagi,

Raden Adipati Rangga Gempol, yang disebut juga Pangeran Koesoemadinata (Pangeran Panembahan).

Raden Adipati Rangga Gempol diganti oleh anaknya,

Toemenggoeng Tanoemadja, yang mempunyai anak

Raden Koesoemadinata (Pangeran Karoehoen).

Raden Koesoemadinata mempunyai anak:

(1) Nji Raden Radjanagara (menikah dengan Bupati Limbangan, Dalem Wangsadita)

(2) Pangeran Koesoemadinata.

Pangeran Koesoemadinata beranak tiga orang laki-laki dan seorang perempuan yang

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati perempuan yaitu Dalem Istri Radjaningrat

yang menikah dengan Dalem Soerianagara I (anak pasangan Bupati Limbangan Dalem Wangsadita dengan Nji Raden Radjanagara). Selanjutnya Soemedanglarang dipimpin oleh anaknya, Dalem Adipati Soerianagara II yang mempunyai anak

(1) Nji Raden Saria

(2) Dalem Koesoemadinata (Pangeran Kornel).

Nji Raden Saria mempunyai anak,

Nji Raden Ratnakoesoemah yang mempunyai anak,

Raden Wiradipradja. yang mempunyai anak,

Nji Raden Arsaningroem yang menikah dengan Raden Soemintadipoera. Pasangan ini melahirkan:

(1) Raden Soerapradja;

(2) Raden Santapradja,

(3) Raden Bapa Soepinah,

(4) Nji Raden Atiah,

(5) Nji Raden Emod. Nji

Raden Atiah dan Nji Raden Emod menikah dengan Raden Mardja’in Soerapradja. Silsilah

selanjutnya sama dengan yang sudah Tata ceritakan tadi.”

“Hebat juga, ya, nenek moyang kita,” kataku bangga.

“Selain kedua versi tadi, ada juga versi yang lain,” kata ayahku setelah berhenti sejenak.

“Ada lagi?” tanyaku.

“Begini,” kata ayah, “di daerah kita ini pada zaman dahulu ada seorang bupati bernama Dalem Santapoera, yang dimakamkan di Pasarean Tanjungsari, dekat aliran Sungai Cimanuk di sebelah timur kampung Ciwangi ini, mempunyai anak bernama

Raden Djagadipa.

Raden Djagadipa mempunyai anak, Raden Demang Mangkoepra-dja yang menjadi Patih Sumedang.

Raden Demang Mangkoepradja mempunyai anak bernama Raden Raksadipradja yang

mempunyai anak Nji Raden Warsakoesoemah.

Nji Raden Warsakoesoemah mempunyai anak bernama

Nji Raden Arsaningroem yang kawin dengan Raden Soemintadipoera, anak Raden Soerapradja. Selanjutnya silsilahnya sama lagi

dengan yang sudah Tata ceritakan tadi.”

“Ada versi lain lagi, Tata?” tanyaku penasaran.

“Yang Tata ketahui hanya itulah,” jawab ayah tenang.

***

6. D u k u n

Uwa Haji Amin yang mencalonkan ayahku untuk menjadi Kuwu itu, di samping kedudukannya sebagai seorang ulama, terkenal juga sebagai seorang dukun yang suka mengobati orang sakit.

Cara mengobati pasiennya biasanya melalui seorang medium, yaitu menantunya sendiri. Dalam proses pengobatan itu si medium tersebut kesurupan dan kemasukan roh halus yang meminta sesuatu kepada pasiennya sebagai syarat penyembuhan penyakitnya. Yang dimintanya biasanya: ayam, kambing, kain, perhiasan, atau benda-benda lain, tergantung dari keadaan penyakitnya.

Praktek pengobatan seperti itu sangat meresahkan para pejabat, sehingga pada suatu hari ayahku dipanggil ke Kantor Kecamatan di Cadasngampar.

“Saya minta agar Kuwu menahan Haji Amin dan membawanya kemari karena praktek

pengobatannya sudah menjurus ke arah penipuan dan lama-lama pasti akan menjurus ke arah pemerasan,” kata Camat kepada ayahku.

Mendengar perintah Camat itu ayahku merenung sejenak. Bagaimanapun juga Uwa Haji Amin masih terhitung keluarga kami, tetapi perintah harus dilaksanakan.

“Juragan Camat,” kata ayahku, “Haji Amin itu masih ada hubungan keluarga dengan saya. Oleh karena itu, izinkanlah saya menyelesaikannya secara kekeluargaan juga.”

“Terserah Kuwu saja,” kata Camat lagi, “pokoknya saya tidak mau lagi mendengar adanya praktek pengobatan seperti itu.”

Ayahku langsung menemui Uwa Haji Amin.

“Kang Haji, ada yang ingin saya bicarakan,” kata ayahku setelah bertemu dengan Uwa Haji Amin.

“Ada apa, Kuwu?” tanyanya.

“Begini, Kang Haji,” kata ayahku tenang, “bagaimana kalau dalam pangobatan yang dilakukan Kang Haji itu tidak usah melalui medium yang kesurupan itu? Bagaimana kalau, misalnya, dengan doa-doa atau obat-obatan biasa saja?”

“Tapi, ‘kan si pasien tidak pernah mengeluh atau tidak pernah menolak permintaan medium itu?” jawabnya bangga.

“Tapi, kalau hal ini sudah menjadi pokok pembicaraan di Kantor Kecamatan, ‘kan masalahnya jadi lain.”

“Jadi, Kuwu sudah melaporkannya kepada Camat?” tanya Uwa Haji Amin dengan nada marah. “Keterlaluan! Percuma saja akang mencalonkan kamu jadi Kuwu, kalau masalah seperti ini saja harus dilaporkan kepada Camat!”

“Saya tidak tahu, siapa yang melaporkannya, tetapi saya dipanggil ke Kantor Kecamatan dan diperintahkan untuk menahan Kang Haji. Saya berjanji kepada Camat, bahwa persoalan ini akan dapat saya selesaikan secara kekeluargaan dan tidak usah menahan Kang Haji.”

Sejak itu hubungan ayahku dengan Uwa Haji Amin menjadi renggang, bahkan menjadi tegang.

Tetapi dari orang-orang di sekitarnya ayahku mendapat kabar, bahwa sejak itu pula praktek pengobatannya berubah, yaitu tidak lagi dengan perantaraan medium, melainkan dengan doa-doa dan obat-obatan tradisional saja.

***

7. Fi tn a h

Pada suatu hari ayahku mendapat surat dari Camat yang mengatakan bahwa ada orang-orang yang merasa tidak puas terhadap ketaatan ayahku terhadap agama. Hal ini akan

dimusyawarahkan dalam pertemuan bulanan di Balai Desa pada hari Kamis yang akan datang.

Pada hari yang telah ditentukan itu telah berkumpul di Balai Desa: Camat, polisi, ayahku,

pamong desa, dan lebih kurang lima puluh orang penduduk desa Cibogo yang bermaksud

menyatakan ketidakpuasannya terhadap ayahku.

“Apakah yang akan kalian kemukakan?” tanya Camat kepada mereka.

Salah seorang maju dan berkata, “Kami merasa kecewa tentang ketaatan Kuwu terhadap agama. Ia sering tidak mengikuti sholat Jumat. Kami minta agar ia dipecat dari jabatannya.”

“Bagaimana, Kuwu?” tanya Camat kepada ayahku.

Ayahku berpikir sejenak, lalu berkata, “Memang benar, sudah satu bulan ini saya tidak sholat Jumat di mesjid desa Cibogo karena saya sakit dan ada tugas-tugas yang harus sepat diselesika di Cadasngampar dan di Darmaraja, sehingga saya sholat di sana. Di luar halangan itu saya tidak pernah meninggalkan sholat Jumat di masjid desa Cibogo.”

“Nah, para hadirin, Kuwu memang kadang-kadang tidak sholat Jumat di mesjid desa Cibogo, yaitu ketika ada halangan. Tetapi yang mengherankan saya, mengapa masalah sekecil ini begitu dibesar-besarkan. Mengapa kalian tidak sekalian saja mengadu, apa sebabnya Ratu Wilhemina tidak pernah sholat Jumat? Mengapa kalian tidak minta, agar Ratu Wilhelmina dipecat dari jabatannya sebagai Ratu Kerajaan Belanda?” kata Camat kesal. (Ratu Wilhelmina adalah Ratu Kerajaan Belanda yang pada waktu itu menjajah Indonesia.)

Setelah berhenti sebentar Camat berkata lagi, “Di balik itu, saya jadi tidak habis pikir. Siapa sebenarnya yang menyuruh kalian untuk melakukan unjuk rasa seperti ini?”

Hadirin diam, tidak ada yang menjawab.

“Ayo, jawab! Siapa yang mendalangi kalian?” taya Camat dengan nada marah. “Siapa

sebenarnya yang berdiri di belakang kalian?”

Salah seorang di antara hadirin perlahan-lahan berdiri dan berkata, “Kami disuruh oleh…..,

oleh…..”

“Oleh siapa?” tanya Camat semakin marah.

“Oleh….., oleh Haji Amin, Juragan,” jawab orang itu sambil meringis.

“Haji Amin? Lagi-lagi Haji Amin! Mau apa lagi dia? Ada-ada saja! Ayo, Polisi! Tangkap

mereka! Cari dan tangkap juga Haji Amin! Hadapkan mereka ke Kantor Kecamatan! Masukkan ke tempat tahanan di Kecamatan!” perintah Camat kepada Polisi yang ada di situ. “Kalian saya tuduh sebagai pengacau yang meresahkan masyarakat!”

Pertemuan dibubarkan. Semua pengunjuk rasa itu digiring Polisi ke Kantor Kecamatan di

Cadasngampar. Ayahku mengikutinya.

Melihat ayahku mengikutinya, Camat berkata, “Kuwu tidak usah ikut. Ini sudah bukan persoalan Kuwu lagi. Ini sudah menjadi persoalan antara Pemerintah dengan para terdakwa yang mengacaukan masyarakat!”

“Tetapi saya adalah Kuwu di desa ini, Juragan. Rakyat saya sedang berada dalam kesukaran. Saya harus membantunya,” kata ayahku tegas.

Mendengar jawaban ayahku yang tidak diduganya itu, Camat dan rombongan, termasuk para pengunjuk rasa itu terperangah.

Camat berkata lagi sambil mengangguk-anggukkan kepala, “Kuwu benar. Kuwu harus

membantu meringankan beban rakyatnya yang sedang berada dalam kesukaran.”

Perjalanan dari Balai Desa Cibogo ke Kantor Kecamatan Cadasngampar harus melalui Sungai Cimanuk yang tidak berjembatan. Penyeberangan dilakukan memakai perahu. Karena pada waktu itu Sungai Cimanuk sedang banjir, ayahku memegang komando penyebe-rangan agar tidak terjadi kecelakaan. Atas perintah ayahku, perahu yang biasanya bisa memuat sepuluh orang, waktu itu hanya boleh diisi lima orang saja. Tentu saja penyeberangan berlangsung dengan lambat.

Setelah semuanya selamat sampai ke seberang, Camat menepuk-nepuk bahu ayahku sambil berkata, “Kuwu adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab.”

Di Kantor Kecamatan diadakan pemeriksaan terhadap semua pengunjuk rasa itu. Akhirnya mereka mengakui bahwa dirinya bersalah dan mohon pengampunan. Camat, atas nama Pemerintah, mengampuni kesalahan mereka setelah memberi nasihat agar mereka jangan mengulangi lagi hal seperti itu.

***

8. B er z i a r a h

Pada suatu Hari Raya Idulfitri kami sekeluarga beriarah ke makam leluhur kami dengan

melewati sawah. Kami harus berjalan di atas pematang sawah. Dari arah yang berlawanan datang rombongan paman ayahku yang dulu pernah menggugat penghibahan rumah dari bapak angkat ayahku kepada ayahku. Mereka juga pulang berziarah dari tempat yang akan kami tuju, karena leluhur kami memang sama.

Melihat ada rombongan kami, rombongan mereka menyimpang dari pematang yang biasa dilalui orang, ke pematang yang lebih kecil, hingga langkah mereka tersaruk-saruk menyangkutnyangkut tanaman yang ada di pematang itu.

Melihat hal itu, ayahku berteriak, “Hai, kenapa jalannya ke situ? Nanti terjatuh! Lagi pula, ini ‘kan hari Lebaran. Kita belum bersalaman!”

“Ah, masa mau Jang Kuwu bersalaman dengan keluarga kami!” kata paman ayahku itu.

“Ah, masa,” kata ayahku lagi, “masa di hari Lebaran yang suci ini ada orang yang tidak mau bersalaman untuk bermaaf-maafan. Ayo, ke sini jalannya!”

Ayahku berdiri tegak menunggu mereka dan setelah bertemu, keluarga kami dan keluarga

mereka bersalam-salaman dan berpeluk-pelukan dengan akrab. Maka hilanglah ketegangan yang telah bertahun-tahun memisahkan keluarga kami dengan keluarga mereka.

***

9. R a c u n

Permasalahan dengan Uwa Haji Amin tidak berhenti sampai masalah dukun dan unjuk rasa saja.

Pada suatu hari ayah dan ibuku mendapat undangan dari Uwa Haji Amin untuk berekreasi sambil menangkap ikan di kolamnya. Setelah mendapat ikan mas yang besar-besar yang langsung dibakar, ayah dan ibuku makan-makan di dangau-dangau yang terletak di tepi kolam itu bersama keluarga Uwa Haji Amin.

Setelah makan, kepada ayah dan ibuku disuguhkan air kopi. Ketika ayahku meminumnya, ibuku melihat air kopi di gelas ayahku seperti berminyak. Ayahku baru saja minum seteguk ketika ibuku pura-pura menyenggol gelas yang dipegang ayahku, hingga air kopinya tumpah semua.

Air kopi ibuku sendiri sama sekali tidak diminumnya.

Ketika ayah dan ibuku pulang, sesampai di tangga rumah, ayahku muntah-muntah, lalu terjatuh dan badannya menjadi lemas. Sambil berbaring di tempat tidur ayahku berkata, “Muntahanku di tangga itu jangan dibuang dulu, tunggu sampai Dodo datang. Nanti kalau Tata meninggal, suruh Dodo memeriksakannya ke laboratorium.” Pada waktu itu aku sudah menjadi Mantri Guru Vervolgschool (sekarang SD kelas 4 dan 5), di Sukahaji (Majalengka). ‘Mantri Guru’ adalah ‘Kepala Sekolah’.

Kata-kata ayahku ternyata sampai juga kepada Uwa Haji Amin. Hari itu juga datang suruhan dari Uwa Haji Amin yang meminta maaf atas kejadian itu dan menanyakan tentang kesehatan ayahku. Di samping itu, suruhannya itu dibekali obat pemunah racun untuk menyembuhkan keracunan yang diderita ayahku. Dalam bebe-rapa saat saja ayahku sudah sehat kembali seperti sedia kala. Sebelum pulang suruhan itu minta agar diizinkan membuang mun-tahan ayahku di tangga itu. Ayahku mengizinkannya.

***

10. Kh i t a n a n

Pada hari tuaku, ketika akan mengkhitan kedua orang anakku, Kosasih dan Koeswara, di rumah ayahku di Ciwangi, aku bertemu dengan Uwa Haji Amin di jalan.

“Hai, Uwa Haji,” tegurku, “apa kabar?”

“Baik, Jang,” jawabnya keheran-heranan. Mungkin ia tidak menduga akan ditegur olehku, karena keluarga kami dengan keluarganya sudah bertahun-tahun tidak saling menegur.

“Begini Uwa Haji,” kataku kemudian, “beberapa hari lagi saya akan mengkhitan dua orang anak laki-laki saya. Uwa Haji ‘kan bisa mengatur hiburannya. Tolong hajatan kami ini dimeriahkan dengan atraksi-atraksi hiburan yang menarik, terutama permainan dan perlombaan untuk anakanak.”

“Insya Allah, Jang,” jawabnya.

Pada waktu khitanan anakku itu Uwa Haji Amin benar-benar menepati janjinya, datang dan memeriahkan acara khitanan anak-anakku dengan bermacam-macam atraksi hiburan dan perlombaan anak-anak, bersama-sama kemanakanku, M. Djamoeh.

Pesta khitanan anak-anakku sangat ramai. Setelah pada siang harinya dimeriahkan dengan acara anak-anak, pada malam harinya dimeriahkan dengan acara orang dewasa yaitu tayuban dengan mengundang si Entjas, ronggeng yang sangat populer pada saat itu. Wedana, Camat, beserta para pejabat yang diundang sangat asyik menari sampai pagi.

Semenjak itu hubungan keluarga kami dengan keluarga Uwa Haji Amin yang sempat tegang beberapa lama, menjadi baik lagi.

***

11. B at u

Ayahku mempunyai sebuah batu yang kulitnya licin berwarna coklat muda sebesar kepalan bayi berbentuk bulat agak pipih. Menembus batu itu terdapat lubang kecil, yang bila ditusuk dengan kawat yang keras tidak bisa tembus, tetapi bila ditusuk dengan kawat yang halus akan bisa tembus, karena lubang di dalam batu itu berlku-liku.

Ayahku percaya bahwa batu itu mempunyai kekuatan magis, hingga selalu dibawanya ke manamana, katanya, untuk menjaga diri.

Pada suatu hari ayahku mendapat laporan bahwa ada seorang gila mengamuk. Ayahku datang sambil tidak lupa membawa batu itu. Ketika melihat ayahku datang, orang gila itu berhenti mengamuknya.

“Ke sini sebentar,” kata ayahku tenang sambil menyentuhkan batu itu ke tangan orang gila itu,

“mari kita menghadap Juragan Wedana di Darmaraja.”

Orang gila itu diam saja.

“Tetapi kalau menghadap Juragan Wedana tanganmu harus diikat,” kata ayahku lagi.

Orang gila itu masih tetap diam, lalu tangannya diikat. Kemudian ayahku membawanya

menghadap Wedana di Darmaraja.

Sesampai di Kantor Kawedanan di Darmaraja, ayahlu berkata, “Sekarang ikatan tanganmu dibuka saja dan kamu harus menginap di kamar itu.” Ayahku menunjuk kamar tahanan yang terdapat di halaman Kantor Kawedanan itu. Setelah orang itu masuk, pintunya dikunci dari luar.

Tidak lama kemudian Wedana datang melihat tahanan itu lewat jeruji pintu kamar tahanannya.

Ketika Wedana memperhatikannya, tiba-tiba, “Cuh!” orang itu meludahi muka Wedana itu…..

Cerita lain tentang batu itu adalah ketika anakku, Kosasih, yang berumur 12 tahun, sakit keras di Wado, batu itu kusentuhkan ke keningnya. Anakku tiba-tiba berteriak, “Aduuuuuh, dingiiiiin…..”

Tidak lama kemudian anakku sembuh.

Mengingat keampuhannya, maka batu itu oleh ayahku akan diberikan kepada anak atau cucunya yang kedudukannya atau tugasnya dianggap berbahaya. Mula-mula diberikannya kepadaku,

kemudian karena aku tidak memerlukannya, kuberikan kepada menantuku, Kapten TNI/AU A.Gunawan. Setelah ia menganggap tidak memerlukannya, akhirnya batu itu diberikan kepada kemenakanku Brigjenpol M. Djamoeh. Setelah itu batu itu hilang. Entah ke mana… Wallahu a’lam bissawab.

***

12. Ramalan Napoleon

Pada suatu waktu aku memperoleh buku “Ramalan Napoleon” dalam bahasa Sunda, yang

diterjemahkan dari bahasa Inggris melalui bahasa Indonesia. Buku aslinya bernama “Napoleon’s Book of Fate and Oraculum” diterbitkan oleh W. Foulsham & Co. Limited di London.

Salah satu bab dalam buku itu menceritakan tentang ‘Sabda Dewa’. Dalam bab ini diceritakan bahwa bila pada suatu hari Kaisar Napoleon dari Perancis itu akan melakukan suatu kegiatan,

ia selalu meramal nasibnja. Bila menurut ramalannya ia tidak akan berhasil, maka ia tidak

melakukan kegiatan itu. Sebaliknya, bila menurut ramalannya ia akan berhasil, barulah ia

melakukan kegiatan pada hari itu. Dan ia pasti berhasil. Cara meramalnya diceritakan dalam bab ini.

Dalam bab ini ditampilkan 16 pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari.

Bila kita ingin menanyakan salah satu masalah di antara 16 pertanyaan tadi, kita harus membuat empat baris titik. Penulisan titik-titik itu tidak boleh kita hitung, sehingga dari tiap baris itu kita akan memperoleh sembarang jumlah titik yang ‘ganjil’ atau ‘genap’. Dengan demikian kita akan memperoleh 16 kemungkinan (ganjil-genap) dari empat baris yang kita buat sembarang itu, misalnya:

baris ke-1: ganjil (.)

baris ke-2: ganjil (.)

baris ke-3: ganjil (.)

baris ke-4: ganjil (.)

atau mungkin:

baris ke-1: ganjil (. )

baris ke-2: genap (..)

baris ke-3: ganjil (. )

baris ke-4: genap (..)

atau mungkin juga:

baris ke-1: genap (..)

baris ke-2: genap (..)

baris ke-3: genap (..)

baris ke-4: ganjil (. )

dan seterusnya.

Setelah kita peroleh kombinasi ganjil-genap dari empat baris yang kita buat itu, lalu kita

sesuaikan kombinasi yang kita peroleh itu dengan kombinasi jawaban yang tersedia dalam buku itu sebagai jawaban. Tiap pertanyaan mempunyai 16 jawaban. Salah satu di antaranya akan menjadi jawaban atas pertanyaan kita.

Buku ini kuberikan kepada ayahku.

Kalau ada seseorang yang berkeluh kesah kepada ayahku tentang nasib, perjodohan, barang hilang dan lain-lain, maka ayahku menyuruh orang itu membuat empat baris titik-titik.

Setelah memperoleh kombinasi ganjil-genap dari empat baris yang dibuat orang tersebut, ayahku masuk ke dalam kamar, mencari jawabannya dari buku “Ramalan Napoleon” dan setelah mendapat jawaban dari buku itu, ayahku keluar dan memberitahukannya kepada si penanya tadi. Mau tidak mau, si penanya harus puas dengan jawaban yang diberikan ayahku.

Maka tersiarlah kabar bahwa ayahku menjadi ‘orang pintar’ yang bisa meramal. Banyak tamu yang datang menanyakan nasibnya sambil tidak lupa membawa oleh-oleh untuk ayahku.

***

13. Tujuh Bersaudara

Dari pernikahannya dengan Nji Raden Atiah, Raden Mardja’in Soerapradja mempunyai enam orang anak. Setelah Nji Raden Atiah meninggal, Raden Mardja’in Soerapradja menikah dengan

adik iparnya, Nji Raden Emod, dan mempunyai seorang anak lagi. Dengan demikian Raden

Mardja’in Soerapradja mempunyai tujuh orang anak, yaitu:

(1) Raden Soeradimadja,

(2) Raden Adimadja,

(3) Raden Soemartapradja,

(4) ayahku, Raden Sastrapradja,

(5) Nji Raden Soetidjah,

(6) Raden Winatapradja,

(7) Raden Natapradja.

Empat orang di antaranya, dalam waktu yang hampir bersamaan, menjadi kuwu di wilayah Kawedanan Darmaraja, yaitu:

(1) Raden Soemartapradja, kuwu desa Ciboboko (kecamatan Cadas-ngampar),

(2) ayahku, Raden Sastrapradja, kuwu desa Cibogo (kecamatan Cadasngampar),

(3) Raden Winatapradja, kuwu desa Wado (kecamatan Wado),

(4) Raden Natapradja, kuwu desa Ciranggem (kecamatan Cadasngampar).

Dapat kita bayangkan, betapa bahagianya hati seorang ayah yang dapat membesarkan dan

mempersembahkan sekaligus empat orang anaknya sebagai kuwu kepada masyarakat kawedanan Darmaraja.

Sehubungan dengan akan dibangunnya Waduk Jatigede di kecamatan Cadasngampar dan

sekitarnya, maka kawasan itu akan terendam air. Untuk menyelamatkan makam para leluhur dari genangan air waduk tersebut, maka makam para leluhur yang terletak di daerah (bakal) genangan waduk tersebut dipindahkan ke tempat baru, yaitu ke perbukitan kampung Cigembor, sebelah selatan Darmaraja, milik keluarga bibiku Nji Raden Soetidjah.

Dengan demikian, kini Raden Mardja’in Soerapradja bin Raden Djarim yang lebih dikenal dengan nama ‘Bapak Gentong’ itu, menghuni ‘Makam Keluarga Cigembor’, Darmaraja, didampingi ayah-ibunya (Raden Djarim dan Uyut Eneng), beserta kedua orang istrinya (Nji Raden Atiah dan Nji Raden Emod), bersama adiknya (Raden Soerakaria), dan empat orang

anaknya (Raden Soeradimadja, ayahku Raden Sastrapradja, Nji Raden Soetidjah, dan Raden Natapradja).

Selanjutnya makam ini dihuni pula oleh keturuan dan kerabat lainnya.

*****

M A S A M U D A

1. C i w a n g i

Namaku Dodo.

Nama ayahku Raden Sastrapradja bin Raden Mardja’in Soerapradja dan

ibuku Njimas Natamoelia.

Aku dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1908 di Ciwangi.

Ayahku menjadi Kuwu di desa Cibogo, kecamatan Cadasngampar, kawedanan Darmaradja, kabupaten Sumedang.

Aku merupakan anak bungsu dari empat orang bersaudara.

Kakakku yang pertama, laki-laki,

Raden Saleh bin Raden Sastrapradja, meninggal ketika masih kecil dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Batununggul’, Darmaraja.

Kakakku yang kedua, laki-laki, Raden Adjep, dan

kakakku yang ketiga, perempuan, Nji Raden Antria, yang biasa dipanggil Ela.

Kalau ayahku harus bersekolah ke Sekolah Desa di Situraja yang jaraknya lebih kurang lima belas kilometer dari Ciwangi, aku merasa beruntung karena tidak usah sekolah sejauh itu. Dua tahun setelah aku dilahirkan, di Darmaraja, yang jaraknya dari Ciwangi hanya lebih kurang lima kilometer saja, didirikan Sekolah Desa. Di sanalah, enam tahun kemudian, aku bersekolah.

Aku tinggal pada Uwa Ita, kakak kandung ibuku, di kampung Cipicung (Darmaraja). Tiga tahun

kemudian aku menamatkan sekolah itu. Kemudian aku melanjutkan sekolah ke Vervolgschool (Sekolah Sambungan) yang lamanya dua tahun, di Darmaraja juga.

Setelah tamat sekolah, oleh ayahku aku dititipkan di rumah Kang Setja, kakak sepupuku, anak Uwa Raden Soeradimadja yang menjadi guru di Jakarta, dengan harapan dapat dimasukkan ke HIS (Hollandse Inlandse School). HIS adalah sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak pegawai pemerintah dan para bangsawan Bumiputera. Lama belajar di HIS tujuh tahun dan mendapat pelajaran bahasa Belanda.

Sesampainya di Jakarta, entah apa sebabnya, aku tidak disekolahkan, tetapi disuruh tinggal saja di rumah membantu-bantu kakak sepupuku suami-istri. Mengetahui hal itu, Uwa Ita menjemputku dari Jakarta dan membawa pulang ke Ciwangi.

“Kalau hanya untuk menjadi pembantu rumah tangga saja, tidak usah jauh-jauh ke Betawi, tinggal saja di rumah,” kata Uwa Ita kecewa. (‘Betawi’ adalah nama kota ‘Jakarta’ pada waktu itu.)

Sepulang dari Jakarta aku dikirim ke Garut untuk mengikuti ujian masuk ke Normaalschool, yaitu sekolah lanjutan untuk mendidik calon guru bantu pada Vervolgschool atau Sekolah Kelas II.

Karena perawakanku kecil, belum apa-apa aku sudah ditolak dengan alasan belum cukup umur.

“Kalau begitu, tunggu saja ujian masuk tahun depan,” usul ayahku, “dan Dodo tidak usah ikut pulang ke Ciwangi, tinggal saja di Garut.”

***

2. G a rut

Aku tinggal di Garut pada Juragan Ahmad, seorang guru Leerschool (Sekolah Latihan) sambil bersekolah lagi, mengulang di kelas lima, pada Leerschool tersebut.

Ketika mendaftarkan untuk mengikuti ujian masuk ke Normaalschool tahun berikutnya, aku ditolak lagi dengan alasan yang sama, belum cukup umur.

Menyaksikan kejadian ini, Kang Adjep, kakakku yang sudah duduk di kelas empat

Normaalschool, memberanikan diri membawaku menghadap Panitia Penerimaan Murid yang diketuai oleh Patih Garut, Aom Ogog. (‘Aom’ adalah gelar bagi anak laki-laki Bupati.)

“Hm….., kamu siapa?” tanya Aom Ogog berwibawa.

“Nama saya Adjep, Juragan” jawab Kang Adjep khidmat sambil meyembah, “murid kelas empat pada Normaalschool di sini.”

” Hm….., ada apa?” tanyanya kemudian.

“Juragan, adik saya ini tahun yang lalu mendaftarkan untuk mengikuti ujian masuk

Normaalshool, tetapi ditolak dengan alasan belum cukup umur, padahal ia sudah cukup umur, hanya per-awakannya saja kecil. Kemudian disuruh menunggu sampai tahun berikutnya,” kata Kang Adjep.

“Terpaksa adik saya menunggu dan tinggal di Garut. Dan sekarang ia ditolak lagi

dengan alasan yang sama. Saya mohon kebijaksanaan Juragan.”

“Hm….., menunggu dan tinggal setahun di Garut?” tanya Aom Ogog sambil manggut-manggut, “memangnya orang tuamu berasal dari mana?”

“Dari kabupaten Sumedang, Juragan. Ayah kami Kuwu di desa Cibogo, kawedanan Darmaraja.”

“Hm….., aku pun orang Sumedang. Lalu, selama di Garut tinggal di mana?”

“Pada Juragan Ahmad, guru pada Leerschool, Juragan.”

“Hm….., jadi adikmu itu sebetulnya sudah cukup umur, ya? Cuma perawakannya saja yang kecil, ya?” kata Aom Ogog lagi sambil tersenyum.

“Betul, Juragan” jawab kakakku harap-harap cemas. Aku pun gelisah, harap-harap cemas.

“Hm….., kalau begitu, boleh mengikuti ujian masuk.”

“Terima kasih, Juragan,” kata kakakku, lalu kami mohon izin untuk pulang sambil menyembah.

Dengan izin Ketua Panitia Penerimaan Murid, yang bangsawan Sumedang itu, aku

diperkenankan mengikuti ujian masuk dan dengan mudah aku lulus. Sejak itu aku menjadi murid Normaalschool Garut, tinggal di internaat (asrama) dan mendapat studiebeurs (tunjangan ikatan dinas).

Adalah suatu kebetulan, bila 33 tahun kemudian anakku, Kosasih, ketika menjadi mahasiswa PTPG (Perguran Tinggi Pendidikan Guru) di Bandung, indekos (mondok) di rumah Aom Ogog (setelah beliau pensiun) di Jalan Liogenteng, Bandung.

Di Normaalschool Garut ini terdapat bangunan yang terdiri atas empat ruangan kelas; bangsal besar serba guna untuk olah raga, yang kadang-kadang dipakai juga untuk pertemuan muridmurid;

ruang perpustakaan; ruang tata-usaha; dan ruang guru. Di samping itu ada juga

perumahan untuk Tuan Direktur; guru-guru; asrama untuk murid-murid; dapur asrama; dan tempat tinggal para pegawai. Selebihya adalah tanah kosong yang merupakan kebun palawija yang dikerjakan oleh murid-murid. Setiap kelas diwajibkan memiliki dan memelihara sebidang kebun.

Direktur sekolah kami adalah seorang Belanda totok yang pandai berbahasa Sunda, bernama Meneer van der Knap.

Jika berbicara dengan murid-murid, ia menyebut dirinya: Juragan. (‘Meneer’ berarti ‘Tuan’.)

Ketika aku duduk di kelas satu pernah mengalami peristiwa yang mendebarkan hati dan diakhiri dengan hal yang mengharukan.

Ketika itu aku lewat di dekat bangsal olah raga seorang diri. Terdengar Tuan Direktur sedang marah-marah di hadapan murid kelas empat. Naluri kekanak-kanakanku menghentikan langkahku, lalu aku mengintip lewat sebuah lubang kecil di dinding bangsal olah raga itu.

Karena masalah yang dibicarakan tidak menarik perhatianku, segera aku berlalu dari situ.

Keesokan harinya Tuan Direktur berkata di kelasku, “Anak-anak, Juragan mendengar laporan bahwa kemarin ada seorang murid kelas satu yang mengintip pembicaraan Juragan dengan murid-murid kelas empat di bangsal olah raga. Nyonya Juragan juga melihat sendiri murid kelas satu yang mengintip itu.” (Yang dimaksud ‘Nyonya Juragan’ adalah ‘istri saya’.)

Mendengar kata-kata Tuan Direktur itu aku terkejut. Badanku terasa panas dingin, sendi-sendi tulangku terasa lemas, dan hatiku berdebar-debar. Berbagai pikiran memenuhi kepalaku.

Hukuman apakah gerangan yang aka kuterima? Apakah aku akan dikeluarkan dari sekolah?

Bagaimanakah nasibku bila hal ini terjadi? Aku merasa bingung sekali.

“Siapakah di antara kalian yang melakukan hal itu?” tanya Tuan Direktur.

Pertanyaan Tuan Direktur itu terdengar menggelegar di teli-ngaku dan mengejutkan aku untuk kedua kalinya. Aku masih diam. Aku bingung sekali. Aku tidak berani mengangkat mukaku

untuk melihat situasi kelas pada waktu itu. Ingin aku mengakui, bahwa akulah si pelakunya, tetapi aku tidak mampu untuk mengatakannya. Aku merasa takut. Takuuuuut sekali.

“Baiklah, kalau tidak ada yang mengaku sekarang, Juragana akan pergi dulu,” kata Tuan

Direktur kemudian, “Juragan minta agar Ketua Kelas menyelidiki dan menemukan murid yang bersalah itu. Jika nanti Juragan datang lagi, Juragan mengharap anak itu sudah diketemukan.”

Sepeninggal Tuan Direktur aku semakin bingung. Hati nuraniku yang jujur ingin mengakui kesalahanku pada waktu itu juga, tetapi rasa takutku menghalangi niatku. “Ya Allah, harus bagaimanakah aku? Ya Allah, tolonglah aku.”

“Teman-temanku,” kata Ketua Kelas mengejutkan aku untuk ke sekian kalinya, “jika kata Tuan Direktur itu benar, orang yang berbuat salah itu pasti ada di antara kita di sini. Siapakah di antara kalian yang melakukannya?”

Seluruh kelas diam. Membisu. Aku sendiri masih membisu. Aku tidak punya keberanian untuk mengakui kesalahanku.

Tiba-tiba seorang murid mengangkat tangan, lalu berkata, “Saya ada usul. Karena kesalahan itu, menurut pikiran saya, bukan merupakan kejahatan, bagaimana kalau kesalahan itu kita akui sebagai kesalahan kita bersama dan hukumannya kita tanggung bersama pula?”

Mendengar usul itu, hatiku menjadi harap-harap cemas.

“Ada usul lain?” tanya Ketua Kelas. ..Semuanya diam.

“Kalau tidak ada usul lain, bagaimana dengan usul yang tadi? Ada yang setuju?” tanya Ketua Kelas.

“Setujuuuuu…..!” jawab murid-murid serempak.

“Alhamdulillah,” teriakku dalam hati. “Ya, Tuhan, terima kasih atas perlindungan-Mu.”

Ketika Tuan Direktur datang lagi, Ketua Kelas melaporkan hasil pembicaraan kami.

Dengan muka merah karena marah, Tuan Direktur berkata, “Kalian boleh bersatu dan bekerja sama dalam berbuat kebaikan, tetapi dalam berbuat kesalahan seperti ini, tidak bisa. Apakah kalian akan mempertunjukkan kegotongroyonganmu? Aksi solidaritasmu? Tidak! Murid yang bersalah harus dihukum! Juragan hanya mencari seorang murid yang bersalah, bukan mencari kalian!”

Mendengar kata-kata Tuan Direktur seperti itu, kecemasanku muncul kembali. Hatiku jadi ciut kembali. Harapanku untuk bebas dari hukuman sudah hilang sama sekali. “Ya, Allah, kuserahkan diriku pada kemurahan hati-Mu.”

Kelas menjadi hening.

Sejenak kemudian Ketua Kelas berdiri lagi dan berkata, “Juragan, murid yang melakukan

kesalahan itu adalah teman kami juga dan kami merasa yakin sekali bahwa ia tidak berniat melakukan kejahatan. Kami yakin, ia cuma berbuat iseng saja, cuma ingin tahu saja.”

Tuan Direktur diam saja. Keadaan kelas menjadi lebih hening.

Setelah agak lama berdiam diri, tiba-tiba Tuan Direktur berkata, “Baiklah kalau begitu. Semua murid kelas satu harus menerima hukumannya! Perhatikan!”

Aku berdebar-debar. Dan kukira seluruh murid berdebar-debar, ingin segera mengetahui

hukuman apa yang akan dijatuhkan.

“Semua murid kelas satu,” kata Tuan Direktur lagi, “selama seminggu tidak boleh keluar dari kompleks sekolah!”

Aku bersorak di dalam hatiku. Seluruh kelas hening. Aku merasa lega. Kukira teman-temanku juga merasa lega. Hukuman yang dijatuhkan itu tidak terlalu berat, bahkan terasa ringan juga.

Kami murid-murid kelas satu sebenarnya hampir tidak pernah keluar kompleks sekolah, kecuali pada awal bulan setelah menerima uang saku, kami pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari untuk satu bulan. Mungkin hukuman ini akan terasa berat jika dijatuhkan kepada murid-murid kelas empat yang sudah besar-besar, yang sering keluar.

“Ya Allah, maafkan kesalahan dan dosaku yang telah melibatkan semua temanku untuk

memikul hukuman ini,” kataku dalam hati.

Tetapi masih ada kecemasan dalam hatiku. Bagaimanakah bila Tuan Direktur membawa

nyonyanya untuk mencari anak yang bersalah itu? Aku yakin, pasti Njonya Direktur akan

mengenali mukaku. Mudah-mudahan ini tidak terjadi.

Kami baru saja menjalani hukuman selama tiga hari ketika salah seorang teman sekelasku

memergoki seekor kambing milik penduduk sedang merayah kebun kami. Segera kambing itu ditangkap beramai-ramai dan diserahkan kepada Tuan Direktur.

“Serahkan kembali kambing ini kepada pemiliknya dengan peringatan, bahwa sekali ini

dimaafkan, akan tetapi bila di kemudian hari kambing ini datang lagi kemari, akan kita serahkan kepada Polisi,” kata Tuan Direktur. “Selanjutnya,” kata Tuan Direktur lagi, “karena murid-murid kelas satu telah berhasil menangkap

kambing tersebut, berarti kalian telah sungguh-sungguh menjaga kompleks sekolah, maka dengan ini, Juragan akan memberi hadiah, yaitu mencabut hukuman yang sedang kalian jalani.

Mulai hari ini kalian bebas lagi untuk keluar dari kompleks sekolah pada jam-jam yang sudah ditentukan.” Kami bersorak gembira.

Ketika aku duduk di kelas dua …..

Pada suatu hari, tanpa disengaja, aku berkenalan dengan anak-anak Tuan Direktur di halaman sekolah. Yang besar, laki-laki, bernama Sinjo Joppie, murid kelas tiga ELS (Europese Lagere School), sedangkan adiknya, perempuan, bernama Noni Elsje, duduk di kelas satu. ELS adalah sekolah rendah yang diperuntukkan bagi orang Belanda. (‘Sinjo’ adalah panggilan bagi anak lakilaki muda Belanda, sedangkan ‘Noni’ untuk anak perempuan muda.)

Aku diajak ke rumahnya. Di rumahnya aku disuruh Nyonya Direktur untuk membantu belajar anak-anaknya dan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah membuat kerajinan tangan. Tugastugas ini dapat kuselesaikan dengan mudah. Sejak itu hubungan pribadiku dengan keluarga Meneer van der Knap menjadi dekat sekali.

Ketika sudah duduk di kelas empat aku mengalami peristiwa yang mengetuk hatiku.

Pada saat itu di seluruh Indonesia sedang terjadi pergolakan jiwa muda bangsa Indonesia yang sedang menuntut kemeredekaan bagi bangsa Indonesia. Kami murid-murid kelas empat turut merasakan gejolak bangsa ini. Diam-diam kami pun sering membicarakan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Rupanya keresahan jiwa kami ini tercium juga oleh Tuan Direktur. Pada suatu hari ia berkata di kelas kami, “Juragan tahu bahwa pada waktu ini jiwa kalian sedang resah karena memikirkan bangsa Indonesia yang sedang berjuang untuk mencapai kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia.

Bila kalian turut memperjuangkan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa jang

merdeka adalah hak dan kewajiban kalian, karena kalian adalah pemuda-pemuda Indonesia yang menjadi harapan bangsa. Pemuda-pemuda bangsa kami pun bersikap demikian ketika tanah air kami dijajah oleh bangsa lain. Pemuda-pemuda bangsa kami pun memberontak dan mengusir si penjajah dari tanah air kami. Tetapi kalian harus berpikir logis, mana mungkin bangsa Indonesia

bisa merdeka bila 90% rakyatnya masih buta huruf…..! Camkanlah ini…..!

Oleh karena itu, jika kalian ingin memperjuangkan kemerdekaan Indoneisa, setelah keluar dari sekolah ini, berantaslah buta huruf di bumi Indonesia ini…..!

Kata-kata Tuan Direktur ini sempat membakar hatiku dan kata-katanya itu merupakan tantangan bagiku. Aku berjanji dalam hatiku, “Insya Allah, setelah aku lulus dari Normaalschool ini dan menjadi guru, aku akan menjawab tantangan ini, aku akan menjadi pemberantas buta huruf di tengah bangsaku sebagai andil dalam perjuanganku menyongsong kemerdekaan Indonesia.”

3. B a b e l an

Tahun 1927 aku lulus dari Normaalschool Garut dan diangkat menjadi guru bantu pada Sekolah Kelas II di Babelan (Bekasi), Namaku dilengkapi menjadi Dodo Soerapradja.

Pada saat itu Babelan merupakan daerah yang dikuasai Tuan Tanah.

Hampir semua tanah di daerah itu merupakan milik Tuan Tanah yang disewanya dari Pemerintah Hindia Belanda.

Kemudian Tuan Tanah ini menyewakannya lagi kepada rakyat untuk dipergunakan mendirikan rumah atau dipakai bercocok tanam berupa palawija atau sawah. Tuan Tanah itu kebanyakan orang-orang Cina, ada juga orang Arab.

Kegiatan Tuan Tanah sehari-hari adalah mengerahkan para buruh bangsa bumiputera untuk memproduksi beras, dari mulai menanam padi, memanennya, menggilingnya, sampai menjualnya ke pasar. Penggilingan padi ini bekerja terus-menerus tiap hari setahun penuh. Baru saja padi yang dipanen musim lalu selesai digiling, padi yang dipanen musim ini sudah menunggu giliran untuk digiling.

Di Babelan aku sebagai seorang guru bujangan tinggal di rumah Mantri Guru bersama Kang Abas, seorang guru yang juga masih bujangan.

Pernah Mantri Guru berkata kepada kami berdua, “Kalau sudah menjadi guru seperti ini sudah sepantasnya Guru belajar merokok.”

Semenjak itu mulailah kami berdua belajar merokok. Rokok kegemaran kami adalah rokok putih merk ‘Dobbelman’.

Kami menjatahkan sebungkus rokok untuk kami berdua setiap hari, sehingga dengan demikian selama sebulan kami akan menghabiskan tiga puluh bungkus rokok. Tetapi

perhitungan kami ini meleset karena setiap kami merokok, Mantri Guru itu selalu menemani kami merokok dan ikut menghisap rokok milik kami, bahkan ia merokok lebih banyak daripada kami berdua. Akhirnya dengan berbagai alasan kami berhenti merokok.

DI Babelan ini kami berkenalan dengan dua orang kakak beradik anak Tuan Tanah, yaitu Tan Tjin Gwan dan Tan Han Bauw, yang mempunyai kegemaran yang sama dengn kami, yaitu bermain sepak bola. Kami berempat sepakat untuk mendirikan klub sepakbola.

Anggotanya? Mudah saja. Anak Tuan Tanah itu dengan mudah dapat memerintahkan 22 orang buruhnya untuk menjadi anggota klub kami, sehingga klub kami berjumlah 26 orang anggota,

yaitu 22 orang pemain inti dan 4 orang cadangan. Dengan demikian setiap hari Minggu kami bisa mengadakan latihan.

Sarananya? Tidak menjadi masalah. Mulai dari lapangannya, kostumnya, bolanya, bahkan konsumsinya sudah disediakan. Kami tinggal menikmatinya saja.

Tentu saja dalam permainan sepak bola ini, kami berempat menjadi pemain utama. Para buruh itu hanya mengandalkan kekuatan fisiknya saja dalam permainannya, tidak seperti kami berempat yang sudah mempergunakan taktik dan siasat permainan.

Keakraban kami dengan keluarga Tuan Tanah ternyata mempunyai dampak positif bagi kami.

Kepada semua guru, baik yang bujangan maupun yang sudah berkeluarga, Tuan Tanah memberi sumbangan beras secukupnya. Bahkan kepada guru yang akan mendirikan rumah diberi pinjaman tanah tanpa menyewa.

Dalam hal ini, yang lebih beruntung adalah Mantri Guru tempat kami indekos, karena setelah mendapat sumbangan beras dari Tuan Tanah, sumbangan beras untukku dan untuk Kang Abas diambilnya pula, sedangkan uang indekos tetap kami bayar seperti biasa.

Apakah di balik kebaikan hati Tuan Tanah kepada kami sebagai orang-orang intelek ini

mempunyai maksud-maksud tertentu? Entahlah. Hanya yang kami dengar dari penduduk disekitar kami, Tuan Tanah ini sangat kejam terhadap penduduk yang terlambat membayar uang sewa tanah.

*

Pada tahun 1930 aku dipindahkan ke Sekolah Kelas II di Gang Secang, Jakarta.

Alat rumah tangga satu-satunya yang kumiliki adalah sebuah tempat tidur nomor dua lengkap dengan kasur dan bantalnya. Dengan demikian aku tidak bermaksud minta penggantian biaya perjalanan pindah kepada Pemerintah.

“Guru jangan berlaku bodoh,” kata Mantri Guru kepadaku ketika diketahuinya bahwa aku tidak akan minta biaya perjalanan pindah kepada Pemerintah, “Mintalah biaya perjalanan pindah untuk membayar ongkos mengangkut alat-alat rumah tangga selengkapnya. Itu adalah hak semua pegawai negeri yang dipindahkan.”

“Tetapi saya tidak mempunyai alat-alat rumah tangga apa pun, kecuali tempat tidur ini, Engku,”

jawabku. “Bagaiamana nanti bila diadakan pemeriksaan?”

“Jangan kuatir,” kata Mantri Guru itu pula, “di daerah Gang Secang saya punya saudara. Biarlah nanti saya atur, agar ia mengatakan bahwa barang-barang yang ada di rumahnya itu milik Guru.”

Aku mengerti, apa kemauan Mantri Guru itu, yaitu memberi jalan kepadaku agar aku

memanfaatkan peluang itu, sehigga aku mendapat uang, meskipun secara tidak jujur.

Akhirnya kubuat juga permohonan untuk mendapat uang penggantian biaya perjalanan pindah untuk mengangkut alat-alat rumah tangga dari Babelan (Bekasi) ke Gang Secang (Jakarta) dengan mempergunakan tiga buah gerobak sapi.

Di Kantor Perdjalanan yang terletak di dekat Stasioen Gambir, aku menghadap seorang pejabat, orang Ambon, dengan membawa surat permohonan itu.

“Jadi, Tuan akan pindah dari Babelan ke Batavia dengan membawa alat-alat rumah tangga lengkap, mempergunakan tiga buah gerobak sapi?” tanya pejabat itu. (‘Batavia’ sama dengan ‘Betawi’ atau Jakarta.)

“Benar, Tuan,” jawabku berdebar-debar.

“Tuan telah menyalahi peraturan. Bukankah dari Bekasi ke Batavia ada kereta api?” tanyanya lagi.

“Bagaimana maksud Tuan?” tanyaku gelisah.

“Dalam peraturan penggantian biaya perjalanan pindah bagi pegawai negeri dikatakan, bahwa alat angkutan pindah sedapat-dapatnya mempergunakan kendaraan milik Pemerintah, sehingga biaya perjalanan bisa ditekan serendah-rendahnya. Jadi Tuan harus mempergunakan kereta api.”

Dengan tidak kusadari, aku telah terjebak ke dalam lingkaran yang tak berujung dan tak

berpangkal. Untuk melepaskan diri dari masalah yang menekan perasaan ini, aku akan mencoba membatalkan permohonanku ini.

“Tuan, pengangkutan barang-barang saya ini sudah telanjur dilaksanakan, biarlah biayanya menjadi tanggungan saya pribadi saja,” kataku berdusta. “Permohonan ini akan saya cabut kembali saja.”

“Saya tidak berhak memberi keputusan untuk mengabulkan atau menolak setiap permohonan yang masuk. Keputusan terakhir ada pada Nyonya yang duduk di sudut itu. Silakan saja menghadap kepada beliau,” katanya lagi sambil mempersilakan aku pergi ke tempat yang ditunjuknya.

Mau tidak mau aku harus menghadap Nyonya Belanda yang sedang duduk di sudut ruangan itu.

“Ada apa, Tuan?” tanyanya ramah.

“Nyonya, tadi saya sudah menghadap kepada Tuan yang duduk di sana,” jawabku sambil

menunjuk ke tempat aku menghadap yang baru kutinggalkan, tetapi kulihat tempat itu kosong, mungkin orang itu sedang pergi ke luar, “untuk membicarakan permohonan penggantian biaya perjalanan pindah saya dari …..”

“O, jadi Tuan sudah menghadap Tuan yang duduk di sana itu?” katanya memotong kalimatku yang belum selesai. “Kalau begitu, mari saya tanda tangani.”

Tanpa melihat lagi isinya, langsung saja ia membubuhkan tanda tangannya. Agaknya Nyonya itu merasa yakin bahwa Tuan itu telah menyelesaikan permasalahanku.

Dengan terbengong-bengong aku menyaksikan peristiwa yang berlalu dengan cepat sekali itu.

Dengan perasaan yang campur-aduk, kuterima kembali surat permohonan yang sudah

ditandatanganinya itu, yang dengan segera dapat kuuangkan. Aku telah melakukan

penyelewengan penggunaan uang Negara.

Sampai sejauh itu aku selamat, tidak ada pemeriksaan terhadap barang-barang pindahanku.

Tetapi, beberapa bulan kemudian aku mendengar kabar, bahwa ada seorang guru dipecat karena masalah permohonan penggantian biaya yang dipalsukan. Hatiku terguncang keras! “Ya Allah, maafkanlah dosaku ini. Aku bersumpah tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”

***

4. Gang Secang

Di Gang Secang ini aku mulai bergaul dengan anggota masyarakat di sekitarku, sampai akhirnya aku berkenalan dengan beberapa orang tokoh nasionalis. Dari tokoh-tokoh politik ini aku mendapat himbauan agar aku, sebagai tokoh pendidikan, ikut memajukan dan mencerdaskan rakyat.

Teringatlah aku kepada kata-kata Meneer van de Knap, Direktur Normaalschool di Garut dulu.

Masih terngiang-ngiang di telingaku kata-katanya yang merupakan tantangan bagiku, “….. mana mungkin bangsa Indonesia bisa merdeka bila 90% rakyatnya masih buta huruf…..!”

Mulailah aku merintis kerjaku. Melalui organisasinya tokoh-tokoh politik itu mengajukan

permohonan kepada Pemerintah untuk membuka Kursus Pemberantasan Buta Huruf bagi

masyarakat pribumi. Aku sendiri mengajukan permohonan kepada atasanku untuk mengajar membaca dan menulis kepada masyarakat. Akhirnya kedua permohonan yang diajukan itu dikabulkan oleh Pemerintah. Tempat kursus ditetapkan di Tanah Abang. Dari Gang Secang ke Tanah Abang aku naik sepeda untuk mengajar membaca dan menulis tanpa dibayar. Inilah sumbangsihku yang pertama terhadap bangsaku sebagai jawaban terhadap tantangan Meneer van der Knap.

Ketika aku bersekolah di Vervolgschool Darmaraja, aku tinggal di rumah Uwa Ita dan seminggu sekali pulang ke Ciwangi. Setiap pulang dan pergi aku selalu lewat kampung Cipeundeuy. Disana ada sebuah rumah panggung yang besar, yang menarik perhatianku, karena di rumah itu ada seorang gadis kecil yang cantik. Ia sering kulihat sedang main ayun-ayunan di kolong rumah panggung itu. Aku mengagumi kecantikan gadis itu, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena aku hanya seorang murid kelas empat Vervolgschool yang baru berusia dua belas tahun.

Aku hanya bisa berkhayal, “Alangkah bahagia hatiku bila kelak ia mau kujadikan

istriku…..”

Sebetulnya aku masih ada hubungan keluarga dengan gadis itu. Kakek gadis itu bernama Mas Moersiah yang mempunyai anak di antaranya Mjimas Murti dan Mas Sastradiria. Mas Sastradiria adalah ayah gadis itu. Jadi gadis itu memanggil ‘uwa’ kepada Njimas Moerti. Sementara kakekku bernama Raden Mardja’in Soerapradja, yang mempunyai anak di antaranya

Raden Soeradimadja dan Raden Sastrapradja. Raden Sastrapradja adalah ayahku. Jadi aku memanggil ‘uwa’ kepada Raden Soeradimadja.

Raden Soeradimadja ini menikah dengan Njimas Moerti. Dengan demikian aku dan gadis itu sama-sama memanggil ‘uwa’ kepada suami-istri Raden Soeradimadja dan Njimas Moerti.

Kini, sepuluh tahun kemudian, aku teringat kembali kepada gadis itu. Aku menyuruh ayahku melamarnya, dan….., alhamdulillah, lamaranku diterimanya.

Aku menikah pada tanggal 25 Juni 1930 di Darmaraja dengan gadis yang bernama Njimas Pi’ah

itu. Istriku langsung kubawa pindah ke Gang Secang dan aku menyewa sebuah rumah petak.

Masyarakat orang tua murid di daerah Gang Secang terdiri atas tiga kelompok, yaitu kelompok

Asrama Militer, kelompok Asrama Polisi, dan kelompok penduduk biasa.

Dengan keadaan masyarakat yang demikian, keadaan murid di sekolahku tidak konstan. Tiba-tiba saja ada beberapa orang murid yang pergi karena orang tuanya di pindah tugas kan ke tempat lain, atau tiba-tiba saja datang murid-murid baru karena orang tuanya dipindahtugaskan ke daerah ini. Hal ini sering sekali terjadi.

Ada peraturan yang berlaku untuk sekolah-sekolah di daerah Jakarta pada waktu itu, yaitu betapa pun tingginya kelas yang diduduki oleh seorang murid pendatang, di Jakarta harus kembali lagi ke kelas tiga, karena di luar Jakarta murid-murid tidak diberi pelajaran membaca dan menulis huruf Arab-Melayu, sedangkan di Jakarta pelajaran itu dimulai di kelas tiga. Jadi meskipun ia telah duduk di kelas empat, bahkan di kelas lima sekalipun, ia harus kembali ke kelas tiga lagi.

Hal ini menguntungkan bagiku, karena kebetulan aku jadi guru pelatih olah raga kasti. Dengan peraturan tersebut banyak murid pindahan yang telah duduk dikelas empat atau kelas lima, harus kembali ke kelas tiga. Jadi murid-murid pindahan dari luar kota yang duduk di kelas tiga, empat, dan lima, mempunyai postur tubuh yang besar-besar dan kekar-kekar. Kepada mereka selalu

kutanamkan jiwa sportivitas, agar bermain jujur dalam pertandingan-pertandingan. Dengan gemblengan jiwa dan gemblengan fisik ini sekolahku pernah menjadi juara dalam pertandingan kasti yang diselenggarakan sehubungan dengan dilangsungkannya pasar malam tahunan di Jakarta yang disebut ‘Pasar Gambir’. Sekolahku menjadi pemenang Piala Bergilir Kasti ‘Pasar Gambir’ pada tahun 1930.

Kemudian terjadi lagi pada tahun 1931.

Melihat sukses sekolahku dalam pertandingan kasti ini para atasanku tidak percaya begitu saja.

Pada suatu hari datang seorang pejabat yang mengadakan inspeksi ke sekolahku. Ternyata yang datang itu Meneer van der Knap, bekas Direktur Normaalschool di Garut dulu, yang sekarang telah diangkat menjadi Inspektur Sekolah Kelas II di Jakarta.

Semula ia tidak mengenalku. “Dulu Guru bersekolah di mana,” tanyanya basa-basi kepadaku. “Saya ini adalah anak Juragan ketika di Normaalschool Garut dan keluar tahun 1927,” jawabku. Ia berpikir sejenak.

“O, sekarang saya ingat,” katanya tiba-tiba, “Guru adalah muurid yang paling kecil di kelas dan sering bermain-main dengan anak-anakku, bukan?”

“Benar, Juragan,” jawabku gembira karena ternyata ia telah ingat kembali kepadaku.

“Sekarang Sinjo Joppie dan Noni Elsje di mana, Juragan?” tanyaku.

“Mereka bersekolah di Nederland,” jawabnya.

“Sudah berapa lama Guru memimpin murid-murid main kasti?” tanyanya kemudian mulai menyelidik.

“Sejak saya dipindahkan ke sekolah ini pada tahun 1930, Juragan,” jawabku.

“Muridnya besar-besar, apakah tidak ada bon dari luar?” tanyanya langsung menyudutkanku. (Yang dimaksud dengan ‘bon’ adalah pemain pinjaman.)

“Tidak ada, Juragan,” jawabku, “memang murid-murid di sini banyak yang besar-besar.” Lalu kuceritakan tentang kepindahan murid-murid dari luar kota itu.

“O, begitu,” katanya sambil manggut-manggut, “sekarang saya baru mengerti.”

Sejak itu hubunganku dengan Tuan Inspektur itu menjadi lebih erat lagi.

Pada tahun 1932 kembali sekolahku menggondol kejuaraan kasti ‘Pasar Gambir’, sehingga dengan demikian Piala Bergilir Kasti ‘Pasar Gambir’ itu mutlak menjadi milik sekolahku, karena telah tiga kali berturut-turut sekolahku menggondolnya.

Pada upacara penyerahan piala tersebut Mantri Guru maju untuk menerimanya dari Tuan

Inspektur, tetapi tiba-tiba Tuan Inspektur berkata, “Bukan, bukan Mantri Guru yang harus

menerimanya, tetapi pelatihnya, Guru Dodo!”

Aku menggantikannya maju. Di samping menerima piala tetap itu, para pemainnya masingmasing mendapat medali perunggu dan aku sebagai pelatihnya mendapat medali perak.

***

Istriku hamil.

Pada waktu hamil tua ia kuantarkan pulang ke Darmaraja karena ia ingin

melahirkan di dekat orang tuanya.

Pada tanggal 4 Maret 1932 lahirlah anakku pertama, laki-laki.

Ayahku memberinya nama Raden Kosasih.

Istriku tamatan Sekolah Desa, tetapi membaca dan menulisnya belum begitu mahir. Dengan tekun ia berlatih menulis diajari olehku dan membaca buku-buku yang sering kubawa ke rumah, biasanya buku-buku perpustakaan terbitan Balai Pustaka. Dengan demikian ia menjadi mahir membaca dan menulis. Di samping itu ia kuajari juga berbahasa Melayu-Betawi.

Pada suatu hari ia sibuk membersihkan alat-alat dapur karena kami bermaksud akan pulang liburan Puasa ke Darmaraja. Mendengar kesibukan itu, tetangga di rumah petak sebelah, yang hanya terhalang oleh dinding bambu itu, berteriak bertanya dari dapurnya, “Kok, tumben, pagipadi sudah sibuk, Neng?” (‘Neng’ adalah nama panggilan bagi perempuan muda.)

“Anu, kita mau mudik ke kampung,” jawab istriku.

“Kapan mudiknya,” tanya tetanggaku lagi.

Istriku terkejut, karena kebetulan belum tahu apa artinya ‘kapan’. Mau menanyakan, mungkin ia malu. Tetapi istriku punya akal. Istriku yang pada waktu itu sedang membersihkan pantat dandang dengan sabut kelapa, dengan sengaja gosokannya dikeras-keraskan, sehingga terdengar hingar-bingar. Dengan demikian tetangga sebelah itu tidak mengajak ngobrol lagi, karena menyangka istriku tidak dapat mendengar kata-katanya.

“Ternyata Djoedjoe punya akal yang cemerlang,” kataku sambil kucium pipinya ketika ia

menceritakan kejadian itu di atas ranjang. (‘Djoedjoe’ adalah nama panggilanku kepadanya, berasal dari kata ‘panoedjoe’ dalam bahasa Sunda yang berarti ‘sangat cocok’ atau ‘sangat sesuai’.)

Ketika Kosasih sedang belajar bicara, ia salah tangkap akan arti sebuah kata. Ceritanya begini:

Setiap ia buang air besar, oleh istriku selalu dibujuk-bujuk agar segera mengeluarkan ‘è’èh-nya,

dengan berkata-kata, “‘E’èh….., ‘è’èh…..’, sambil mengusap-usap punggungnya. Sementara itu nyamuk merubungnya sehingga Kosasih sering menepuk-nepuk nyamuk yang hinggap di badannya. Dalam keadaan begitu isriku tetap mengelus-elus punggungnya sambil berkata,

“‘E’èh….., ‘è’èh…..”

Anakku yang sedang belajar bicara itu selalu mengikuti kata-kata ibunya, sehingga setiap

menepuk nyamuk yang hinggap di badannya ia selalu mengatakan, “‘E’èh……”

Peristiwa ini tertanam dalam benak anakku, sehingga terjadi kelucuan. Ketika ia dirubung

nyamuk pada saat akan tidur di ranjangnya, ia sibuk menepuki nyamuk itu sambil berkata,

“‘E’èh….., ‘è’èh…..”

Mendengar Kosasih berkata-kata begitu istriku terkejut, lalu berteriak, “Jangan di situ ‘è’èhnya! Ayo bangun!” Anakku tidak mau bangun, tetap saja tidur sambil dengan tenang menepuk-nepuk nyamuk dan berkata, “‘E’èh….., ‘è’èh…..”

Ketika aku dan istriku memperhatikan kelakuan anakku itu, kami jadi tertawa gelak-gelak,

karena akhirnya kami mengerti maksudnya…..

Pertemuanku yang terakhir dengan Meneer van der Knap terjadi ketika diadakan resepsi

perpisahan karena ia akan pulang ke negerinya, Nederland. Aku diundang.

Pada suatu kesempatan ia bertanya kepadaku, “Apakah Guru tidak ingin pindah ke tempat kelahiran sendiri?”

“Tentu saja, Juragan, saya mengharap sekali kepindahan itu, tetapi saya tidak berani untuk mengajukan permintaan itu. Saya serahkan saja kepada kebijaksanaan atasan saya,” jawabku merendah.

“Sekarang saya harus pindah ke Nederland, jadi tidak bisa lagi menolong memindahkan Guru ke tempat yang diinginkan oleh Guru. Tetapi, jangan kuatir, saya akan menitipkan pesan kepada pengganti saya.”

Ternyata ia menepati janjinya. Setelah ia pindah ke Nederland, pada tahun itu juga aku

dipindahkan ke Situraja (Sumedang) tempat ayahku dulu bersekolah, yang jaraknya hanya lima belas kilometer dari tanah kelahiranku, Ciwangi (Darmaraja).

Untuk tidak mengulangi kecerobohanku seperti ketika aku pindah dari Babelan (Bekasi) ke Gang Secang (Jakarta) dulu, urusan pengiriman alat-alat rumah tangga, mulai dari pengepakannya sampai kepada pengangkutannya, kuserahkan seluruhnya kepada petugas S.S. (Staatsspoor; sekarang ‘Perumka’, Perusahaan Umum Kereta Api).

***

5. Si tu r a j a

Waktu aku tiba di Situraja ternyata masyarakat guru-gurunya berbeda dengan masyarakat guru-guru di Jakarta. Guru-guru di Situraja telah mengadakan ikatan berdasarkan diploma yng diperoleh dari sekolahnya masing-masing. Dengan sendirinya aku bergabung dengan guru-guru lulusan Normaalschool dalam PNS (Persatoean Normaalschool).

Barulah beberapa bulan kemudian, ada seorang guru yang mempunyai gagasan untuk

mempersatukan semua guru di seluruh Situ-raja tanpa membeda-bedakan diploma yang

diperolehnya. Persatuan guru ini bergabung dengan persatuan guru yang bersifat nasional, yang dinamai PGI (Persatoean Goeroe Indonesia), yang di kemudian hari, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia namanya menjadi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).

Langkah pertama penyatuan dimulai dengan rencana mengadakan koperasi simpan-pinjam.

Dengan cepat gagasan yang baik ini mendapat sambutan dari para guru. Untuk merealisasikan berdirinya koperasi tersebut, diadakan rapat para calon anggota. Terbentuklah Koperasi Simpan Pinjam Guru yang diketuai Mantri Guru Vervolgschool Situraja dan aku ditunjuk sebagai Bendahara.

Ketika acara rapat sampai kepada pemberian nama koperasi, ternyata memakan waktu yang agak lama. Banyak guru yang mengusulkan beberapa nama, tetapi selalu tidak mendapat persetujuan rapat. Akhirnya untuk pemberian nama koperasi tersebut diserahkan kepadaku, dengan alasan,

karena aku baru datang dari kota besar, setidak-tidaknya ada pengalaman dalam hal ini, katanya.

Aku maju dan berkata, “Saudara-saudara, untuk nama koperasi ini, bagaimana kalau saya

mengusulkan nama: ‘Taman Usaha’?”

Seorang guru berdiri, lalu dengan suara keras berteriak, “Setujuuuuu…..!” Pengikut rapat lainnya bertepuk tangan tanda setuju.

Partai politik yang telah ada di Situraja waktu itu adalah Partai Pasoendan. Partai ini sedang giat mencari dana untuk mendirikan bangunan sebuah sekolah swaasta yang sedang dilaksanakan di kota Smedang. Guru-guru di Situraja merasa terpanggil hatinya untuk mencari dana guna keperluan tersebut. Dalam waktu singkat berkumpullah sekelompok guru yang berusaha mendirikan perkumpulan sandiwara yang akan mementaskan pertunjukan di desa-desa di sekitar

Situraja setiap malam Ahad. Selain turut menjadi pengurus sandiwara tersebut kadang-kadang aku ikut juga menjadi pemain sandiwara.

Para penonton yang menyaksikan sandiwara tersebut diharuskan membayar sekedarnya. Hasil penjualan karcis, yang jumlahnya lumayan juga, disumbangkan kepada panitia pendirian bangunan sekolah lanjutan yang diselenggarakan oleh Partai Pasoendan itu.

Pada tahun 1933 istriku hamil lagi di Situraja. Seperti kehamilan pertama, pada waktu hamil tua

ia kuantar pulang ke Darmaraja, untuk melahirkan di sana. Anakku yang kedua ini, yang lahir sebelum waktunya, perempuan, kuberi nama Raden Siti Roemhaja. Sayang, usianya hanya tiga hari saja. Anakku lahir cacat, yaitu di dahinya, di antara kedua matanya, terdapat lubang yang dalam seperti sebuah luka.

Raden Siti Roemhaja binti Dodo Soerapradja, lahir tahun 1933, meninggal tiga hari kemudian di Darmaraja, dimakamkan di tempat Pemakaman Umum ‘Batununggul’, Darmaraja.

Mengenai cacat anakku ini ada cerita sebelumnya, yaitu pada waktu itu aku punya kegemaran berburu memakai senapan angin. Pada suatu waktu, menjelang kelahiran anakku itu, aku menembak seekor burung tepat di antara kedua matanya. Kata orang, karena itulah anakku lahir cacat.

Kalau memang demikian, ya Allah, ampunilah dosaku ini. Wallahu a’lam bissawab.

Karena istriku mengalami trauma atas kematian anakku yang kedua, pada waktu hamil untuk ketiga kalinya, ia tidak mau pulang ke Darmaraja, dan memilih melahirkan di Situraja saja.

Anakku yang ketiga laki-laki, lahir pada tanggal 1 Agustus 1934, kuberi nama Raden Koeswara.

Pada suatu hari sekolahku mendapat inspeksi mendadak dari Inspektur Sekolah Kelas II, Tuan Napitululu. Sekolahku mempunyai dua kelas lima yang paralel, yang diajar oleh Mantri Guru dan olehku sendiri. Yang mula-mula diinspeksi adalah kelas Mantri Guru dalam pelajaran Mencongak. (‘Mencongak’ adalah mata pelajaran berhitung di luar kepala tanpa mempergunakan catatan atau tulisan). Setelah melakukan inspeksi belajar-mengajar, Tuan Inspektur memeriksa isi lemari Mantri Guru, yang ternyata keadannya kurang rapi.

“Mantri Guru,” kata Tuan Inspektur, “yang harus baik itu bukan hanya dalam proses belajarmengajar saja, tetapi isi lemari juga harus rapi.

“Saya kira Tuan tidak akan memeriksa isi lemari saya,” kata Mantri Guru kemalu-maluan.

Kelas kedua yang diinspeksi adalah kelasku.

Ketika Tuan Inspektur memeriksa buku Persiapan Mengajar kelasku ia bertamya, “Mengapa persiapan Guru sama dengan persiapan Mantri Guru?”

“Supaya dua kelas lima yang paralel ini mempunyai tingkat kepandaian yang sama, Tuan,” jawabku tanpa ragu-ragu.

Tuan Inspektur diam sejenak.

“Lalu, siapa yang membuat persiapan ini?”

“Saya dan Engku Mantri Guru bergantian seminggu sekali,” jawabku.

“Boleh juga,” kata Tuan Inspektur sambil manggut-manggut, “tetapi bilangan-bilangan dalam mata pelajaran Mencongak ini terlalu sukar untuk anak-anak. Coba ganti dengan bilanganbilangan yang lebih sederhana.”

Dengan cepat aku mengganti bilanan-bilangan itu, lalu aku mulai mengajar.

Karena bilangan-bilangannya telah diganti dengan bilangan-bilangan yang lebih sederhana, proses belajar-mengajar di kelasku lebih lancar. Di kemudian hari kuketahui, bahwa nilai inspeksiku lebih baik daripada nilai Mantri Guru.

Ketika Tuan Inspektur akan meninggalkan kelasku, ia memperhatikan kembali buku Persiapan Mengajar kelasku yang terletak di atas meja, lalu mengambilnya sambil berkata, “Guru, kenapa buku persiapan ini tidak diberi sampul?”

Aku terkejut. Memang buku Persiapan Mengajar itu belum diberi sampul karena merupakan buku baru yang baru hari ini kupergnakan. Maksudku, setelah pelajaran selesai hari ini, baru akan kuberi sampul.

“Tuan, buku ini baru saya pergunakan hari ini,” jawabku cemas, “Setelah selesai mengajar hari ini baru akan saya beri sampul.”

Ia tidak berkata apa-apa lagi, tetapi bukuku dibawanya dan ia memberi isyarat agar aku

mengikutinya. Aku dibawanya ke ruangan Mantri Guru.

“Mantri Guru,” katanya sesampai di ruangan Mantri Guru, “Guru Dodo tidak menyampul buku

Persiapan Mengajar. Kenapa Mantri Guru tidak menegurnya? Bukankah Mantri Guru

sebelumnya telah memeriksa dan menandatanganinya? Lain kali Mantri Guru tidak boleh lalai begitu terhadap bawahan.”

Mendengar teguran Tuan Inspektur terhadap Mantri Guru, aku terkejut. Betapa tidak. Tentu saja aku mengharap agar masalah buku persiapanku yang tidak bersampul itu tidak diperpanjang.

Tetapi andaikata harus diperpanjang pun, akulah yang harus mendapat teguran dan harus

mempertanggungjawabkan kesalahanku. Bukan Mantri Guru. Aku merasa berdosa terhadap Mantri Guru.

Sebagai hasil inspeksi terhadapku, aku diangkat menjadi Mantri Guru pada Vervolgschool di Sukahaji (Majalengka). Pengangkatanku ini datang bersamaan dengan munculnya resesi yang melanda seluruh dunia, termasuk Nederland dan Hindia Belanda, sebagai akibat hancurnya perekonomian dunia setelah selesai Perang Dunia I menjelang pecahnya Perang Dunia II.

Pemerintah Hindia Belanda melakukan taktik penghematan yang saangat drastis, yaitu para pegawai negeri yang sudah mendekati masa pensiun, pelaksanaan pensiunnya dipercepat, sehingga para pegawwai negeri yang sudah bergaji maksimal itu dapat segera diganti oleh para pegawai baru yang gajinya relatif lebih kecil. Di samping itu para pegawai yang masih aktif, gajinya diturunkan sampai batas tertentu.

Dengan demikian, di seluruh Jawa Barat terbuka lowongan untuk hampir seratus orang Mantri Guru.

Dan aku, seorang guru bantu yang bergaji F. 62,50 diangkat menjadi Mantri Guru dengan

gaji….. F. 45,–. Tragis sekali!!! (F. adalah tanda satuan uang ‘gulden’ yaitu uang rupiah pada waktu penjajahan Belanda).

*****

MA N T R I GU R U

1. Hindia Belanda

Sukahaji adalah kota kecamatan, termasuk kawedanan Leuwimunding, kabupaten Majalengka.

Dari Sukahaji ke Darmaraja, sebetulnya tidak terlalu jauh, tetapi jalannya harus memutar, yaitu lewat Majalengka, Kadipaten, Sumedang, dan Situraja. Ada juga jalan terobosan yang meskipun lebih kecil dan lebih buruk kondisinya, bisa masuk mobil juga, yaitu lewat Majalengka, Jatigede, Cadasngampar, dan Wado.

Aku diangkat menjadi Mantri Guru Vervolgschool yang terdiri atas kelas 4 dan kelas 5, di Sukahaji. Ketika aku datang ternyata sekolah tersebut dalam keadaan tidak punya guru, karena Mantri Guru lama baru saja memasuki masa pensiun, sedangkan guru bantunya baru saja diangkat menjadi Mantri Guru di daerah Cirebon.

Hari-hari pertama merupakan hari-hari yang keras bagiku. Aku dan Prawoto, seorang guru bantu baru, yang merupakan orang-orang baru di sekolah itu harus mengelola sekolah yang masih asing bagi kami berdua. Tetapi di balik itu, hari-hari pertama ini merupakan hari-hari yang indah

bagiku, karena hari-hari ini merupakan hari-hari permulaan bagiku sebagai ‘kepala’ di sekolahku sendiri.

Aku memulai kerjaku dengan membenahi taraf pendidikan murid-muridku. Ternyata sekolah tersebut, meskipun jarak ke ibu kota kabupaten Majalengka hanya sejauh tujuh kilometer saja,

taraf pendidikan murid-muridnya sangat rendah, lebih rendah daripada sekolah yang

kutinggalkan di Situraja, yang jarak dari ibu kota kabupaten Sumedang ada lima belas kilometer.

Sampai saat aku datang, belum pernah ada murid yang lulus ujian masuk ke sekolah lanjutan, sehingga menjadi kebiasaan, bila mereka ingin lulus ujian masuk ke sekolah lanjutan, harus mengulang dulu pada Vervolgschool di kota atau ke Vervolgschool yang lebih dekat lagi ke kota, misalnya di Vervolgschool Tenjolayar, Majalengka.

Untuk meningkatkan taraf pendidikan murid-murid, aku mewajibkan murid-murid kelas lima yang kuajar untuk mengikuti pelajaran tambahan pada waktu sore, tanpa dipungut biaya. Baru dua tahun kemudian aku berhasil mengantarkan murid-muridku ke sekolah lanjutan, setelah lulus ujian masuk.

Pembenahan uang sekolah ternyata lebih sukar lagi, karena banyak murid yang menunggak uang sekolah. Aku berusaha mendekati orang tua murid seorang demi seorang untuk mengetahui, apa yang menyebabkan kemacetan itu. Ternyata di antara mereka terdapat orang tua murid yang benar-benar tidak mampu. Untuk ini terpaksa aku membebaskan mereka dari kewajiban membayar uang sekolah, sedangkan kepada mereka yang mampu, aku minta jaminan agar mereka mentaati peraturan sekolah untuk membayar uang sekolah tepat pada waktunya.

Seruanku ini mendapat sambutan baik dari para orang tua murid.

Karena sekolah mempunyai halaman yang luas, supaya murid-murid betah di sekolah, aku mewajibkan setiap murid memiliki beberapa batang pohon peliharaan di sekolah, di antaranya pohon ubi kayu atau pohon bunga. Dengan demikian pada waktu sore murid-murid itu datang lagi ke sekolah untuk mengikuti pelajaran tambahan sambil mengurus tanamannya.

Sekolahku mempunyai tiga ruangan besar, masing-masing berukuran 7 X 7 meter. Dua ruangan dipergunakan untuk kelas, sedangkan sebuah ruangan lagi dipergunakan untuk ruang perpustakaan merangkap ruangan serba guna. Perpustakaan di Vervolgschool dinamai ‘Taman Poestaka’. Buku-bukunya diperoleh secara gratis dari ‘Balai Poestaka’, terdiri atas tiga kelompok buku, yaitu:

seri A merupakan buku-buku berbahasa Sunda untuk anak-anak,

seri B merupakan buku-buku berbahasa Sunda untuk orang dewasa, dan

seri C merupakan buku-buku berbahasa Melayu untuk remaja dan orang-orang dewasa.

Setiap peminjam buku harus membayar dua sen untuk sebuah buku dalam seminggu. Uang tersebut tiap bulan kusetorkan ke ‘Balai Poestaka’ di Jakarta.

***

Pada suatu hari aku menemukan hal yang menggelikan terjadi di kelasku. Pada hari itu, ketika aku memasuki kelas akan mengajar, di kelas ada seorang anak perempuan yang berusia lebih kurang empat belas tahun, yang tidak kukenal, duduk di salah sebuah bangku.

“Siapa kamu?” tanyaku keheranan.

“Juragan, adik saya bernama Ahri, hari ini tidak dapat masuk sekolah karena sakit. Oleh karena

itu, saya masuk sekolah untuk mewakilinya,” jawabnya polos.

Murid-muridku yang mendengar jawaban anak perempuan itu kulihat menahan tertawanya, tetapi tidak berani mentertawakannya karena aku menghadapi peristiwa itu dengan sungguhsungguh.

“Sekarang begini saja, ” kataku kemudian, “adikmu yang sakit itu biar saja tidak usah diwakili di kelas. Mudah-mudahan saja ia lekas sembuh dari sakitnya. Kamu sendiri pulang saja untuk menjaga adikmu yang sakit itu.”

Dengan tenang ia turun dari bangku, lalu mengucapkan salam untuk berpamitan, kemudian meninggalkan kelas.

“Lain kali kalau kamu sakit, tidak usah diwakili oleh kakakmu, ya!” kataku kepada murid-murid sepeninggal anak perempuan itu. “Kakakmu cukup datang hanya untuk memberitahukan bahwa kamu sakit.”

Maka pecahlah tertawa murid-murid yang sejak tadi tertahan itu.

***

Istriku hamil lagi dan pada waktu hamil tua, seperti biasa-nya, kuantarkan pulang ke Darmaraja

untuk melahirkan di rumah orang tuanya. Anakku yang keempat ini perempuan, kuberi nama Raden Koerniasari, lahir pada tanggal 25 Pebruari 1938. Anakku yang pertama dan kedua, Kosasih dan Koeswara, sudah berusia empat dan dua tahun.

Banyaklah suka-duka istriku dalam mengasuh anak-anak. Pada suatu hari istriku memergoki Kosasih sedang main dokter-dokteran. Ia pura-pura menjadi pasien yang sedang sakit mata

dengan cara mengolesi matanya dengan getah pohon kastuba sehingga matanya lengket,

sedangkan salah seorang temannya pura-pura menjadi doternya. Melihat hal itu istriku sangat

terkejut, lalu segera membawanya ke kamar mandi untuk membersihkan matanya yang sudah lengket kena getah pohon kastuba itu. Hanya dengan susah payah istriku dapat

membersihkannya.

Di kemudian hari Kosasih menderita sakit mata yang agak lama dan ketika masuk SMP (Sekolah Menengah Pertama) harus memakai kacamata, padahal akau telah berusaha untuk menjaga kesehatan matanya, antara lain dengan melarangnya main layang-layang agar matanya tidak selalu menatap ke langit yang menyilaukan itu. Di hari tuanya malah ia menjalani operasi mata katarak.

Peristiwa lain yang menimpa Kosasih ini adalah ketika pada suatu hari ia bermain-main dengan adik iparku, Jang Soma, di sebuah surau yang terletak di tengah-tengah kolam. Karena mengantuk, Jang Soma tertidur di surau itu, sedangkan Kosasih berjalan-jalan ke sana kemari di dalam surau itu. Tiba-tiba terdengar bunyi, “byur”. Jang Soma terjaga dengan kaget dan langsung mencari Kosasih. Ketika ia memperhatikan kolam di sekeliling surau itu tampak Kosasih sedang menggapai-gapai di dalam kolam. Dengan sigap Jang Soma meloncat masuk kolam dan tidak lama kemudian dengan basah kuyup ia dan Kosasih keluar dari kolam.

Ada lagi peristiwa lain, setelah main hujan-hujanan di bawah hujan lebat, Kosasih menderita sakit panas agak lama dan sakit telinga, sehingga harus opname di Rumah Sakit Umum Majalengka selama sebulan, di bawah perawatan Dokter Sapuan. Setelah sembuh ia menjadi agak tuli.

Tentang kenakalan Kosasih ini, ada lagi peristiwa lain. Pada suatu pagi, ketika bangun tidur, ia main kuda-kudaan bersama adiknya, Koeswara, dengan naik bantal yang ditumpuk tinggi-tinggi di atas tempat tidur. Tiba-tiba ia terjatuh ke samping tempat tidur dan badannya terjepit di antara tempat tidur dan dinding kamar. Ketika istriku menarik nya keluar, tangan Kosasih tidak bisa digerakkan, melainkan tetap saja terangkat dengan posisi ‘angkat tangan’. Setiap diusahakan untuk diturunkan, selalu berteriak kesakitan. Dengan cepat istriku memanggil kahar Pak Saptiah, tetanggaku, dan segera melarikan anakku ke Rumah Sakit Umum Majalengka. Aku yang sedang

mengajar di sekolah tidak sempat diberi tahu. (‘Kahar’ adalah ‘delman’)

Selama dalam perjalanan antara Sukahaji dan Majalengka sejauh tujuh kilometer itu, Kosasih duduk dengan tenang dalam kahar dengan posisi ‘angkat tangan’.

Sesampai ke rumah sakit, langsung dibawa ke ruang periksa. Ketika masuk ruangan dan

berhadapan dengan Dokter, perlahan-lahan Kosasih menurunkan tangannya ke bawah. Dokter Sapuan memeriksanya dengan menelusuri seluruh tubuhnya, kalau-kalau ada yang terluka atau patah tulang. Ternyata tidak ada yang perlu dikuatirkan.

Ketika sudah keluar dari ruang periksa, istriku menanyakan, kenapa tiba-tiba anakku

menurunkan tangannya setelah berhadapan dengan Dokter. Dengan polos ia menjawab, “Habis Aos takut oleh Dokter, sih.” Kosasih biasa menyebut dirinya ‘Aos’.

***

Peristiwa yang mengerikan pernah dialami oleh adiknya, Koeswara. Begini. Ada kebiasaanku,yang ternyata berakibat fatal bagi anakku ini, yaitu bila aku marah kepada anak-anakku, dengan cepat aku meraih gelas minum dari meja lalu menyiramkan airnya kepada anakku yang nakal itu.

Menurut perhitunganku, dengan menyiramkan air untuk menghukum anakku yang nakal, akan lebih aman dan tidak membahayakan dirinya, daripada mencubit atau memukul.

Rupanya kebiasaanku ini ditiru oleh pembantu rumah tanggaku, si Asmar. Pada suatu hari, ketika di rumah tidak ada orang tua, aku sedang mengajar, sedangkan istriku sedang melahirkan di Darmaraja, Koeswara nakal. Si Asmar, yang suka melihat kebiasaanku menghukum anakku, segera mengambil gelas kosong, lalu mengisinya dengan air dari teko, kemudian menyiramkannya kepada Koeswara. Koeswara menjerit kesakitan karena ternyata air yang disiramkannya itu adalah air panas yang baru saja dituangkan ke teko itu. Untunglah air itu tidak mengenai mukanya, hanya mengenai dadanya saja. Dalam sekejap mata kulit dada anakku melepuh.

Aku disusuli ke sekolah oleh tetanggaku dan Koeswara langsung kubawa ke Rumah Sakit

umum di Majalengka. Hari itu juga si Asmar kupecat.

Selama istriku melahirkan di Darmaraja aku menjadi sangat dekat dengan kedua anakku ini.

Malam-malam, kalau mau tidur, mereka minta didongengi apa saja. Sering aku menceritakan keadaan masa kanak-kanak dan masa mudaku, maksudku agar mereka mencontoh keprihatinan hidupku sebagai ayahnya, sehingga di kemudian hari bisa berjuang lebih keras lagi untuk dapat hidup lebih baik daripadaku. Sayangnya, dalam ceritaku ini banyak hal-hal yang menyedihkan, misalnya ketika aku tidur sendirian dengan dikerubuti nyamuk di Jakarta tatkala menjadi pembantu rumah tangga di rumah Kang Setja. Akibatnya anak-anakku menjadi ikut bersedih dan

ceritaku terpaksa kuakhiri dengan iringan isak-tangis Kosasih menjelang tidur. Di kemudian hari ternyata Kosasih ini menjadi cengeng, pemurung, dan penakut…..

***

Ketika Kosasih berumur tujuh tahun kumasukkan ke kelas satu Volksschool (Sekolah Desa) di Sukahaji. Jarak dari rumah ke sekolah hanya lebih kurang seratus meter saja.

Pada suatu hari ia kesiangan berangkat ke sekolah. Ketika sampai ke sekolah, ternyata temantemannya sudah masuk kelas semuanya, lalu ia pulang kembali ke rumah. Istriku membujuknya agar ia mau kembali ke sekolah, tetapi tidak berhasil. Ketika istriku akan memukulnya dengan tangkai sapu, ia melawannya. Akhirnya hari itu ia membolos.

Ketika siang harinya aku datang dari sekolah, ia kumarahi. Sambil menangis ia berjanji bahwa hari Ahad yang akan datang, ia tidak akan bermain, melainkan akan belajar sebagaimana layaknya ia belajar di sekolah.

Ketika keesokan harinya ia masuk sekolah dan gurunya menanyakan kenapa ia tidak masuk sekolah, dengan tenang ia menjawab, “Tidak punya baju, Juragan…..!” (Waktu itu murid-murid memanggil ‘juragan’ kepada gurunya.)

Ternyata jawaban Kosasih itu meniru-niru temannya, yang benar-benar miskin dan hanya

mempunyai sebuah baju untuk bersekolah, yang bila sedang dicuci ia tidak bersekolah. Kalau ditanya oleh gurunya ia menjawab, bahwa ia tidak bersekolah karena bajunya sedang dicuci.

Aku tidak tahu, apakah gurunya itu percaya atau tidak terhadap jawaban Kosasih yang bohong ini.

Sementara itu untuk menyelidiki kemampuan orang tua murid dalam menyekolahkan anaknya,

pernah ada pendataan dari pihak Pemerintah, menanyakan berapa banyak anak-anak memiliki pakaian. Teman-temannya sekelas ada yang menjawab punya satu stel baju, ada yang menjawab dua stel baju, dan seterusnya. Kosasih sendiri menjawab, “Tidak tahu, Juragan, saya tidak pernah menghitungnya.”

Pada masa itu di sekolah-sekolah ada kebiasaan, pada tiap awal bulan diumumkan ranking murid-murid pada tiap kelas, yang dinamai ‘buka nomor’. Anakku Kosasih ini selama di kelas satu kalau ‘buka nomor’ selalu menduduki ranking pertama.

***

Ketika masih duduk di kelas satu ini Kosasih pernah memperlihatkan suatu tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan seseorang kepadanya. Pada suatu hari Ahad di Balai Desa Sukahaji diadakan rapat desa yang dihadiri oleh rakyat banyak. Setelah makan pagi Kosasih sudah pergi melihat keramaian orang banyak itu.

Rumahku di sebelah timur alun-alun menghadap ke alun-alun desa Sukahaji tersebut, sehingga aku tidak kuatir melapasnya bermainmain di alun-alun.

Kira-kira tengah hari, rapat desa masih belum selesai dan rakyat banyak masih memenuhi alunalun.

Aku menyuruh pembantuku, si Mulus, untuk mencari Kosasih ke alun-alun. Ia

menemukannya sedang duduk di bawah pohon beringin di tengah alun-alun itu seorang diri sambil memegang sebuah sepeda yang disandarkan ke pohon beringin. Tidak lama setelah itu rapat bubar dan Kosasih pulang ke rumah.

Ketika kutanya, kenapa ia tidak pulang-pulang, ia menjawab, “Pagi tadi ketika Aos sedang bermain dengan teman-teman di bawah pohon beringin di alun-alun, ada orang yang membawa sepeda dan menyandarkannya pada pohon beringin itu. Ia minta supaya Aos menjagakan sepedanya dan ia memberi Aos uang sebenggol. Jadi Aos tidak bisa pergi ke mana-mana dan ditinggalkan oleh teman-teman, sampai orang itu datang mengambil sepedanya setelah rapat selesai.” (‘Sebenggol’ adalah ‘dua setengah sen’. Uang jajan Kosasih setiap hari kuberi satu sen.)

Aku sempat terkejut mendengar jawabannya itu, tetapi diam-diam aku merasa kagum dan

bangga atas perasaan tanggung jawab-nya terhadap tugas yang diberikan orang kepadanya.

***

Pada waktu itu di Sukahaji orang-orang seusiaku sedang hangat-hangatnya belajar pencak silat yang dilandasi ilmu keke-balan. Aku mengikuti latihan pada tiap malam Jumat. Oleh guruku, Mas Soeba, aku diberi bacaan yang dituliskan huruf Arab pada sepotong kulit harimau, lalu dibungkus kain putih. Bungkusan yang merupaka azimat, yang dinamai ‘bebesel’ ini, harus selalu dibawa dengan cara diikatkan ke pinggang dengan tali yang terbuat dari kain, di bagian dalam baju. Ada pantangannya, yaitu ‘bebesel’ ini tidak boleh dibawa buang air kecil atau buang air besar.

Pada pelajaran terakhir kami harus diuji dengan bacokan golok. Pada giliranku, aku maju ke depan guruku. Hatiku kumantapkan, aku percaya diri, aku yakin akan kemampuanku

menahannya. Mataku kututup, hatiku menjerit, “Bismillahirrohmanirrohiiiiim…..!”

“Clep!” Kurasakan golok itu menancap di pundakku, tetapi aku tak merasakan sakit. Ketika mataku kubuka dan pundakku kuraba, ternyata pundakku masih utuh tak kurang suatu apa.

Setelah itu punggungku dijatuhi batu besar. Aku terhuyung-huyung, tetapi tidak merasakan sakit.

Ada seorang murid yang kurang percaya diri dan maju dengan hati setengah-setengah. Ketika ditebas golok, tangannya terluka dan mengeluarkan darah. Dengan sigap guruku mengusap luka itu dan dengan sekejap mata luka yang menganga dan mengeluarkan darah itu tertutup kembali dan sembuh tanpa bekas.

Setelah ujian selesai, guruku berpesan, bahwa ilmu ini tidak boleh dipergunakan untuk

menyombongkan diri atau untuk pamer kekuatan. Ilmu ini hanya boleh dipergunakan untuk bela diri dalam keadaan terpaksa, dalam keadaan terdesak dan terjepit.

***

Ketika di Sukahaji didirikan klub sepakbola, aku ikut menjadi anggota. Karena baru berdiri, para pemainnya belum begitu pandai. Dibandingkan dengan pemain yang lain, aku masih mendingan, sehingga ada teman-temanku yang menamakan aku ‘Si Oray’ karena aku bisa membawa bola sambil lari berbelit-belit. (‘Oray’ berarti ‘ular’).

Bagi para pemain sepakbola yang menjadi anggota pencak silat mempunyai keuntungan lain. Mereka jadi tahan bantingan dan tahan benturan, sehingga klub sepak bola Sukahaji, yang mempergunakan bendera ‘putih-hitam’ dan yang berkostum juga ‘putih-hitam’ itu sangat terkenal, bukan karena kepandaiannya, melainkan kana kekuatannya. Dalam pertandingan-pertandingan dengan klub sepak bola di sekitar Sukahaji, klub kami sangat digemari oleh para penonton karena ketangguhannya, meskipun kepandaian kami di bawah mereka.

Dalam pertandinganpertandingan yang diikuti, klub sepak bola Sukahaji lebih banyak kalah daripada menangnya.

Aku sendiri pernah ditabrak dan dihantam sekaligus oleh dua orang pemain lawan, tetapi justru kedua orang pemain lawan itu yang terjungkal, dan aku lari terus membawa bola. Para penonton berteriak-teriak histeris, “Kuliiiiit…..! Kuliiiiit…..!” Maksud teriakan mereka, menyuruh kami bermain keras dan kasar.

Pernah juga aku mendapat benturan bola yang sangat keras ke perutku, tetapi aku tak merasakan apa-apa. Sesampai di rumah aku menderita sakit perut dan mencret-mencret. Ternyata tubuhku hanya kuat di luarnya saja, di bagian dalamnya, ya, biasa-biasa saja. Mungkin ini merupakan kekuatan yang diberikan oleh ilmu dari Mas Soeba lewat ‘bebesel’ yang selalu kupakai. Wallahu a’lam bissawab.

***

Ketika naik ke kelas dua Kosasih kumasukkan ke HIS di Majalengka dan mengulang lagi di kelas satu. Karena untuk kelas satu usianya terlalu tua, tanggal lahirnya dimudakan satu tahun,

sehingga tanggal lahirnya menjadi 4 Maret 1933. Istriku mengantarkan dan menjemputnya tiap hari. Aku dan beberapa orang teman yang anak-anaknya bersekolah di Majalengka, bergotongroyong

berlangganan kahar Pa Saptiah untuk antar jemput anak-anak ke dan dari sekolah di

Majalengka.

Sambil menunggu Kosasih bersekolah istriku mengikuti kursus menjahit dan membordir di toko mesin jahit. Pada waktu itu aku baru saja membeli mesin jahit ‘Singer’ secara mencicil dari toko Jeoang ‘O no dero’. Selama mesin jahit itu belum lunas, tidak boleh dibawa pulang ke rumah dulu, tetapi boleh dipergunakan untuk belajar menjahit dan membordir di toko itu dengan gratis.

Setelah cicilan mesin jahit lunas, istriku tidak pergi ke Majalengka tiap hari lagi. Kosasih beserta teman-temanya cukup diantar jemput oleh Pak Saptiah dengan kaharnya saja.

Untuk menjaga kalau-alau terjadi hal yang tidak diduga, selain uang jajan yang besarnya

sebenggol (dua setengah sen) setiap hari, Kosasih kubekali dua keping uang ketip. (Satu ketip sama dengan sepuluh sen.) Uang ini hanya boleh dipergunakan dalam keadaan darurat saja, misalnya kalau Pak Saptiah tiba-tiba berhalangan menjemput, ia harus menyewa kahar lain.

Pada suatu hari Kosasih memberi laporan, bahwa uang cadangan itu terpaksa dipakai. Ketika kutanya, apa sebabnya, ia menjawab, “Rasanya waktu itu Aos masih punya uang sepeser lagi, dipegang terasa ada di dalam saku. Kemudian Aos makan kue seharga sepeser. Ketika akan membayar, Aos mencari-cari uang itu tidak ada, yang ada hanya uang ketip saja dua keping, sehingga terpaksa Aos membayar dengan uang ketip itu. Ini uang kembaliannya sembilan setengah sen.”

(Uamg peser itu nilainya sama dengan setengah sen dan sepintas lalu bentuk dan besarnya sama dengan uang ketip, hanya uang peser terbuat dari tembaga, sedangkan uang ketip terbuat dari perak.)

Atas peristiwa ini aku hanya bisa memberi nasihat, “Lain kali, kalau mau jajan harus dilihat dulu dengan betul, apakah uangnya masih ada.”

Setelah kuberi uang ketip penggantinya, ia berjanji akan lebih berhati-hati lagi.

***

Tentang azimat kekebalan yang kumiliki itu ada cerita lain. Seperti telah kuceritakan, azimat itu tidak boleh dibawa buang air kecil atau buang air besar.

Kegemaranku yang lain di Sukahaji adalah menjala ikan di sungai. Pada suatu hari aku menjala ikan di Sungai Cibutul ditemani oleh Kosasih. Karena aku masuk ke dalam sungai yang dalam airnya, takut kalau-kalau azimatku jadi basah, kumasukkan ke dalam saku celana Kosasih yang mengikutiku di pinggir sungai, dengan pesan agar jangan dibawa buang air kecil atau buang airbesar.

Pada saat aku asyik menebarkan jala, tiba-tiba kudengar gemercik air. Ketika kutoleh, ternyata Kosasih sedang buang air kecil dengan tenang di sungai itu. Ya ampuuuuun….., azimatku jadi hilang keampuhannya.

Ketika hal itu kulaporkan kepada guruku, ia menjawab, “Biarlah azimat itu tidak usah dibawa bawa lagi. Ilmu yang telah dipelajari itu lebih baik ‘ditebus’ saja dengan puasa pada hari Kamis dan malam Jumat sehari semalam dan pada malam Jumatnya tidak boleh tidur. Perintahnya ini segera kulaksanakan.

***

Kegemaranku yang lain lagi di Sukahaji adalah main panahan. Anak panahku kuberi julukan ‘Si Engang’. (‘Engang’ adalah ‘lebah besar’.) Dalam permainan ini para pemain duduk bersila di atas tikar untuk memanah sasaran yang telah ditentukan berupa boneka-bonekaan. Di dekat tempat sasaran sudah terdapat anak buahku yang berusaha memanduku, dengan cara meneriakkan kekurangan atau kelebihan anak panahku dari sasarannya. Kalau anak panahku tidak sampai ke sasaran, ia akan berteriak, “Langkungan, Engaaaaang!” (‘Langkungan’ berarti ‘lebihi’.) Dan kalau terlalu jauh melewatinya, ia berteriak, “Kirangan, Engaaaaang…..!” (‘Kirangan’ berarti ‘kurangi’.)

Setelah acara panahan ini selesai, anak buahku kuberi uang jajan sekedarnya.

Tentang kegemaranku ini tak banyak yang dapat kuceritakan.

Istriku sendiri di Sukahaji ini mempunyai kegemaran main badminton dengan istri guru-guru dan istri pegawai kecamatan.

***

Istriku melahirkan lagi anak perempuan, pada tanggal 2 Desember 1940, kuberi nama Raden Koerlinasih, merupakan anakku yang kelima. Seperti biasanya, pada waktu hamil tua istriku

selalu kuantarkan pulang ke Darmaraja untuk melahirkan di dekat orang tuanya.

Di Sukahaji ini aku rajin menabung, sehingga dengan uang tabungan itu aku bisa membeli rumah kepunyaan Pak Saptiah, tetanggaku, yang selama ini kusewa.

2. Dai Nippon Teikoku

Di surat kabar ‘Pemandangan’ kubaca berita, bahwa pada tanggal 8 Desember 1941 Angkatan Udara Jepang membom pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii. Maka pecahlah Perang Asia Timur Raya.

Pada awal tahun 1942 ke Sukahaji datang serombongan militer Belanda. Mereka adalah

rombongan militer yang akan menuju ke Cirebon untuk berperang melawan militer Jepang yang kabarnya telah menguasai Laut Jawa, dan mengancam akan segera mendarat di Pulau Jawa.

Rombongan militer Belanda itu menginap di rumah-rumah rakyat yang sudah dikosongkan ruangan depannya untuk keperluan itu.

Setelah rombongan itu pergi, di Sukahaji sering dibunyikan sirine, tanda ada pesawat terbang musuh yang lewat. Di samping itu ke Sukahaji sering pula lewat konvooi militer Belanda dari arah Cirebon. Kabarnya mereka melarikan diri setelah militer Jepang mendarat di Eretan dan Anjatan, daerah Indramayu. Tentara Belanda itu menuju ke Bandung, lalu ke Cilacap, selanjutnya melarikan diri menyeberang ke Australia dangan kapal laut.

***

Pada suatu hari aku mendapat tilgram dari Ciwangi yang mengatakan bahwa ibuku sakit keras. Pada hari Sabtu itu juga aku berangkat sendiri ke Ciwangi. Memang ibuku sakit keras, tetapi akuhanya bisa semalam di Ciwangi. Pada hari Ahad sore aku kembali ke Sukahaji.

Seminggu setelah itu aku mendapat tilgram lagi yang memberitahukan bahwa ibuku telah

meninggal. Segera aku menyewa kahar Pak Saptiah sampai Majalengka, dari sana menyewa kahar lain langsung ke Cadasngampar, lalu dari sana berjalan kaki ke Ciwangi dengan menyeberang Sungai Cimanuk memakai perahu. Aku sampai ke Ciwangi pukul satu siang dan ternyata ibuku sudah diberangkatkan satu jam yang lalu ke pemakaman, setelah sia-sia menunggu kedatanganku. Aku hanya bisa menangis.

“Ema meninggal kemarin pagi, dan Tata langsung mengirim tilgram dengan harapan akan diterima Dodo sore harinya dan Dodo akan berangkat hari itu juga, atau paling lambat pagi-pagi hari ini dari sana, dengan demikian pemakaman direncanakan akan dilaksanakan pukul dua belas

hari ini,” kata ayahku sepulang dari pemakaman.

“Tilgram itu baru saya terima pukul sembilan tadi pagi, saya langsung berangkat,” kataku sambil menangis.

Ketika keesokan harinya kutanyakan ke kantor PTT (Pos, Telegraaf & Telefoon), sekarang Telkom, di Darmaraja, ternyata tilgram itu dikirimkan pada saat itu juga ke Sumedang, dan ketika kutanyakan ke kantor PTT di Sumedang, ternyata di kantor PTT Sumedang sedang terdapat gangguan teknis, sehingga tilgram itu baru bisa dikirim ke Majalengka keesokan harinya.

Ibuku, Njimas Natamoelia binti Mas Martanata, meninggal pada tahun 1942 dalam usia 54 tahun, dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Batununggul’, Darmaraja.

***

Pada bulan Maret 1942 di lapangan terbang Kalijati (Subang), Pemerintah Belanda dengan resmi menyerah tanpa syarat kepada Balatentara Dai Nippon, yang telah menguasai semua kota besar di seluruh Pulau Jawa. Dengan demikian kekuasaan Nederlandse Indise Governement diambil

alih oleh Pemerintah Balatentara Dai Nippon yang dinamai Dai Nippon Teikoku.

Karena sekolah-sekolah Belanda dibubarkan, termasuk HIS tempat Kosasih bersekolah, maka Kosasih yang sudah duduk di kelas dua HIS kupindahkan kembali ke Volksschool Sukahaji yang pada waktu itu sudah berganti nama menjadi Sekolah Rakjat. Ia melanjutkan ke kelas dua, sedangkan adiknya, Koeswara sudah duduk di kelas satu.

***

Pada zaman Jepang ini keadaan masyarakat, termasuk sekolah-sekolah, menjadi kacau. Roda perekonomian sehari-hari berjalan lamban, barang-barang keperluan sehari-hari banyak yang menghilang dari pasar.

Alat-alat sekolah semakin morat-marit. Kiriman dari Pemerintah seperti dulu tidak pernah datang lagi.

Murid-murid terpaksa mempergunakan alat-alat seadanya. Kertas untuk menulis

dipergunakan kertas merang yang kasar dan berwarna kuning. Juga untuk menulisnya harus

mempergunakan potlot yang di dalamnya seperti arang kayu, sehingga sukar dipergunakan.

Ada murid yang mempunyai akal untuk memperoleh buku tulis baru, yaitu buku tulis lama yang telah penuh ditulisi tinta dan tidak terpakai lagi, direndam dengan air mendidih sehingga tulisannya hilang. Dengan demikian mereka memperoleh buku baru yang bekas pakai.

Pada zaman Jepang ini tahun penanggalan diubah, disesuaikan dengan tahun ‘Showa’ yang dipergunakan oleh bangsa Jepang. Tahun 1942 Masehi disesuaikan menjadi tahun 2602 Showa.

Murid-murid diharuskan melakukan apel pagi setiap hari dengan acara:

(1) menaikkan bendera kebangsaan Jepang ‘Hinomaru’,

(2) menyanyikan lagu kebangsaan Jepang ‘Kimigayo’,

(3) melakukan ‘saikerei’ yaitu menghormat kepada Kaisar Hirohito, dengan cara membungkukkan badan sedalam-dalamnya seperti orang beruku dalam sholat, menghadap ke arah kedudukannya di Tokyo,

(4) mengucapkan sumpah pelajar,

(5) melakukan ‘taishoo’, yaitu senam pagi dengan

diiringi lagu atau musik. Setelah apel pagi, barulah mereka masuk kelas untuk belajar.

Dalam pelajaran olah raga tercantum pelajaran ‘odori’, yaitu senam irama masal yang diiringi lagu atau musik. Di samping itu murid-murid diajari baris-berbaris dengan memanggul ‘takeyari’ (bambu runcing). Selanjutnya mereka berlatih perang-perangan ala militer Jepang.

Selain itu murid-murid diwajibkan berkebun untuk menanam pohon kaliki (jarak), yang

kemudian buahnya dikumpulkan dan disetorkan kepada Pemerintah. Juga pada tiap hari Sabtu dilakukan ‘kogun’ (gerak jalan), biasanya ke hutan atau ke gunung, sambil mencari ileus (ilesiles), yang juga harus dikumpulkan dan disetorkan kepada Pemerintah.

Di kelas, murid-murid belajar ‘Nippon-go’ (Bahasa Jepang) yang diselenggarakan tiap hari.

Untuk mengajar ‘Nippon-go’ ini aku dan guru bantuku, secara bergantian mengikuti kursus

‘Nippon-go’ yang diselenggarakan oleh Pemerintah di Majalengka.

Di luar sekolah didirikan ‘Seinendan’ (Pemuda Pembantu Militer) dan ‘Keibodan’ (Pemuda Pembantu Polisi). Di kalangan perempuan didirikan ‘Fujinkai’ (Barisan Pemudi).

Kesemuanya itu diperuntukkan bagi keperluan perang untuk memenangkan ‘Perang Asia Timoer Raja’, yang bersemboyan ‘3-A’ (Nippon Tjahaja Asia, Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindoeng Asia).

***

Karena roda perekonomian semakin tersendat-sendat, harga-harga bahan makanan membubung

tinggi, sehingga gajiku tidak memadai lagi untuk hidup layak, akhirnya kuputuskan untuk

menitipkan sebagian anak-anakku kepada mertuaku di Darmaraja, dengan catatan, karena di sana

aku masih mempunyai sawah yang bisa memberi makan kepada anak-anakku itu. Anak-anakku yang kukirim ke Darmaraja adalah Kosasih yang sudah duduk di kelas lima Sekolah Rakyat dan Koeswara yang duduk di kelas empat.

Setahun kemudian, yakni pada tahun 1944, aku minta dipindahkan ke Sekolah Rakjat Wado,

kabupaten Sumedang, yang jaraknya hanya empat kilometer dari Darmaraja, karena Mantri Guru

di sana memasuki masa pensiun. Anak-anakku yang telah lebih dulu pindah ke Darmaraja, kupindahkan juga ke Wado, sehingga dengan demikian kami sekeluarga berkumpul kembali. Di samping itu ikut pula seorang pembantu rumah tangga dari Sukahaji, si Ratem. Di kemudian hari ia kawin dengan seorang pemuda tetanggaku di Wado, bernama Pepe.

***

Wado adalah kota kecamatan yang termasuk kawedanan Darmaraja, kabupaten Sumedang.

Kesengsaraan rakyat di Wado sama saja dengan di Sukahaji. Karena di daerah Wado terdapat perkebunan karet, penduduk berusaha menutup kebutuhan pakaiannya dengan hasil perkebunan itu, yaitu membuat kain panjang untuk perempuan dari bahan karet tipis. Tentu saja dipakainya tidak nyaman, karena kain karet itu tidak bisa menyerap keringat, sehingga terasa sangat panas.

Di samping itu dibuat juga ban sepeda dari karet mentah, yang disebut ‘ban buta’. Ban ini tidak mempergunakan ban luar dan ban dalam yang diisi udara, melainkan dipasang begitu saja membelit pelek sepeda, seperti ban pada roda dokar (delman). Sudah dapat dipastikan, bahwa naik sepeda dengan ‘ban buta’ ini akan menyakitkan tubuh.

Untuk memperkuat pertahanannya, Jepang membentuk kesatuan militer yang terdiri atas bangsa Indonesia yaitu ‘Heiho’ dan ‘Peta’ (Pembela Tanah Air). ‘Heiho’ diberi tugas untuk berperang dan mempertahankan daerah pendudukan Jepang di mana saja di kawasan Asia Timur, sedangkan ‘Peta’ diberi tugas membela (tanah air) Indonesia saja.

Pernah ke Wado datang satu batalyon ‘Peta’ yang menginap selama satu malam. Mereka ditempatkan di rumah-rumah penduduk. Ketika di rumahku ditempatkan komandannya yang disebut ‘Shodancho’ (Komandan Batalyon), aku sempat terkejut karena komandannya tersebut adalah Kang Oemar, kakak kelasku di Normaalschool Garut dulu. Pertemuan ini sangat mangharukan kami. Shodancho Oemar tampak gagah dengan pakaian seragam Peta-nya itu.

Semalam-malaman kami mengobrol tentang pengalaman-pengalaman kami sekeluar dari Normaalschool Garut. Terakhir ia menjadi Mantri Guru di Sumedang dan ketika Pemerintah Jepang membentuk kesatuan militernya, ia memasuki barisan ‘Peta’ ini.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Entah ke mana.

***

Pada sutu hari aku pulang dari Sumedang ke Darmaraja bersama Kang Adjep, yang juga sudah menjadi Mantri Guru di Jonggol (Bogor). Ketika itu kami berdua berjalan kaki sejauh tiga puluh kilometer, karena pada zaman Jepang tidak ada kendaraan umum yang menghubungkan Darmaraja dengan Sumedang. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan rombongan orang-

orang yang akan menjadi ‘romusha’ (pekerja paksa). Pada tahun pertama pendudukan Jepang di Indonesia, untuk menjadi ‘romusha’ belum merupakan paksaan, melainkan masih dengan sukarela, demi kemenangan perang Asia Timur Raya, dengan iming-iming fasilitas-fasilitas yang menggiurkan. Di antara mereka ada beberapa orang yang menyapa kami karena mereka berasal dari kampung kami juga.

Tiba-tiba kami terkejut karena kami lihat di antara mereka ada Uwa Ita, kakak kandung ibu kami, tempat aku tinggal selama bersekolah di Vervolgschool Darmaraja. Karena kami menyadari bagaimana penderitaan orang yang menjadi ‘romusha’ itu, kepada pemimpin rombongan, yang kebetulan kami kenal, kami minta izin untuk membatalkan kepergian Uwa Ita sebagai ‘romusha’ dengan alasan ia sedang sakit. Memang kami tidak berbohong, karena pada waktu itu memang benar Uwa Ita sedang sakit mata, rabun yang agak parah. Jangankan untuk bekerja keras sebagai ‘romusha’, untuk berjalan biasa saja ia sudah kepayahan. Pada masa pendudukan Jepang pemeriksaan dan pengobatan mata di Darmaraja, bahkan di Sumedang pun, masih sangat sukar.

Pada saat itu juga Uwa Ita kami bawa kembali ke Darmaraja.

Ketika aku bertanya kepadanya, mengapa ia begitu nekad menjadi ‘romusha’, ia menjawab, “Uwa mempunyai harapan dalam pemeriksaan kesehatn nanti, sakit mata Uwa akan diketahui dan akan diobati sehingga sembuh.”

Mendengar jawaban itu, kami berdua diam saja, karena kami tahu bahwa harapan Uwa Ita itu mustahil akan terwujud. Akhirnya kami bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala, karena Uwa Ita dapat kami selamatkan dari penderitaan ‘romusha’ seperti yang sering terjadi di manamana selama pendudukan Jepang itu. Di hari tuanya, beberapa tahun sebelum meninggal, setelah diobati ke mana-mana tanpa membuahkan hasil, kedua mata Uwa Ita sempat menjadi buta.

***

3. Republik Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, atas nama bangsa

Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebagai berikut:

P R O K L A M A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal

mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan tjara saksama dan

dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, 17 Agoestoes 1945

Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno – Hatta

Keesokan harinya PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945, menetapkan tiga keputusan:

(1) menetapkan dan mengesahkan Oendang-Oendang Dasar Repoeblik Indonesia,

(2) memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden Repoeblik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Repoeblik Indonesia, dan

(3) membentuk KNIP (Komite Nasional Indonesia Poesat) yang kelak akan menjadi MPR (Madjelis Permoesjawaratan Rakjat).

Pada tanggal 22 Agustus 1945 PPKI membentuk BKR (Badan Keamanan Rakjat) sebagai alat Pemerintah untuk menjaga keamanan rakyat dan negara, kemudian pada tanggal 29 Agustus 1945 PPKI mengesahkan dan melantik para anggota KNIP.

Kabinet Repoeblik Indonesia yang pertama terbentuk pada tanggal 2 September 1945 merupakan Presidentiele Kabinet dengan susunan sebagai berikut:

Presiden R.I. : Ir. Soekarno

Wakil Presiden R.I. : Drs. Mohammad Hatta

Menteri Dalam Negeri : R.A.A. Wiranatakoesoemah

Menteri Loear Negeri : Mr. Achmad Soebardjo

Menteri Keoeangan : Mr. A.A. Maramis

Menteri Kehakiman : Prof. Dr. Mr. Soepomo

Menteri Kemakmoeran : Ir. Soerachman Tjokroadisurjo

Menteri Keamanan Rakjat : Soeprijadi

Menteri Kesehatan : Dr. Boentaran Martoatmodjo

Menteri Pengadjaran : KI Hadjar Dewantara

Menteri Penerangan : Mr. Amir Syarifoeddin

Menteri Sosial : Mr. Iwa Koesoemasoemantri

Menteri Pekerdjaan Oemoem : Abikoesno Tjokrosoejoso

Menteri Perhoeboengan a.i. : Abikoesno Tjokrosoejoso

Menteri Negara : Wahid Hasjim

Menteri Negara : Dr. M. Amir

Menteri Negara : Mr. R.M. Sartono

Menteri Negara : R. Otto Iskandardinata

Ketua Mahkamah Agoeng : Dr. Mr. Koesoemah Atmadja

Djaksa Agoeng : Mr. Gatot Taroenamihardja

Sekretaris Negara : Mr. A.G. Pringgodigdo

Djoeroe Bicara Negara : Soekardjo Wirjopranoto

Selanjutnya disahkan pembagian wilayah Repoeblik Indonesia menjadi delapan propinsi beserta

para gubernurnya:

1. Propinsi Soematera : Mr. Teuku Mohammad Hassan

2. Propinsi Djawa Barat : Soetardjo Kartohadikoesoemo

3. Propinsi Djawa Tengah : R. Pandji Soeroso

4. Propinsi Djawa Timoer : R.A. oerjo

5. Propinsi Soenda Ketjil : Mr. I. Goesti Ktoet Poedja

6. Propinsi Maloekoe : Mr. J. Latoeharhary

7. Propinsi Soelawesi : Dr. G.S.S.J. Ratoelangie

8. Propinsi Kalimantan : Ir. Pangeran Mohammad Noor

***

Pekik ‘Merdeka’ bergema di mana-mana.

Aku sempat bingung ketika seorang kenalanku yang bertemu di jalan mengepalkan dan

mengacungkan tangannya sambil berteriak, “Merdeka…..!” Semula aku hanya tertawa saja dan menyambutnya dengan ramah. Lama-lama aku mengerti, bahwa setiap pekikan salam ‘Merdeka’ harus disambut pekikan salam ‘Merdeka’ lagi, sambil mengacungkan kepalan tangan. Maka bergemalah pekik ‘Merdeka’ di seluruh Indonesia.

***

Balatentara Jepang dipaksa harus menyerahkan senjatanya kepada para pemuda Indonesia yang tergabung dalam BKR. Pada tanggal 19 September 1945 rakyat Jakarta membanjiri lapang IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) untuk menghadiri rapat raksasa, mendengarkan pidato Presiden Soekarno. Ternyata Presiden Soekarno tidak jadi berpidato, hanya memberi pesan agar rakyat menaruh kepercayaan kepada para pemimpin, lalu kepada rakyat yang berkumpul di sana diperintahkan agar meninggalkan lapangan dan segera pulang ke rumah. Dengan tertib rakyat membubarkan diri dan meninggalkan lapangan, pulang ke rumahnya masing-masing. Inilah bukti pertama ketaatan rakyat Indonesia terhadap pemimpinnya.

Pada tanggal 29 September 1945 Tentara Sekutu (Inggris) yang dipimpin oleh Lord Louis Mountbatten mendarat di Pulau Jawa untuk melucuti Tentara Jepang yang kalah perang.

Militer Belanda, yang ingin mengembalikan masa jaya penjajahannya di daerah Hindia Belanda dulu,ikut membonceng kepada Tentara Sekutu ini, ikut mendarat di Pulau Djawa. Tetapi di sini mereka selain menemukan Tentara Jepang yang kalah perang, juga harus berhadapan dengan pasukan BKR yang sudah siap dengan senjatanya untuk mempertahankan tanah airnya, yang baru saja diproklamasikan.

Untuk menguasai posisi di lapangan, BKR kemudian diubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakjat) pada tanggal 5 Oktober 1945. Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakjat diangkat menjadi Pemimpin Tertinggi TKR dan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf Oemoem TKR.

Di kemudian hari, peresmian TKR pada tanggal 5 Oktober 1945 ini menjadi ‘Hari Angkatan Perang’.

Dalam sidang lengkap KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945 Pemerintah mengeluarkan

pengumuman yang disebut ‘Makloemat Wakil Presiden no. X’ yang berbunyi: ‘Bahwa, KNIP (Komite Nasional Indonesia Poesat) sebeloem terbentoek MPR (Madjelis Permoesjawaratan

Rakjat) dan DPR (Dewan Perwakilan Rakjat) diserahi kekoeasaan legislatif dan ikoet

menentoekan GBHN (Garis-garis Besar Haloean Negara, serta menjetoedjoei bahwa pekerdjaan KNIP sehari-hari, berhoeboeng dengan gentingnja keadaan, didjalankan oleh seboeah Badan Pekerdja’.

Pada tanggal 3 Nopember 1945 Pemerintah mengizinkan berdirinya partai-partai politik. Tidak lama kemudian muncul partai-partai politik:

(1) MASJOEMI (Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia), dipimpin oleh Dr. Soekiman (7 Nopember 1945);

(2) PKI (Partai Komoenis Indonesia), dipimpin oleh Mr. Moehammad Joesoef (21 Oktober 1945);

(3) PBI (Partai Boeroeh Indonesia), dipimpin oleh Njono (8 Nopember 1945);

(4) PRD (Partai Rakjat Djelata), dipimpin oleh Soetan Dewanis (8 Nopember 1945);

(5) PARKINDO (Partai Kristen Indonesia), dipimpin oleh Ds. Poerbowinoto (10 Nopember 1945);

(6) PSI (Partai Sosialis Indonesia), dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifoeddin (10 Nopember 1945);

(7) PRS (Partai Rakjat Sosialis), dipimpin oleh Soetan Sjahrir (20 Nopember 1945); PSI dan PRS kemudian bergabung dengan nama PSI (Partai Sosialis Indonesia), dipimpin oleh Soetan Sjahrir;

(8) PKRI (Partai Katholik Repoeblik Indonesia), dipimpin oleh I.J. Kasimo (8 Desember 1945);

(9) PERMAI (Persatoean Rakjat Marhaen Indonesia), dipimpin oleh J.B. Assa; dan

(10) PNI (Partai Nasional Indonesia), dipimpin oleh Sidik Djojosoekarto (29 Januari 1946).

***

Aku sendiri bergabung dengan pemuda-pemuda lainnya dalam wadah ‘Pesindo’ (Pemoeda

Sosialis Indonesia) dan kemudian menjadi anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia). Selanjutnya aku ditunjuk oleh Camat Wado menjadi Ketoea Gaboengan Organisasi Pemoeda di kecamatan Wado.

Sementara itu istriku di Darmaraja melahirkan anak perempuan yang kuberi nama Raden Koermajani, pada tanggal 22 Desember 1945, merupakan anakku yang keenam.

***

Pada bulan Oktober 1945 datang Dr. H.J. van Mook, Kepala NICA (Netherland Indies Civil Administration), yang kemudian diangkat menjadi Wakil Goebernoer Djenderal Hindia Belanda di Jakarta.

Pada tanggal 10 Nopember 1945 terjadi penyerangan dari laut dan udara atas kota Surabaya oleh Tentara Sekutu yang tergabung dalam ‘5th Indian Division’ dibawah pimpinan Major Djenderal E.C. Mansergh. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini banyak sekali pejuang kemerdekaan Indonesia yang gugur.

Kemudian tanggal 10 Nopember 1945 ini dinyatakan sebagai ‘Hari Pahlawan’ untuk mengenang gugurnya para pahlawan Indonesia. Dari pihak Sekutu tewas Brigadir Djenderal A.W.S. Mallaby.

***

Seperti kita ketahui dalam Kabinet Republik Indonesia yang pertama ditetapkan Soeprijadi, pahlawan perlawanan Peta yang memberontak terhadap Balatentara Jepang di Blitar (Pebruari 1945) sebagai Menteri Keamanan Rakjat. Tetapi oleh karena Soeprijadi tidak pernah muncul,kabarnya gugur dibunuh oleh Balatentara Jepang, maka kemudian ditetapkan pejabat-pejabat dalam Kementerian Keamanan Rakjat sebagai b erikut:

Menteri Keamanan Rakjat : Soeprijadi

Menteri Keamanan Rakjat a.i. : Mohammad Soeljoadikoesoemo

Panglima Tertinggi TKR : Soeprijadi

Kepala Staf Oemoem TKR : Oerip Soemohardjo

Selanjutnya pada tanggal 18 Nopember 1945 diadakan perubahan sebagai berikut:

Panglima Tertinggi TKR : Djenderal Soedirman

Kepala Staf Umum TKR : Letnan Djenderal Oerip Soemohardjo

Pada tanggal 24 Januari 1946 TKR diganti namanya menjadi TRI (Tentara Repoeblik Indonesia).

***

Pada suatu hari di tahun 1946, ketika aku sedang mengajar di sekolah datang seorang Inspektur Polisi yang mula-mula tidak kukenal. Setelah kulihat dengan teliti ternyata ia kemanakanku sendiri, anak kakakku Nji Raden Antria, Inspektur Polisi M. Djamoeh.

Setelah kami bersalaman dan melepaskan kangen, kupanggil anakku Kosasih dan Koeswara yang sedang belajar di kelas untuk menemui kakak sepupunya.

Kemanakanku memberi tahu bahwa kedatangannya ke Wado ini sedang mengemban tugas Pemerintah. Ia memimpin satu peleton anggota Polisi dengan mengendarai dua buah truck untuk melucuti anggota BARA (Barisan Rakjat), yaitu satuan pejuang bersenjata yang diharapkan rakyat untuk berjuang melawan Belanda dan melindungi rakyat, ternyata bertindak sebaliknya, berlaku kejam dan bertindak sesenang-wenang terhadap rakyat.

Dari Bandung kemanakanku dengan anak buahnya langsung menuju ke Wado dengan maksud mengalihkan perhatian massa dan target operasi agar tidak kaget karena kedatangan satu peleton Polisi dari Bandung. Di samping itu, ya, sekedar minta doa restu kepadaku sebagai pamannya,

karena ayah (tiri) dan ibunya ada di Ciwangi yang jalannya tidak dapat dilalui kendaraan bermotor.

Setelah beristirahat sebentar, kedua truck itu kembali ke Darmaraja dan tanpa dicurigai oleh para anggota BARA, peleton Polisi itu sudah mengepung Markas BARA. Seluruh anggota pasukan BARA dilucuti tanpa mengadakan perlawanan yang berarti. Pemimpin beserta anggota stafnya dibawa ke Bandung.

***

Pada akhir tahun 1945 kami sekeluarga pindah ke Darmaraja, karena aku minta dipindahkan menjadi Mantri Guru Sekolah Rakjat Darmaraja. Harapanku untuk pindah ke tanah kelahiranku sudah terlaksana. Mantri Guru Sekolah Rakjat Darmaraja yang kugantikan, Kang Wira, juga dipindahkan ke tanah kelahirannya di Balaraja (Banten).

Di Darmaraja aku dan keluarga tinggal serumah dengan mertuaku mengisi rumah panggung yang besar.

***

Pada tahun 1946 Presiden Soekarno direncanakan akan berkunjung ke Sumedang dan akan berpidato pada rapat raksasa di alun-alun Sumedang. Seluruh rakyat di kabupaten Sumedang dianjurkan untuk menghadirinya.

Sehari sebelumnya, kami sudah bersiap-siap untuk menghadirinya. Kami berombongan terdiri atas beberapa orang, di antaranya anak-anakku Kosasih dan Kuswara. Ayahku, Tata, yang pada waktu sudah berusia 60 tahun ikut juga dalam rombongan, ditambah dengan beberapa orang sekampungku yang penasaran ingin melihat presidennya sendiri.Pukul sembilan malam kami berangkat. Kami berjalan kaki karena pada waktu itu belum ada kendaraan umum yang bisa kami tumpangi dari Darmaraja ke Sumedang. Jarak antara Darmaraja -Sumedang sejauh 28 kilometer kami tempuh dalam waktu lebih kurang delapan jam, sehingga pada waktu subuh kami sudah beristirahat di pelataran Masjid Agung Sumedang setelah sholat subuh.

Rakyat mulai berbondong-bondong memenuhi alun-alun Sumedang, sedangkan pidato Presiden Soekarno dimulai pukul 10.00 siang dan diakhiri lebih kurang pukul 14.00. Lebih kurang pukul 15.00 kami kembali ke Darmaraja. Perjalanan pulang terasa sangat lamban karena kami sudah lelah berjalan dan mata mulai terasa mengantuk.

Ketika sampai ke Cieunteung yang jaraknya lebih kurang dua kilometer lagi dari Darmaraja, Kosasih sudah tidak bisa bertahan lagi. Waktu beristirahat di sebuah pos ronda, ia tertidur pulas. Terpaksa aku memisahkan diri dari rombongan dan menunggu sampai Kosasih bangun, sedangkan Koeswara ikut dengan induk rombongan melanjutkan perjalanan. Baru lebih kurang satu jam kemudian ia bangun, lalu kami melanjutkan perjalanan kembali. Kami sampai di rumah menjelang tengah malam.

***

Berhubung dengan keamanan kota Jakarta semakin buruk, pada tanggal 4 Januari 1946 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pindah ke Yogyakarta, sedangkan Perdana Menteri Soetan Sjahrir tetap di Jakarta.

Pada tanggal 23 Maret 1946 Tentara Sekutu memberi ultimatum agar TRI mengosongkan Kota Bandung. TRI yang masih menduduki Kota Bandung mendapat dua macam perintah:

(1) dari Yogyakarta diperintahkan agar tetap mempertahankan Kota Bandung, sedangkan (2) dari Jakarta diperintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung. TRI mematuhi perintah dari Jakarta, meninggalkan Kota Bandung setelah membumihanguskannya. Peristiwa ini kemudian disebut Peristiwa ‘Bandoeng Laoetan Api’.

Pada tanggal 1 Oktober 1946 dengan resmi Pemerintah Repoeblik Indonesia menerbitkan uang yang diberi nama ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Perbandingan ORI dengan uang Jepang adalah 1 : 50 untuk Pulau Jawa dan 1 : 100 untuk luar Jawa. Sementara itu di daerah yang diduduki Nica beredar Uang Hindia Belanda dan Uang Nica yang oleh rakyat disebut ‘uang merah’.

Bersamaan dengan terbitnya ORI ini kemanakanku Inspektur Polisi M. Djamoeh menikah dengan Nji Raden Toeti Winadjeng di Malangbong (Garut). Untuk mengenang hari pernikahan yang bersamaan dengan terbitnya ORI ini, di kemudian hari tiga orang anaknya diberi nama: Poepoe Oriana, Jeanne Oriani, dan Deddy Oriadi.

***

Anak-anakku, Kosasih sudah duduk di kelas enam Sekolah Rakjat, Koeswara di kelas lima, Koerniasari di kelas 4, dan Koerlinasih di kelas satu, sedangkan Koermajani belum masuk sekolah.

Ketika Kosasih menamatkan Sekolah Rakjat pada pertengahan tahun 1946, istriku masih kuatir untuk melepaskannya bersekolah di Sumedang. Akhirnya Kosasih kusuruh mengulang saja di kelas enam, jadi sekelas dengan adiknya, Koeswara.

***

Tanggal 11 Desember 1946 terjadi pembunuhan masal 40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan oleh Militer Nica yang dipimpin oleh Kapten KNIL Raymond Westerling. (KNIL = Koninkelijke Nederlandse Indiese Leger = Tentara Keradjaan di Hindia Belanda).

Pada tanggal 18 Desember 1946 Belanda mendirikan NIT (Negara ‘boneka’ Indonesia Timoer) yang dipimpin oleh Presiden Soekawati.

***

Dengan disaksikan seorang diplomat Inggris, Lord Killearn, sebagai ketua perundingan

Indonesia-Belanda, utusan Repoeblik Indonesia yang dipimpin oleh Soetan Sjahrir dan utusan Negara Belanda yang dipimpin oleh Prof. Dr. Schermerhorn, pada tanggal 25 Maret 1947 menandatangani ‘Persetoejoean Linggajati’ di Hotel Linggajati, Kuningan (Cirebon), yang isinya:

(a) Pemerintah Belanda mengakui Repoeblik Indonesia (yang meliputi pulau Jawa dan

Sumatera),

(b) di bekas daerah Hindia Belanda akan didirikan RIS (Repoeblik Indonesia

Serikat), dan

(c) antara RIS dan Negara Belanda akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang

diketuai oleh Ratu Belanda.

Dengan ditandatanganinya ‘Persetoejoean Linggajati’ maka Pemerintah Belanda dengan resmi mengakui Repoeblik Indonesia.

***

Pada tanggal 1 April 1947 diberlakukan penggunaan ‘Ejaan Republik Indonesia’, untuk

menggantikan ‘Ejaan van Ophuysen’. Perbedaan yang terutama dalam ejaan baru ini adalah digantinya huruf oe (contohnya; boekoe) menjadi u (contohnya: buku). Di samping itu dicantumkan juga perubahan-perubahan lainnya. Karena pada waktu ejaan ini diumumkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Mr. Soewandi, maka ejaan ini disebut juga ‘Ejaan Suwandi’.

***

Pada tanggal 9 Mei 1947 Belanda membentuk Dewan Federal ‘boneka’ Borneo Tenggara dan pada tanggal 12 Mei 1947 membentuk Daerah Istimewa ‘boneka’ Borneo Barat dengan dipimpin oleh Soeltan Hamid Algadrie II.

***

Pada tanggal 3 Juni 1947 TRI (Tentara Republik Indonesia) diganti namanya menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang terdiri atas tiga unsur, yaitu TNI/AD (TNI Angkatan Darat), TNI/AU (TNI Angkatan Udara) dan TNI/AL (TNI Angkatan Laut).

***

Pada pertengahan tahun 1947 Kosasih menamatkan Sekolah Rakjat untuk kedua kalinya, lalu mengikuti ujian masuk ke Sekolah Lanjutan Pertama di Sumedang. Ia mendaftarkan untuk masuk ke SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan ke SGB (Sekolah Guru B). Ia lulus ujian masuk dengan nilai terbaik untuk seluruh kabupaten Sumedang, yaitu untuk pelajaran

Berhitung 10, Bahasa Indonesia 10, dan Pengetahuan Umum 9.

Kami sekeluarga merasa bersyukur dengan lulusnya Kosasih yang memperoleh nilai terbaik ini, lalu bersiap-siap untuk melepas kepergian anakku sulung yang akan merantau, mencari ilmu, masuk ke SMP Negeri Sumedang.

*****

P E R A N G KE M E R D E K A A N

1. Serangan Udara

Pada tanggal 4 Mei 1947 Soeria Kartalogawa memproklamasikan Negara ‘boneka’ Pasundan dan ia menjadi Kepala Negaranya. Di kemudian hari ternyata bahwa Negara ‘boneka’ Pasundan ciptaan Soeria Kartalogawa ini tidak pernah terwujud.

Tanggal 21 Juli 1947 Militer Nica melancarkan serangan serentak terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan dalih mencari para ekstremis (pengacau) yang selalu mengganggu keamanan di kota-kota yang didudukinya. Mereka menamakan serangan ini ‘Aksi Polisionil’. Dengan demikian, dimulailah perang terbuka antara TNI sebagai tentara resmi Republik Indonesia yang dibantu oleh seluruh rakyat Indonesia dengan serdadu Nica yang dibantu oleh serdadu Inggris. Rakyat Indonesia menamakan peristiwa ini ‘Perang Kemerdekaan’.

Darmaraja, tanah kelahiranku, tak luput dari serangan musuh. Pada tanggal 21 Juli 1947 itu

Darmaraja diserang dari udara. Seluruh rakyat panik karena seumur hidupnya belum pernah mengalami perang. Secara naluriah mereka melarikan diri ke rumahnya masing-masing untuk berlindung.

Demikian pula aku, belum pernah mengalami perang. Pada waktu Perang Dunia I aku masih kecil, baru berumur sembilan tahun, dan perang terjadi di Eropah, sedangkan pada waktu Perang Dunia II, meskipun aku telah dewasa dan telah berkeluarga, tidak terjun langsung ke medan perang. Kini aku mengalami sendiri, bagaimana perang itu, dan bagaimana serangan udara itu.

Aku baru saja pulang mengajar dan sedang beristirahat di rumah, ketika mendengar derum pesawat terbang dan suara mitraliur menyalak-nyalak dari udara. Langsung aku berteriak “Masuk ke kolong rumaaaaah…..! Ayo cepaaaaat…..!”

Aku dan seluruh keluargaku masuk ke kolong rumah panggung yang tinggi kolongnya lebih kurang satu meter. Kami bertiarap di sana.

Ketika di sela-sela rentetan bunyi mitraliur itu terdengar bunyi dentuman bom, aku berpikir, bagaimana kalau rumah ini kena bom, pasti kami akan tertimpa reruntuhan rumah. Segera aku berteriak lagi, “Pindah ke kolong kandang kambiiiiing…..! Ayo cepaaaaat…..!”

Kami sekeluarga dengan membungkuk-bungkuk lari ke kandang kambing dan masuk berdesakdesakan

ke kolongnya yang berukuran lebih kurang 2 X 2 meter dan dalamnya satu meter itu. Lubang di bawah kandang kambing itu baru saja kubuat beberapa hari yang lalu, yang kurencanakan untuk menyembunyikan perabotan rumah tangga, karena aku sudah memperhitungkan bahwa cepat atau lambat, Darmaraja akan diduduki musuh, dan aku harus meninggalkan Darmaraja tanpa membawa perabotan rumah tangga. Atas pertim-bangan kerahasiaan dan keamanan, karena waktu menggali lubang itu tiba-tiba ada tetangga yang mengetahui, lubang itu tidak jadi kupergunakan, dan aku menyembunyikan perabotan rumah tangga di dalam lubang di dapur.

Dalam lubang yang sempit itu, kami sebanyak sebelas orang, yaitu aku dan istriku, lima orang

anakku, mertuaku suami istri, dan adik iparku suami istri, berdesak-desakan dan berhimpithimpitan, tumpang tindih seperti pindang, tanpa menghiraukan kotoran kambing yang berjatuhan dan kencing kambing yang mengucur dari atas pada waktu iu, karena kambing-kambing itu pun turut panik mendengar derum pesawat terbang yang berputar-putar berkeliling disertai suara mitraliur dan dentuman bom.

Teriakan dan tangis ketakutan tidak terbendung lagi, terutama dari kaum perempuan, “Ya

Allaaaaah….., tolooooong…..! Allahu Akbaaaaar…..! La ilaha ila’llaaaaah…..!”

Tiba-tiba istriku berteriak, “Mana Entus? Mana Entus? Pasti dia sedang main jauh! Ya Allah, mana anakkuuuuu…..!” (‘Entus’ adalah nama panggilan anakku, Kuswara.)

Kuswara yang sebenarnya sudah ada di antara kami, langsung menjawab, “Entus di sini!”

Istriku diam sebentar, kemudian menangis lagi. Mungkin tangis kegembiraan karena anaknya yang satu ini, yang sering main ke tempat-tempat yang jauh, pada waktu ini ada di antara kami. Dalam keadaan yang kacau-balau ini, adik iparku sempat berteriak pada istrinya, “Nunu, baca Yasin!”

Segera saja istrinya mengucapkan Surah Yasin di luar kepala dengan keras. Yang lainnya mulai tenang mendengarkan dengan hati yang berdebar-debar karena cemas.

Pesawat terbang masih terdengar menderum-derum berkeliling sambil memuntahkan peluru mitraliurnya. Mungkin yang menjadi sasarannya bangunan-bangunan di sekitar alun-alun, yang diduga menjadi Markas TNI atau bangunan Pemerintah, yang jaraknya lebih kurang setengah kilometer dari tempat kami.

Kira-kira sejam kemudian, serangan udara berhenti, dan deruman pesawat terbang tidak terdengar lagi. Dengan hati-hati kami keluar dari ‘lubang perlindungan’, sambil tetap waspada kalau-kalau pesawat terbang itu kembali lagi. Di sana-sini terlihat dahan-dahan kayu dan pohonpohon pisang yang patah ditembus peluru. Ada juga peluru yang menancap di tiang rumah.

Salah seorang anggota TNI memungut peluru yang terletak di bawah sebatang pohon pisang, dan memperhatikannya, Tiba-tiba ia berteriak, “Belanda kurang ajar! Menembaki rakyat dengan peluru kaliber 12,7! Ini ‘kan peluru untuk menembak tank baja!”

Seseorang berlari-lari sambil berteriak-teriak, “Ayo, semuanya keluar dari Darmaraja! Besok pasti Darmaraja akan dise-rang lagi! Di Durung dan di dekat alun-alun ada bom yang meledak! Banyak rakyat yang meninggal!”

Orang-orang yang mendengarnya tambah panik.

Terdengar lagi ada salah seorang yang berkata, “Jangan terburu-buru. Malam hari pesawat terbang tidak akan menyerang kita. Bawalah barang-barang yang berharga. Kuncilah rumah kuat-kuat. Siapa tahu, ada orang yang mempergunakan kesempatan mencuri waktu kita mengungsi.”

Rakyat masih bingung. Tinggal di rumah merasa takut, pergi meninggalakan rumah pun kuatir kalau-kalau rumahnya dimasuki pencuri.

“Kenapa TNI tidak menembak dan merontokkan pesawat terbang musuh?” pikirku, Padahal aku tahu, bahwa di keempat penjuru alun-alun Darmaraja itu sudah sejak lama disiagakan meriammeriam anti pewawat terbang. “Ataukah mereka telah mengubah siasat pertahanannya? Ataukah rftmereka sudah memindahkan pusat pertahanannya ke tempat lain yang lebih strategis?” pikirku lagi.

Rakyat di sekitarku makin banyak yang berlari-lari ke sana kemari dengan membawa barangnya masing-masing. Ada yang memikul kopor pakaian, ada yang memikul keranjang berisi alat-alat rumah tangga, ada yang menggendong dandang, ada yang menggendong anaknya saja sambil menuntun anaknya yang lain. Entah ke mana tujuan mereka, tetapi pada umumnya mereka menghindari jalan raya, mereka menuju ke arah selatan atau ke arah utara.

***

2. M e n g u n g s i

Aku segera mempersiapkan keluargaku untuk mengungsi hanya dengan membawa pakaian dan barang-barang perhiasan berharga saja. Kami berangkat ke arah utara, ke kampung Dangdeur, yang jaraknya dari rumah lebih kurang dua kilometer, menuju rumah seorang ‘panyawah’, yaitu seorang petani yang mengerjakan sawahku. Kebetulan ia mempunyai rumah kosong, yang sudah kupersiapkan sebelumnya untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti ini.

Setelah keluargaku tenang berada di tempat pengungsian, keesokan harinya aku kembali ke Darmaraja untuk melihat-lihat keadaan. Ternyata di Darmaraja ada empat buah bom yang dijatuhkan. Bom yang pertama dijatuhkan di dekat Kantor Kecamatan Darmaraja, tetapi tidak meledak dan menyusup ke WC milik penduduk; bom yang kedua juga tidak meledak, menerobos salah satu dinding Kantor Pegadaian Darmaraja; bom yang ketiga meledak di sebelah utara mesjid Darmaraja, tanpa memakan korban; dan bom yang keempat meledak di perkampungan rakyat di Durung dengan membawa korban beberapa orang rakyat meninggal dan luka-luka.

Dari keseluruhan serangan udara ini, secara fisik boleh dikatakan gagal, karena tidak banyak merugikan kita, tetapi secara mental banyak mempengaruhi rakyat, sehingga rakyat menjadi panik dan ketakutan untuk menetap di Darmaraja.

Hampir seluruh rakyat Darmaraja mengungsi ke luar kota Darmaraja, setidak-tidaknya ke pinggir kota, karena mereka menduga bahwa serangan udara pasti akan terulang lagi dan akan membahayakan dirinya bila mereka tetap tinggal di dalam kota. Dengan demikian kegiatan sehari-hari di Darmaraja boleh dikatakan lumpuh. Kantor-kantor Pemerintah banyak yang kosong tanpa pegawai. Pasar sepi, dan toko-toko tutup. Markas TNI sudah dipindahkan ke luar kota di tempat yang dirahasiakan, untuk menghindara mata-mata musuh yang selalu melaporkan kegiatan TNI kepada musuh. Juga pusat pemerintahan sipil dipindahkan ke luar kota di bagian selatan. Sekolah-sekolah sepi karena kebetulan murid-muridnya sedang liburan besar setelah kenaikan kelas. Segera aku memasang pengumuman di dinding sekolah yang menyatakan, bahwa sekolah ditutup untuk waktu yang tidak ditentukan, demi menjaga keselamatan muridmurid.

Di Dangdeur aku membuat lubang perlindungan yang memenuhi syarat, di lereng bukit yang letaknya tidak jauh dari rumah. Jika terdengar derum pesawat terbang yang mendekat, kami sekeluarga bersama rakyat lainnya berlari-lari ke lubang perlin-dungan dan bersembunyi di sana.

Kadang-kadang pesawat terbang itu hanya lewat saja, lalu kami kembali ke rumah.

“Sudah capek-capek lari ke bukit, malah kapalnya tidak mau menembak,” kata Kuswara seperti yang kecewa.

“Eh, kamu mau kapal terbang musuh itu menembaki kita lagi?” tanya kakaknya. Kuswara diam, tidak menjawab lagi.

Untuk menghindari agar kami tidak bolak-balik lari ke lubang perlindungan di bukit itu jika ada pesawat terbang datang, sering sejak pagi kami sudah berada di dekat lubang perlindungan itu, sehingga jika pesawat terbang itu datang, kami tidak usah berlari-lari terlebih dulu, langsung saja masuk ke dalam. Sasaran utama serangan pesawat terbang musuh itu tetap ke pusat kota Darmaraja, sedangkan posisi penembakannya tepat di atas kampung Dangdeur, sehingga sering kelongsong peluru yang sudah kosong berjatuhan tepat di atas lubang perlindungan kami. Kuswara rajin mengumpulkannya dan merangkaikannya kembali sehingga merupakan ikat pinggang kelongsong peluru. Kalau anakku memakai ikat pinggang kelongsong peluru itu ibu-mertuaku sering memarahinya, “Jangan bawa-bawa itu kemari, nenek ngeri melihatnya,” katanya. Setiap hari aku tetap bolak-balik ke Darmaraja untuk memantau keadaan. Ternyata banyak guru dari Sumedang yang mengungsi ke Darmaraja, karena kota Sumedang telah diduduki Militer Nica. Hubungan guru-guru yang mengungsi dari Sumedang, maupun guru-guru yang bekerja di Darmaraja, dengan atasannya di Sumedang sudah terputus sama sekali. Kami tidak tahu, ke mana kantor atasan kami itu mengungsinya, padahal gaji guru-guru harus diambil dari kantor itu.

Untuk menolong guru-guru, oleh Wedana Darmaraja aku ditunjuk sebagai koordinator guru-guru di daerah pengungsisn. Aku diberi wewenang untuk menandatangani daftar gaji guru-guru, baik guru-guru yang bekerja di Darmaraja, maupun guru-guru pendatang yang mengungsi ke Darmaraja, yang akan dibayar melalui Kantor Pos Darmaraja. Kadang-kadang aku berpikir, bahwa wewenang yang diberikan kepadaku ini terlalu besar.Karena terdengar berita bahwa Militer Nica telah menduduki Situraja, yang jaraknya lebih kurang hanya lima belas kilometer saja dari Darmaraja, aku memindahkan pengungsian keluargaku ke kampung asalku, Ciwangi, yang berjarak lebih kurang lima kilo-meter dari Darmaraja, sambil bergabung dengan ayah dan ibu tiriku, kakakku Antria, suami istri beserta dua orang anaknya.

Serangan udara makin sering terjadi, sehingga rakyat semakin panik saja. Mereka telah memperhitungkan bahwa akhirnya Militer Nica akan menduduki Darmaraja melalui Situraja yang telah lebih dulu didudukinya, karena setiap serangan udara itu biasanya melindungi anggota militernya yang sedang bergerak di bawah.

3. Diduduki Musuh

Pada suatu hari pesawat terbang musuh, sebuah pesawat pembom dan sebuah pesawat pemburu, menyerang Darmaraja sampai sore sekali, sampai hari hampir gelap. Aku punya firasat, bahwa musuh pasti akan masuk Darmaraja pada hari itu juga.Ternyata firasatku benar. Pada malam itu juga kudengar bahwa militer Nica sudah benar-benar masuk Darmaraja, tetapi bukan dari arah Situraja, seperti yang diduga orang, melainkan dari arah selatan, yaitu dari Limbangan (Garut), lewat Cibugel (Darmaraja) dan Cipasang (Darmaraja), terus ke Darmaraja, Menjelang masuk Darmaraja mereka tidak mendapat perlawanan sama sekali karena Darmaraja telah dikosongkan.

Malam itu juga aku mempersiapkan pengungsian keluargaku lebih jauh dari Darmaraja, yaitu menuju ke Cadasngampar dengan menyeberangi Sungai Cimanuk yang tidak berjembatan.

Karena Sungai Cimanuk sedang banjir, keluargaku ditampung terlebih dulu di rumah familiku yang dekat ke tempat penyeberangan. Setelah kupikir masak-masak, aku memutuskan untuk mengungsikan keluargaku yang dikuatirkan akan menjadi sasaran penangkapan atau penganiayaan musuh, yaitu orang dewasa yang berusia antara tiga belas sampai lima puluh tahun. Dengan demikian aku hanya akan membawa istriku, tiga orang anakku (Kosasih, Kuswara, dan si bungsu Kurmajani yang masih menyusu), adik iparku dan istrinya (Jang Soma dan Nu’ah), kakakku dan suaminya (Antria dan Kang Wikanta) beserta dua orang anaknya (Atjih dan Odjon).

Ayahku dan ibu tiriku, mertuaku suami-isteri, beserta dua orang anakku (Kurniasari dan Kurlinasih), terpaksa kutinggalkan untuk sementara, dan akan kujemput lagi kemudian, karena bila berangkat bersama-sama kuperkirakan akan sangat berbahaya menyeberangi Sungai Cimanuk dengan perahu, mengingat hujan sedang turun dan Sungai Cimanuk sedang banjir.

Ketika itu terdengar seseorang berkata, “Kok, tega-teganya meninggalkan orang-orang tua yang tak berdaya dan anak-anak perempuan yang cantik-cantik ini. Kasihan sekali.”Aku diam saja, tidak mempedulikan kata-kata orang itu, karena aku sudah mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang matang.

Ketika sampai ke tepi Sungai Cimanuk di daerah Cipaku (Darmaraja), ternyata benar, Sungai Cimanuk sedang banjir besar. Di sana aku bertemu dengan seorang bekas muridku, Samli, yang sedang sibuk menyeberangkan para pengungsi memakai perahu. Dengan pertolongannya kami sekeluarga dapat diseberangkan dengan selamat.

Setelah sampai ke Cadasngampar di seberang, kami melanjutkan perjalanan. Semalam-malaman kami berjalan di pematang-pematang sawah, kadang-kadang menyeberangi dan menyusuri sungai-sungai, kadang-kadang mendaki dan menuruni bukit-bukit yang penuh ditumbuhi alangalang.

Istriku sengaja mengotori mukanya dengan lumpur, agar bila bertemu dengan musuh, tidak disangka orang yang baru datang dari ‘kota’.

Setelah melewati Cikandang (Cadasngampar), pada waktu dini hari kami sampai ke desa Ciranggem (Cadasngampar), yang jarak-nya lebih kurang sepuluh kilometer dari Darmaraja ke arah timur laut. Ketika menghubungi kepala kampung di sana, dan setelah mereka tahu bahwa kami adalah anak cucu mantan Kuwu desa Cibogom dan merupakan keturunan Bapak Gentong almarhum, mereka sangat menghormati kami. Di samping itu mereka mengetahui bahwa pamanku Raden Natapradja adalah mantan Kuwu desa Ciranggem ini. Kepada kami diserahkan sebuah rumah yang kebetulan kosong, untuk kami tempati. Setelah beristirahat selama sehari sambil membersihkan rumah yang baru kami tempati,

keesokan harinya aku dan Kang Wikanta kembali ke Cadasngampar untuk selanjutnya menjemput anggota keluarga kami yang masih kutinggalakan di Ciwangi. Ketika sampai ke tepi Sungai Cimanuk, terdengar kabar bahwa serdadu-serdadu Nica telah menduduki Darmaraja dan sekitarnya. Mereka bertindak sangat kejam dan sangat biadab, terutama serdadu-serdadu KNIL bangsa Indonesia, menganiaya dan membunuh kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuannya,bahkan anak-anak perempuan, banyak yang diperkosa. Jiwaku merasa terpukul, menyesali keputusanku karena telah meninggalkan orang tua dan mertuaku beserta anak-anakku. Ketika aku nekad akan menyeberangi sungai untuk masuk ke daerah musuh itu, seorang anggota TNI yang menjaga penyeberangan di tepi sungai melarangku.

Dengan lemah lunglai aku dan Kang Wikanta meninggalkan tepi sungai. Hatiku sangat kacau. Betapa tidak! Aku sangat mencemaskan nasib orang tuaku, mertuaku, dan kedua anak perempuanku yang berusia sembilan dan sebelas tahun itu. Menyesal sekali aku tidak membawa mereka sekaligus pada waktu itu, apa pun yang akan terjadi. Kini aku hanya bisa berdoa, “Ya Allah, ampunilah kesalahanku dan lindungilah mereka, Ya Allah, kuserahkan nasib mereka kepada-MU.”

Kepada keluargaku di Ciranggem aku tidak menceritakan berita yang kudengar tadi, kepada mereka aku hanya memberitahukan bahwa Sungai Cimanuk sedang banjir besar dan tidak bisa disebe-rangi.

Keesokan harinya aku kembali ke Cadasngapar dengan Kang Wikanta. Tempat penyeberangan tidak lagi dijaga oleh TNI. Segera kami menyeberang, dan dengan berdebar-debar memasuki Ciwangi, tempat keluargaku ditinggalkan. Ternyata mereka berada dalam keadaan selamat. Aku memeluk kedua anakku, lalu menadahkan tangan dan berbisik, “Ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu yang telah menyelamatkan seluruh keluargaku.”

Ternyata berita-berita yang aampai ke telingaku itu tidak seluruhnya benar, bahkan ada yang terlalu dilebih-lebihkan. Kini aku merasa tenang kembali karena seluruh keluargaku telah berkumpul lagi di tempat pengungsian, Ciranggem.

Ayahku dan ibu tiriku tidak lama tinggal di tempat pengungsian. Mereka menguatirkan keadaan rumah yang ditinggalkannya. Di samping itu mereka punya keyakinan, bahwa militer Nica itu tidak terlalu berbahaya bagi orang tua seusia mereka. Aku mengantarkannya ke Ciwangi. Setelah aku mengetahui bahwa militer Nica itu tidak setiap hari mengadakan patroli ke daerah Ciwangi, aku memberanikan diri datang ke Ciwangi bersama anggota keluargku yang laki-laki, termasuk kedua orang anakku untuk mengambil padi sebagai bekal makan di pengungsian.

Anak-anakku masing-asing memikul dua ikat padi, sedangkan orang dewasa membawa jauh lebih banyak lagi. Kadang-kadang aku menyuruh penyawahku mengantarkan padi ke tempat pengungsian dengan imbalan, setiap mengirim padi, ia pun berhak mengambil padi yang sama dengan jumlah padi yang dikirimkan, sebagai upahnya.

Kepergian orang tuaku disusul oleh kepergian mertuaku suami istri dengan alasan yang sama.

Mereka kuantarkan ke Darmaraja dengan sembunyi-sembunyi.

Ketua kampung yang rumahnya kudiami menawarkan kalau-kalau kami mau berkebun, karena ia mempunyai tanah yang luas di bukit yang letaknya tidak berapa jauh dari rumah. Tawaran ini kami terima dengan senang hati. Untuk menghilangkan kejenuhan dan kebosanan di pengungsian, kami berkebun singkong, ubi jalar, kacang tanah, dan jagung.

Beberapa bulan kemudian kakakku dan suaminya beserta kedua orang anaknya tidak tahan lagi tinggal di pengungsian, lalu mereka pulang ke Ciwangi. Tinggallah aku dengan istriku, kelima orang anakku, dan Jang Soma dengan istrinya. Aku tidak berani pulang ke Darmaraja karena pasti aku akan ditangkap dan dipaksa untuk bekerja sama dengan musuh. Demikian juga Jang Soma yang bekerja sebagai pegawai gudang beras di Darmaraja, tidak berani pulang ke Darmaraja.

***

4. ‘Non’ dan ‘Ko’

Setelah keadaan keluargaku di rumah dalam pengungsian agak tenang, aku mulai

mengkonsolidasikan kekuatan guru-guru yang sama-sama mengungsi ke daerah itu. Semua guru yang ada kukumpulkan di Sekolah Rakjat Cikandang, yang merupakan sekolah terbesar di daerah itu. Mereka kuberi tugas untuk mengajar di sekolah-sekolah terdekat yang sudah ada, karena sekolah-sekolah tersebut mendadak harus menampung murid-murid baru yang datang untuk mengungsi. Para guru bertekad bulat untuk tidak menyerahkan diri kepada musuh dan tidak akan bekerja sama dengan Pemerintah Nica. Para guru akan tetap mengajar dengan penuh disiplin mentaati perintah-perintah dari Pemerintah Militer Republik Indonesia sebagai penguasa di wilayah ‘de facto’ Republik Indonesia itu, meskipun gaji mereka tidak dibayarkan karena hubungan dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia telah terputus. Dari Pemerintahan Militer Republik Indonesia aku mendapat SK (Surat Keputusan) sebgai

Koordinator Pendidikan (setingkat Penilk Sekolah) untuk wilayah Darmaraja. Komunikasi dengan guru-guru di seluruh kawedanan Darmaraja dilakukan melalui kurir-kurir dengan bantuan dari TNI.

Sementara itu di daerah yang telah diduduki militer Nica kudengar sedang dipersiapkan berdirinya negara ‘boneka’ Pasundan. Kantor-kantor berangsur-angsur diisi oleh pegawaipegawai lama atau pegawai baru sebagai pegawai Negara ‘boneka’ Pasundan yang sedang dipersiapkan. Kami menamakan mereka golongan ‘ko’, yaitu singkatan dari kata ‘kooperator’ (orang yang bekerja sama dengan musuh), dan kami menamakan golongan kami golongan ‘non’,

yaitu singkatan dari kata ‘non-kooperator’ (orang yang tidak bekerja sama dengan musuh).

Hanya sekolah saja yang belum dibuka di Darmaraja. Kantor-kantor yang lainnya sudah dibuka, meskipun pegawai-pegawainya belum lengkap. Pemerintah ‘boneka’ Pasundan sudah berulangulang memerintahkan kepada para guru yang sudah ada di Darmaraja agar segera membuka sekolah, sebab dengan dibukanya sekolah-sekolah, para orang tua murid akan segera berdatangan ke Darmaraja. Dengan demikian akan kelihatan bahwa Negera ‘boneka’ Pasundan sudah siap menunjukkan kewibawaannya. Tetapi guru-guru yang dihubungi itu tak ada seorang pun yang berani membuka sekolah. Guru-guru hanya bisa berkata, “Kami menunggu perintah dari Mantri Guru kami.”

Pernah ada dua orang guru yang masih termasuk kemanakanku, Darso dan Salim, datang ke Ciranggem untuk mengajak dan membujukku agar segera membuka sekolah di Darmaraja.

“Mang,” kata Darso, “guru-guru di Darmaraja masih menunggu kedatangan Emang untuk memimpin mereka. Mereka masih menunggu instruksi Emang. Mereka masih menghargai Emang sebagai Mantri Guru di Darmaraja.”

“Benar, Mang,” kata Salim, “sebaiknya Emang segera kembali ke Darmaraja. Negara Pasundan masih menunggu kedatangan Emang. Kalau Emang tidak datang juga, saya kuatir kedudukan Emang akan diisi oleh orang lain.”

“Tidak,” jawabku, “Emang di sini punya tugas dari Pemerintah Republik Indonesia untuk tetap membuka sekolah-sekolah Republik Indonesia di daerah ‘de facto’ Republik Indonesia, untuk meyakinkan Negara ‘boneka’ Pasundan, Pemerintah Nica, dan dunia internasional, bahwa Pemerintah Republik Indonesia itu masih berdiri dan masih mampu membuka sekolah-sekolah.

Kalau kedudukan Emang sebagai Mantri Guru Sekolah Rakjat Darmaraja akan diganti orang lain, silakan saja, Emang merelakannya.”

“Bukan begitu maksud kami, Mang,” kata Darso lagi, “Bukan kami yang akan mengambil alih kedudukan Emang, kami guru-guru di Darmaraja akan tetap taat kepada Emang. Kalau Emang akan menerima tawaran dari Pemerintah Pasundan itu, kami guru-guru akan mengikuti, tetapi bila Emang menolaknya, kami pun akan sama-sama menolak.”

Kepala Penerangan R.I Kawedaan Darmaraja, Pak Ardi, yang ikut mendengarkan pembicaraan

kami, merasa tidak sabar lagi, lalu ikut berkata, “Sudahlah, Saudara-Saudara kembali saja ke kota. Kami orang-orang republikein akan tetap setia kepada Pemerintah Republik Indonesia dan tidak akan membantu Negara ‘boneka’ Pasundan.”

Setelah itu mereka minta diri dan tak pernah datang lagi ke Ciranggem.

Di kota Sumedang sendiri, kudengar kabar, bahwa sekolah-sekolah sudah mulai dibuka sejak awal tahun pelajaran 1947-1948. Anakku Kosasih, yang pada bulan Juli 1947 yang lalu telah mengikuti ujian masuk ke Sekolah Lanjutan di Sumedang, sangat bersedih hati karena tidak bisa melanjutkan sekolahnya, padahal pada waktu ujian masuk ia meraih nilai tertinggi di seluruh kabupaten Sumedang.

5. Persetujuan Renville

Dari pesawat radio TNI aku mendengar berita bahwa Militer Nica telah menguasai kota-kota di seluruh Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, kecuali beberapa kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Aceh. TNI sebagai tentara resmi Republik Indonesia, telah didesak mundur ke pinggir-pinggir kota dan ke hutan-hutan, yang kemudian melakukan perang gerilya.

Di luar negeri agresi-agresi Belanda ini mendapat reaksi keras dari negara-negara anggota PBB yang bersimpati kepada perjuangan bangsa Indonesia, antara lain dari India dan Australia.

Akhirnya Dewan Keamanan PBB memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa,

Indonesia dan Belanda, untuk menghentikan tembak-menembak dan melakukan gencatan senjata.

Untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata dan menyelesaikan sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB membentuk ‘Komisi Jasa Baik’. Pemerintah Republik Indonesia meminta Australia untuk menjadi anggota komisi tersebut, sedangkan Pemerintah Belanda memilih Belgia. Selanjutnya Australia dan Belgia memilih Amerika Serikat sebagai anggota ketiga.

Komisi ini selanjutnya disebut ‘KTN’ (Komisi Tiga Negara).

Dengan pimpinan ‘KTN’ pihak Indonesia dan pihak Belanda mulai berunding dengan mengambil tempat di daerah netral, yaitu di atas kapal perang Amerika Serikat ‘USS Renville’, yang berlabuh di Teluk Jakarta. Maka tercapailah kesepakatan yang disebut ‘Persetujuan Renville’.

Dengan lahirnya ‘Persetujuan Renville’ ini, TNI terpaksa harus meninggalkan daerah gerilya, yang disebut ‘daerah kantong’, yang sangat luas, terutama di Jawa Barat, untuk ditarik ke wilayah Republik Indonesia. Kabarnya dari seluruh Jawa Barat lebih kurang 35.000 orang pasukan Divisi Siliwangi ditambah para pejuang dari organisasi-organisasi rakyat harus ‘hijrah’ ke Yogyakarta.

Sebenarnya ‘daerah kantong’ itu tidak ditinggalkan begitu saja oleh seluruh TNI. Daerah itu masih diisi oleh sebagian kecil sekali TNI yang bertugas untuk mengacaukan kedudukan Negara ‘boneka’ Pasundan dan Militer Nica di kota-kota.

Dengan dikosongkannya ‘daerah kantong’ di daerahku karena anggota TNI harus ‘hijrah’ ke daerah Republik Indonesia sebagai tanda patuh kepada perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, aku jadi bingung. Apakah aku harus ikut ‘hijrah’? Bagaimanakah nasib keluargaku? Statusku sendiri bukan sebagai seorang tentara. Apakah aku akan bertahan di tempat pengungsian ini, yang menurut ‘Persetujuan Renville’ secara ‘de yure’ sudah menjadi wilayah kekuasann Militer Nica? Sementara itu, sepeninggal TNI, ‘daerah kantong’ ini banyak yang diisi oleh anggota gerombolan D.I. (Darul Islam) yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwirjo, yang melakukan serangan-serangan, baik kepada Militer Nica, maupun kepada TNI, bahkan melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap penduduk. Aku jadi bingung.

Di samping itu patroli-patroli yang dilakukan oleh Militer Nica semakin intensif. Mereka sudah memasuki bekas daerah TNI yang ditinggalkan ‘hijrah’. Para gerilyawan TNI yang tetap tinggal di ‘daerah kantong’ tersebut tidak terlalu sukar untuk menghindari patroli-patroli itu karena mereka dapat menyelinap dan main kucing-kucingan, tetapi bagiku yang diikuti keluarga, tanpa keahlian perang gerilya, merupakan kesukaran besar. Para pejabat Pemerintah Republik Indonesia sudah banyak yang tertangkap, lalu digiring ke kota dan dipaksa untuk bekerja pada Negara ‘boneka’ Pasundan., Setelah ‘daerah kantong’ dikosongkan dengan resmi, gerilyawan-gerilyawan TNI yang ditinggalkan dengan tugas sabotase, tidak mempunyai kekuatan konfrontatif lagi, mereka bergerak sebagai gerilyawan dengan senjata yang minim. Dengan demikian anggota gerombolan D.I. mulai merajalela. Aku jadi terjepit.

Sebelum melangkah lebih lanjut, aku mengembalikan dulu istri dan anak-anakku secara

sembunyi-sembunyi ke Ciwangi, sedangkan adik iparku, Jang Soma dan istrinya tetap tinggal di Ciranggem sambil menunggu waktu panen kebun kami. Istri dan anak-anakku kutitipkan di rumah orang tuaku di Ciwangi.

Ternyata kedatangan kami sekeluarga tercium juga oleh orang-orang Negara ‘boneka’ Pasundan yang telah lama menunggu kedatanganku. Kemanakanku Darso, kembali mengajakku untuk bekerja sama dengan Negara ‘boneka’ Pasundan. Dengan halus aku mengatakan bahwa aku akan beristirahat dulu barang sehari dua hari.

Malam itu juga aku dan Kang Wikanta, yang juga seorang guru, melarikan diri dan kembali menyeberangi Sungai Cimanuk menuju Cadasngampar. Dari sana berjalan kaki ke Wado sejauh lebih kurang 5 kilometer, lalu menuju Malangbong (Garut), sejauh lebih kurang 18 kilometer.

Kami berjalan pada malam hari dengan melalui jalan-jalan yang kira-kira tidak ditempati pos-pos Militer Nica, dengan berpakaian seperti petani agar tidak dicurigai seandainja bertemu dengan patroli Militer Nica.

Tujuanku adalah untuk menemui kemanakanku, Inspektur Polisi M. Djamoeh, yang tidak ikut ‘hijrah’ karena diberi tugas bergerilya dan melakukan sabotase di Jawa Barat. Ternyata kemanakanku itu sudah ditangkap oleh Militer Nica dan setelah menga-lami siksaan-siksaan, dipaksa harus menjadi Polisi Negara ‘boneka’ Pasundan di Majalaya (Bandung).

Perjalanan terpaksa dilanjutkan ke Lewo (Garut), untuk minta pendapat dan nasihat kakakku, Letnan Adjep, yang juga tidak ikut ‘hijrah’ karena diberi tugas di Jawa Barat. Dari kakakku aku mendapat saran, bahwa karena sudah ada ‘Persetujuan Renville’ dan aku bukan anggota tentara, sebaiknya aku bekerja sama saja dengan Negara ‘boneka’ Pasundan. “Ini bukan pengkhia-natan terhadap perjuangan,” katanya, “tetapi justru mengikuti hasil ‘Persetujuan Renville'”.

Aku bisa menerima saran kakakku ini. Akhirnya setelah beristirahat, aku dan Kang Wikanta kembali ke Ciwangi melalui jalan yang sama. Setelah beristirahat secukupnya, aku dan keluarga masuk ke Darmaraja.

Mertuaku melaporkan bahwa barang-barang di rumah banyak yang hilang, karena pintu rumah sudah dibongkar orang. Disamping itu diberitahukan pula bahwa telah beberapa kali ada panggilan dari Wedana untuk menghadap.

Kedatanganku ke Darmaraja dengan cepat tercium oleh orang-orang Negara ‘boneka’ Pasundan.

Keesokan harinya datang utusan dari Wedana yang mengatakan bahwa aku ditunggu untuk mengadakan rapat pada saat itu juga di pendopo kawedanan Darmaraja. Ternyata pada hari itu guru-guru sekawedanan Darmaraja telah berkumpul untuk merundingkan panggilan dari Penilik Sekolah Darmaraja yang berdomisili di Sumedang. Bila panggilan itu tidak ditaati, guru-guru yang bersangkutan akan dipecat dari jabatannya.

Dalam pertemuan itu guru-guru senior menyampaikan pernyataan kepadaku, bahwa jika aku akan menerima ajakan untuk bekerja sama dengan Negera ‘boneka’ Pasundan, mereka pun akan ikut. Sebaliknya, jika menolak, mereka pun akan menolak.

Wedana yang menyaksikan pertemuan dramatis itu dengan lemah lembut mengajak dan

membujukku untuk memenuhi ajakan bekerja sama dari Negara Pasundan itu.

“Saya pun bangsa Indonesia” katanya berbisik padaku. “dan mencintai Republik Indonesia.

Tetapi pada saat-saat semacam ini kita harus menggunakan siasat. Kalau salah siasat, kita bisa mati konyol. Sekarang saya menyarankan, terimalah dulu ajakan Negara Pasundan ini.

Tentang strategi perjuangan kita selanjutnya, sebagai seorang republikein, dapat kita atur nanti. Anak saya pun anggota TNI.” Setelah kupikir bolak-balik, mempertimbangkan apa untung ruginya, terutama mangingat nasib guru-uru yang lainnya, yang jika menolak ajakan kerja sama ini, akan kehilangan mata pencahariannya, akhirnya ajakan Wedana ini kuterima. Tentang hubunganku dengan Pemerintah Republik Indonesia, aku sudah pnnya rencana seperti yang dianjurkan oleh Wedana itu.

Aku bersama para Mantri Guru dari Wado, Cadasngampar, dan Situraja, diantarkan ke Sumedang oleh Wedana itu dengan mengendarai jip dinasnya, sedangkan guru-guru yang lain diangkut dengan truck pinjaman dari Militer Nica. Di Sumedang aku dan guru-guru diharuskan menandatangani surat pernyataan setia kepada Negara Pasundan sebagai pegawai di sekolahnya masing-masing di kawedanan Darmaraja.

N E G A R A ‘boneka’ P A S U N D A N

1. Kembali Ke Kota

Akhirnya terhitung mulai tanggal 1 Pebruari 1948 aku bekerja pada Negara ‘boneka’ Pasundan (yang sedang dipersiapkan berdirinya), menduduki jabatanku yang dulu sebagai Mantri Guru pada Sekolah Rakjat di Darmaraja, sedangkan di ‘belakang’ (pada Pemerintahan Militer Republik Indonesia) masih tetap diakui sebagai Koordinator Pendidikan (setingkat Penilik Sekolah).

Untuk sementsra hubunganku dengan Pemerintahan Militer Republik Indonesia terputus,

menunggu perkembangan situasi selanjutnya.

Sebenarnya kedudukanku di ‘belakang’ ini hanya sebagai pejabat fiktif belaka, karena nyatanya aku berdomisili di kota Darmaraja, di daerah kekuasaan Negara ‘boneka’ Pasundan.

Aku mendapat gaji dari Negara ‘boneka’ Pasundan, sedangkan Pemerintahan Militer Republik Indonesia yang diselenggarakan oleh para gerilyawan di daerah Jawa Barat ini tidak mempunyai dana untuk menggaji para pegawainya. Hubungan sehari-hari ke Pemerintah Pusat di Yogyakarta sudah terputus sama sekali. Sekolah-sekolah yang menjadi urusanku sekarang, merupakan sekolah-sekolah milik Negara ‘boneka’ Pasundan. Guru-gurunya pun adalah guru-guru yang baru saja bersumpah setia bersamaku menjadi pegawwi Negara ‘boneka’ Pasundan dan mereka pun digaji oleh Negara ‘boneka’ Pasundan.

Yang menjadi pengikatku dengan ‘orang belakang’ adalah karena aku masih merasa menjadi seorang republikein yang berjuang dengan cara dan kemampuanku sendiri untuk menegakkan Republik Indonesia yang telah merdeka tetapi masih dirongrong oleh bekas penjajahnya, Belanda, antara lain dengan cara mendirikan Negara ‘boneka’ Pasundan. Dalam hal ini justru aku diberi tugas oleh guru-guru dan para pegawai instansi lain yang menjadi pegawai Negara ‘boneka’ Pasundan, tetapi masih merasa sebagai orang republikein, untuk mengumpulkan dan menyampaikan sumbangan uang mereka kepada ‘orang belakang’.

Sebagai kurir untuk menyampaikan sumbangan uang tersebut ke ‘belakang’, aku dibantu oleh Soebarna, seorang pemuda yang setia kepada revolusi. Sebenarnya ia anak orang kaya di kampungku, tetapi karena kesetiaannya kepada Republik Indonesia, ia rela menyerempetnyerempet bahaya, mondar-mandir ke ‘belakang’. Untuk mengelabui kalau-kalau kurir itu tertangkap musuh, daftar nama guru dan pegawai yang menyumbang tidak kutulis begitu saja, melainkan kuberi judul: “Kesebelasan Sepak Bola Yang Akan Bertanding”. Kemudian kugambarkan denah susunan pemain sepak bola mulai dari kiper,

bek, gelandang, sampai penyerang. Demikian juga denah susunan pemain sepak bola lawannya dalam keadaan berhadap-hadalan. Dengan demikian tersusunlah beberapa kesebelasan yang siap bertanding, sedangkan yang tidak dapat dimasukkan ke dalam denah, kutuliskan sebagai pemain cadangan. Semuanya itu adalah daftar para penyumbang ke ‘belakang’.

Sementara itu Kosasih yang sudah lulus ujian masuk Sekolah Landjutan Pertama, minta

melanjutkan sekolahnya ke SMP Negeri di Sumedang. Semula istriku merasa keberatan melepas

si sulung ke kota Sumedang, karena situasi keamanan yang masih tidak menentu. Tetapi, karena Kosasih bersikeras untuk pergi, akhirnya istriku merelakannya pergi. Kosasih akan melanjutkan sekolah ke SMP Negeri Sumedang bersama dua orang teman sekalasnya, Sudradjat dan Sumitra.

“Kenapa terlambat sekali?” tanya Pak Nawawi, Direktur SMP Negeri Sumedang, ketika aku menemuinya di Sumedang. “Sekolah sudah berjalan sejak tanggal 1 Agustus 1947 dan sekarang hanya tinggal empat bulan lagi untuk kenaikan kelas. Apa mereka sanggup menyusul ketinggalannya?”

“Anak-anak ini terlambat datang karena baru pulang dari pengungsian di pedalaman,” kataku kemudian memberi penjalasan, “karena ‘Persetujuan Renville’lah mereka bisa masuk ke kota.”

“Lagi pula tempatnya sudah penuh,” kata Pak Nawawi lagi. “Memang bagi murid-murid yang sudah dinyatakan lulos ujian masuk sudah disediakan tempat, tetapi setelah satu kuartal tidak muncul-muncul, tempatnya diberikan kepada murid-murid yang diterima sebagai cadangan.”

“Apakah tidak ada kebijaksanaan lain, Pak?” tanyaku mendesak.

“Saya kira tidak bisa lagi. Lihat saja, satu meja sampai dihadapi oleh tiga orang murid,

sedangkan persediaan kursi sudah tidak ada lagi,” jelas Pak Nawawi.

“Kalau masalahnya hanya karena kekurangan kursi, anak-anak ini bisa membawa kursi dari rumah,” kataku timbul harapan.

“Ya…..,” kata Pak Nawawi mulai melemah, “kalau bisa membawa kursi dari rumah, barangkali bisa dipertimbangkan, barangkali masih bisa disisipkan. Ini ketiga-tiganya sudah lulus ujian masuk, bukan?”

“Sudah, Pak,” jawabku harap-harap cemas, “Ini surat tanda lulus ujian masuk, dan ini surat panggilan untuk masuk sekolah.”

Pak Nawawi memperhatikan surat-surat yang kutunjukkan.

“O, ini murid yang lulusnya terbaik, ya?” tanyanya gembira. “Yang mana anaknya?”

Ini, Pak” jawabku sambil menunjuk kepada Kosasih, “Ini anak saya sendiri.”

“O,” katanya lagi sambil memperhatikan Kosasih, “Bapak sendiri bekerja di mana?”

“Saya Mantri Guru Sekolah Rakjat Darmaraja, Pak.”

“Pantas, anaknya pandai. Bapaknya guru, sih.”

Akhirnya anakku bersama dua orang teman sekelasnya diterima di SMP Negeri Sumedang setelah masing-masing membawa sebuah kursi.

Kosasih dan kedua orang temannya indekos pada keluarga Pak Karna, yang masih ada hubungan famili, di Jalan Rumah Sakit Sumedang.

Memang mereka sudah tertinggal tiga kuartal, sekarang tinggal kuartal keempat di kelas satu.

Pelajaran yang baru mereka kenal adalah: Aljabar, Ilmu Ukur, Dahasa Inggris, dan bahasa Belanda. Untunglah waktu di kelas enam mereka mendapat pelajaran bahasa Inggris dari Pak Abdullah. Kosasih sendiri sudah pernah duduk di HIS selama dua tahun, jadi bahasa Belandanya sudah lumayan.

Tiga bulan kemudian mereka mengikuti ulangan-ulangan kenaikan kelas dan ketiga-tiganya naik

ke kelas dua setelah mengikuti pelajaran di kelas satu hanya tiga bulan saja.

Sementara itu pada tanggal 24 Maret 1948 Belanda mendirikan Negara ‘boneka’ Sumatera Timur

dengan Wali Negaranya Dr. Tengkoe Mansjoer.

Negara ‘boneka’ Pasundan yang telah lama diperiapkan itu akhirnya diresmikan oleh Pemerintah Nica pada tanggal 26 April 1948 dengan R.A.A. Wiranatakoesoemah sebagai Wali Negaranya.

Pada pertengahan tahun 1948 Kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh, lalu Drs. Mohammad Hatta diperintahkan menyusun kabinet baru dan ia sendiri ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Pada tanggal 18 September 1948 terjadilah ‘Peristiwa Madiun’, yaitu pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dipimpin oleh Moeso yang baru datang dari Moskow (Rusia), terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Mereka sendiri mendirikan negara baru dangan nama ‘Republik Soviet Indonesia’.

Untuk menumpas pemberontakan PKI tersebut, Republik Indonesia membentuk Daerah Militer Istimewa yang meliputi Semarang, Pati, Solo, dan Madiun, dipimpin oleh Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer. Kolonel Soengkono diangkat menjadi Gubernur Militer untuk Daerah Militer Istimewa yang meliputi Jawa Timur.

Untuk menghancurkan pemberontakan PKI itu sendiri, Pemerintah nenberi tugas kepada Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Besar Komando Jawa, dengan mengerahkan pasukan Divisi Siliwangi yang sedang ‘hijrah’ di Yogyakarta. ‘Peristiwa Madiun’ berakhir setelah pemimpinnya, Moeso, tertembak mati, sedangkan pembantu utamanya, Mr. Amir Sjarifoeddin, ditangkap dan dihukum mati.

Pada tanggal 18 Oktober 1948 telah datang dengan selamat ke perbatasan kabupaten Sumedang dengan kabupaten Majalengka, 28 orang perwira TNI yang diberi tugas oleh induk pasukan Divisi Siliwangi yang berpusat di Yogyakarta, untuk membentuk dan membina ‘pemerintahan tandingan’ terhadap Negara ‘boneka’ Pasundan di bekas ‘daerah kantong’ di Jawa Barat, yang ditinggalkannya dulu. Mereka merupakan regu serba guna yang meliputi bagian-bagian: teritorial, pemerintahan sipil, suplai, kepolisian, penerangan, pendidikan, urusan hukum, kesehatan, dan lain-lain.

Di seluruh kabupaten Sumedang akan dibentuk beberapa ODM (Onder District Militair). Sebagai Komandan ODM di Darmaraja ditunjuk Letnan R.S. Soesilo, kemudian R. Kosim ditunjuk sebagai Wedana, Letnan R. Slamet sebagai Camat, M. Emer sebagai Kepala Kepolisian, dokter Sanoesi Galib sebagai Kepala Urusan Kesehatan. Aku sendiri ditunjuk sebagai Kepala Urusan Pendidikan. Yang menarik perhatian adalah ditunjuknya Inspektur Polisi R. Hali sebagai Kepala Urusan Hukum, padahal pada saat itu ia sedang menjabat Kepala Kepolisian Negara ‘boneka’ Pasundan di wilayah Darmaraja.

Markas ODM dan Pemerintahan Sipil Republik Indonesia ini ditempatkan di desa

Leuwihideung, yang jaraknya lebih kurang tiga kilometer sebelah timur Darmaraja.

Sebagai realisasi kehadiran kekuatan ‘tandingan’ terhadap kekuatan Negara ‘boneka’ Pasundan,

pada pertengahan bulan Nopember 1948 satuan TNI sebanyak 27 orang di bawah pimpinan Letnan Soesilo, Sersan Iskandar, dan Sersan Soemirat, menyerang Darmaraja. Kekuatan serdadu Nica di Darmaraja pada waktu itu adalah 22 orang. Sementara itu, dengan dalih diserang oleh TNI, Kepala Kepolisian Negara ‘boneka’ Pasundan menyatakan kehilangan sejumlah senjata dan amunisi, padahal diduga diserahkan kepada TNI sebagai tanda simpati.

Dari pusat Pemerintahan R.I. di Yogyakarta dikabarkan bahwa Letnan Djenderal Oerip

Soemohardjo meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan ‘Semaki’,

Yogyakarta.

Pada akhir tahun 1948 Kepala Nica, Dr. van Mook, mengundurkan diri karena ada

ketidaksesuaian faham dalam kepemimpinannya dengan Pemerintah Belanda, lalu diganti oleh Dr. Beeld sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia (setingkat Gubernur Djenderal Hindia Belanda sebelum tahun 1942).

Pada tanggal 3 Desember 1948 Belanda mendirikan Negara ‘boneka’ Djawa Timur dengan Wali Negaranya R.T.P Achmad Koesoemonegoro.

Pernah terjadi suatu peristiwa yang mencemaskan dan sekaligus mengharukan hatiku.

Pada suatu hari ada seorang kurir dari ‘belakang’ memberikan sepucuk surat kepadaku untuk disampaikan kepada Wedana Darmaraja. Wedana Negara ‘boneka’ Pasundan itu adalah seorang republikein yang setia dan bersimpati kepada ‘orang belakang’. Lebih-lebih lagi karena salah seorang anaknya, Soegiri, menjadi anggota TNI.

Tentang Soegiri ini ada cerita tersendiri, yaitu ketika pada suatu hari ia mendapat kecelakaan sehingga menderita luka parah di kakinya. Dengan berbagai tipu muslihat ia diselundupkan ke rumah ayahnya di kompleks Kawedanan Darmaraja, Dari sana ia diangkut ke Rumah Sakit Umum Sumedang dengan falisitas sebagai anak seorang Wedana Negara ‘boneka’ Pasundan.,  setelah sembuh Soegiri kembali ke ‘belakang’.

Wedana itu mengetahui juga tentang hubunganku dengan orang ‘belakang’.

“Saya kira hanya Pak Dodo yang pantas menyampaikan surat ini kepada Pak Wedana,” kata kurir itu, “Ini yang sepucuk surat lagi unuk Pak Camat, biarlah saya minta tolong kepada orang lain saja.”

Aku menyanggupinya.

Setelah membaca surat yang kubawa, Wedana itu berkata, “Surat ini minta bantuan obat-obatan, tetapi saya sendiri tidak sanggup untuk memenuhinya. Sebaiknya surat ini kita teruskan saja kepada PMI (Palang Merah Indonesia), karena PMI mempunyai hubungan luas dengan Palang Merah Internasional.”

Aku pulang.

Sementara itu terdengar berita bahwa orang yang mengantarkan surat kepada Camat tidak diberi tahu apa isi surat tersebut. Setelah ia meninggalkan Kantor Kecamatan sejauh lebih kurang seratus meter, tanpa ditanya apa-apa, ditembak mati oleh seorang militer Nica. Kata orang, begitu kurir itu meninggalkan Kantor Kecamatan, Camat ini menilpon Markas I.D. (Inteligent Dienst) menyuruh agar kurir itu ditembak mati.

Pada malam harinya Kantor Kecamatan itu dibakar, tetapi tidak sampai terbakar seluruhya, cuma sebagian saja.

“Ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu, karena Engkau masih menyelamatkan jiwaku dari tindakan pengkhianat,” bisikku dalam hati.

Pernah juga pada suatu hari datang kepadaku seorang anggota TNI bernama Sopandi,

mengatakan kepadaku bahwa untuk melaksanakan suatu tugas penting dari ‘belakang’ ke

Bandung, ia membutuhkan uang jalan dan meminta sumbangan kepadaku.

Menurut peraturan yang telah disepakati, tidak diperkenankan perseorangan minta sumbangan seperti itu, karena aku hanya diberi tugas mengumpulkan sumbangan dan menyetorkannya ke ‘belakang’ lewat kurir. Di samping itu kas sedang kosong karena baru saja disetorkan ke ‘belakang’.

Mendengar penjelasanku ia tetap saja minta dengan sangat agar diusahakan mencari uang

tersebut, karena tugas itu harus dilaksanakan pada hari itu juga. Ia memperlihatkan amplop surat yang memakai stempel: Kilat, Penting, dan Rahasia.

Aku hanya berjanji untuk mengusahakan sedapat-dapatnya. Ia akan menunggu di tempat

penghentian bis di sebelah utara alun-alun Darmaraja.

Setelah berusaha ke sana kemari tidak dapat juga, akhirnya aku minta kerelaan istriku untuk meminjamkan barang-barang perhiasannya, lalu kubawa ke Kantor Pegadaian, dan setelah mendapat unang, langsung kuberikan kepada Sopandi, yang sudah duduk dalam bis menunggu kedatanganku.

“Maaf, saya baru dapat membayar hutang sekarang, habis baru sekarang punya uang. Sekali lagi,

saya minta maaf yang sebesar-besarnya.” kataku keras-keras agar terdengar oleh orang-orang di sekitarku, sehingga mereka menyangka bahwa aku benar-benar membayar utang.

“Saya juga mengucapkan banyak terima kasih karena saya juga kebetulan sangat membutuhkan uang ini,” kata Sopandi sambil tersenyum penuh pengertian. Setelah itu bis berangkat, karena hanya menunggu kedatanganku itu saja. Itulah salah satu pengorbanan istriku bagi revolusi dengan menyerahkan perhiasannya untuk digadaikan.

Pada hari tuanya kudengar Sopandi menjadi purnawirawan TNI/ AD dengan pangkat terakhirnya Brigadir Djenderal.

Pada suatu hari aku naik bis ke Sumedang. Di jok bis di depanku duduk dua orang pemuda yang sepintas lalu dapat diduga bahwa mereka itu ‘orang belakang’. Di jok di belakangku duduk seorang Cina bernama Liang Seng, yang sudah dikenal suka membantu Militer Nica, demi keselamatan dirinya dan kelangsungan perusahaannya sebagai pedagang besar di Darmaraja. Ia sangat membenci ‘orang belakang’.

Ketika sampai di Situraja, ia minta kepada sopir bis untuk berhenti sebentar karena ia ada

keperluan ke Markas Nica dan bis disuruh menunggu. Sopir menurut saja karena ia tahu, siapa Cina itu, dan merasa takut untuk menolak ‘perintah’ Cina itu.

Setelah Cina itu pergi aku berkata kepada kedua orang pemuda di depanku itu, “Saudara-saudara bawa KTP tidak? Biasanya di sini ada pemeriksaan KTP.”

Teman Cina yang duduk di belakangku tiba-tiba ikut nimbrung, “Kalau perlu KTP, ini saya punya yang masih kosong,” katanya sambil menunjukkan dua lembar KTP yang belum ada nama

pemilik-nya, tetapi sudah ada tanda tangan Kuwu lengkap dengan stempelnya. Entah apa

maksudnya ia berlaku demikian, mungkin akan menjebak orang-orang itu.

Kedua orang pemuda itu turun tanpa memperhatikan KTP yang ditawarkan oleh teman Cina itu.

Tidak berapa lama datanglah dua orang serdadu Nica memeriksa KTP semua penumpang tanpa kecuali. Ternyata semua penumpang membawa KTP. Kedua orang serdadu Nica itu turun dan kembali ke markasnya.

Setelah Liang Seng naik bis lagi, bis berangkat. Bersamaan dengan itu, entah dari mana

datangnya, tiba-tiba dua orang pemuda yang turun tadi meloncat naik bis lagi. Entah bagaimana perasaan Liang Seng menyaksikan kejadian yang tidak diduganya itu.

Setelah kejadian itu, pada suatu malam, ruko (rumah toko) milik Liang Seng yang terletak di sebelah utara alun-alun Darmaraja itu terbakar habis hingga rata dengan tanah.

Di Sumedang aku melihat konvoi yang terdiri atas berpuluh-puluh truck berisi militer Nica dan truck yang menarik meriam, berselang-seling dengan tank baja, lewat dari arah Bandung menuju ke arah Cirebon. Pada badan kendaraan itu tertulis dengan huruf besar-besar kata-kata: NAAR DJOKJA. (‘Naar Djokja’ berarti ‘Ke Yogya’).

Pada tanggal 19 Desember 1948, keesokan harinya, tersiar berita bahwa dengan dipimpin oleh Djenderal Spoor, militer Nica telah menyerang dan menduduki ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta.

Setelah menyadari bahwa tidak mungkin mematahkan serangan Belanda yang lengkap

persenjataannya secara frontal, dalam Sidang Kabinet yang sempat diselenggarakan pada hari itu, Presiden Soekarno (lewat radiogram) menyerahkan kekuasaan untuk membentuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) kepada Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, Mr. Sjafroeddin Prawiranegara, yang pada waktu itu sedang berada di Bukittinggi (Sumatera). Kalau Mr. Sjafroeddin Prawiranegara tidak bisa melaksanakannya maka mandat ini berlaku untuk Mr. A.A. Maramis (Menteri Keuangan Republik Indonesia), L.N. Palar, dan Soedarsono, yang pada waktu itu sedang berada di India. Ternyata Mr. Sjafroeddin Prawiranegara bisa melaksanakan tugas itu.

Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Soetan Sjahrir, dan Menteri-Menteri lainnya dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu: (1) pergi ke luar kota dengan pengawalan TNI dan perjuangan dilanjutkan secara perang gerilya, atau (2) tetap tinggal di dalam kota dengan risiko ditawan pihak musuh, dan perjuangan dilanjutkan dengan diplomasi. Akhirnya mereka memilih alternatif yang kedua, Presiden Soekarno, Wakil Presidan Mohammad Hatta, Perdana Menteri Soetan Sjahrir, dan beberapa orang Menteri tetap tinggal di Istana Negara Yogyakarta, lalu ditawan oleh Belanda. Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Bangka.

Djenderal Soedirman meninggalkan kota untuk memimpin perang gerilya, sedangkan Divisi Siliwangi sebanyak 11 batalyon beserta keluarganya, melakukan ‘long march’ ke Jawa Barat, mengisi lagi ‘daerah kantong’ yang dulu pernah ditinggalkannya.

Kita menamai peristiwa ini sebagai ‘Perang Kemerdekaan II’.

Pada bulan Januari 1949, atas prakarsa Republik India, di New Delhi diselenggarakan

‘Konperensi Asia’ yang dihadiri oleh negara-negara Asia dan Australia. Dalam Konperensi ini

Indonesia diwakili oleh:

(1)   Mr. A.A. Maramis, selaku Menteri Luar Negeri PDRI;

(2)    Mr.Oetojo, selaku Kepala Perwakilan R.I. di Singapura;

(3) Dr. Soedarsono, selaku Kepala Perwakilan R.I. di India;

(4) H. Rasjidi, selaku Kepala Perwakilan R.I. di Mesir;

(5) L.N.Palar, selaku Kepala Perwakilan R.I. di PBB;

(6) Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo. selaku Kepala Perwakilan R.I. di Amerika Serikat.

Mereka menuntut dibebaskannya para pucuk pimpinan Pemerintah Indonesia dan dikembalikan lagi ke Yogyakarta untuk memimpin kembali Republik Indonesia.

Pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang berbunyi:

(1) Penghentian semua operasi militer oleh Belanda dan Indonesia;

(2) Pembebasan semua tawanan pe-rang oleh Belanda dan Indonesia;

(3) Pucuk Pimpinan Pemerintah Indonesia harus segera dikembalikan ke Yogyakarta untuk memimpin kembali pemerintahan;

(4) Perundingan harus dilakukan lagi berdasarkan ‘Persetujuan Linggajati’ dan ‘Persetujuan Renville’

(5) KTN diganti menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia).

Pada suatu hari ayah-mertuaku sakit keras dan beberapa hari kemudian meninggal.

Ada kenangan indah dari ayah-mertuaku ini, yaitu pada masa remajanya, dialah yang pertama kali memiliki dan bisa menaiki sepeda di Darmaraja sebelum tahu 1900.

Pada waktu mengungsi dikejar-kejar Militer Nica, ia pernah berkata, “Alangkah ngerinya hidup sekarang ini, ke sana kemari dikejar-kejar peluru. Andaikata….., ya, andaikata….. ada semacam air pancuran, yang bila orang mandi diguyur air pancuran itu, dengan perlahan-lahan dan tanpa merasa sakit bisa mati, aku akan memilih kematian seperti itu daripada mati ditembak Belanda.” Aku terharu mendengarnya.

Beberapa hari sebelum meninggal, ketika ayah-mertuaku berdiri memandang kebun yang

menghijau di sekeliling rumah penuh dengan bermacam-macam tanaman, ia berkata, “Alangkah indahnya hidup di dunia ini. Aku merasa puas…..”

Ayah-mertuaku, Mas Sastradiria bin Mas Moersiah, mantan pegawai Kantor Pekerjaan Umum Hindia Belanda, yang dilahirkan pada tahun 1884 meninggal pada tahun 1949 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Kapunduhan’, Sukaratu.

2. Hari Yang Panjang

“Soebarna!” kata Kapten Ahmadi kepada Soebarna yang pada siang itu sedang asyik menonton pertandingan sepak bola antara kesebelasan TNI dengan kesebelasan rakyat setempat di lapangan sepak bola di Cipaok, “Saya akan cuti selama seminggu. Kamu harus menyampaikan dokumendokumen penting ini kepada Letnan Wardi di Cadasngampar. Hati-hati, di dalamnya ada pistol komando!”

“Siap, Pak!” kata Soebarna, lalu pergi. Kapten Ahmadi kembali menonton pertandingan sepak bola itu.

Soebarna berjalan dengan tenang sambil bersiul-siul di jalan desa yang sepi itu. Tas yang berisi dokumen dan pistol itu dikepitnya erat-erat dengan tanan kanannya.

Tiba-tiba saja timbul kenakalannya ingin melihat-lihat pistol di dalam tas itu. Diambilnya

perlahan-lahan, lalu disandangnya di pinggangnya, kemudian ia melenggang di jalan yang sepi itu.

“Gagah juga aku ini jika menyandang pistol,” katanya seorang diri sambil berjalan dengan tegap,

“sayang, tidak ada orang yang melihatku.”

Ia tidak menyadari kalau satu regu militer Nica yang sudah lemas karena telah berpatroli

seharian, sedang duduk-duduk beristirahat di pinggir kampung. Salah seorang serdadu

memperhatikan di kejauhan ada orang yang sedang berjalan di jalan yang sepi itu menuju ke arah mereka. Untuk lebih jelas, ia memakai teropongnya.

“Awas! Ada orang memakai pistol sedang menuju kemari!” kata serdadu itu.

Dengan sigap teman-temannya menyebar, menunduk-nunduk di pematang sawah, di sela-sela rumpun padi yang mulai rimbun menghijau.

Subarna masih berjalan dengan gagah, ketika tiba-tiba terdengar teriakan, “Angkat

tangaaaaan…..!”

Dengan cepat Soebarna berbalik, lalu melarikan diri.

Terdengar lagi teriakan, “Berhenti! Awas! Kalau lari, gua tembak!”

Dengan serempak tujuh orang serdadu Nica muncul dari sela-sela rumpun padi, mengepung Soebarna sambil menodongkan bedil kepadanya. Soebarna terduduk sambil mengangkat tangan.

“Kamu menyerah?” tanya salah seorang serdadu.

“Ampun, Tuan, saya menyerah,” kata Soebarna setelah berpikir bahwa jika melawan tidak akan ada gunanya.Seorang serdadu melucuti pistol yang disandang Soebarna, sedangkan temannya merebut tasnya, lalu Soebarna digiring ke Markas Nica di Darmaraja.

Untuk menghilangkan kecurigaan Nica terhadapku dan terhadap guru-guru dan pegawai lain, kami berusaha bergaul dengan mereka sebaik-baiknya dan seluwes-luwesnya, terutama dalam bidang olah raga. Pernah aku ikut memperkuat kesebelasan orang-orang Indonesia dengan hanya memakai sepatu tenis melawan kesebelasan orang-orang Belanda yang bersepatu bola dengan lengkap. Keesokan harinya aku harus memakai tongkat ke sekolah karena kakiku terkilir dan lecet-lecet. Olah raga yang paling sering diadakan adalah permainan badminton.

Sore itu aku sedang bermain badminton di halaman Kantor Kawedanan Darmaraja, melawan Letnan Jansen, Kepala I.D., ketika tiba-tiba terdengar orang berteriak-teriak, “Soebarna tertangkaaaaap…..! Soebarna tertangkaaaaap…..! Soebarna bawa pistoooool…..!”

Permainan badminton terhenti. Orang-orang berlarian ingin melihat Subarna tertangkap. Aku terkesima, kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku yang gemetar karena terkejut mendengar berita yang tak terduga itu. Akhirnya aku terduduk di lantai pendopo kawedanan, dan baru menyadari keadaan di sekitarku ketika Ating, seorang pegawai kawedanan, yang masih kemanakanku, menghampiriku dan berkata, “Mang, sebaiknya

Emang pulang saja.” Segera aku pulang dengan terburu-buru, sambil mampir dulu ke rumah Iding, seorang kurir yang lain, untuk menyampaikan berita tertangkapnya Soebarna kepada TNI yang sedang main bola di Cipaok. Sejak sebelumnya aku sudah tahu bahwa sore ini akan diadakan pertandingan sepak bola di Cipaok.

Sesampai ke rumah segera kukumpulkan segala peralatan yang ada kaitannya dengan ‘orang belakang’, seperti: plakat-plakat yang belum disebarkan, kertas-kertas tebal untuk membuat plakat, pinsil merah-biru, stempel, dan lain-lain. Semua peralatan itu akan kumusnahkan untuk menghilangkan identitasku. Secara kebetulan kutemukan sebuah plakat, lengkap dengan stempel Markas TNI, tetapi tanpa tanggal pembuatannya, yang berisi perintah dari TNI kepada guru-guru untuk menutup sekolah demi keselamatan murid-murid karena TNI akan menyerang Darmaraja. Sebetulnya plakat itu dibuat pada tahun 1947, ketika serdadu Nica baru saja masuk ke Darmraja.

Plakat itu kuambil dan pada waktu itu juga aku segera pergi ke sekolahku untuk memasukkan plakat itu ke salah satu ruangan kelas. Lalu aku segera kembali ke rumah.

Di rumah aku bersiap-siap untuk menerima kemungkinan yang paling buruk, yaitu aku ditangkap Nica. Aku punya dugaan Soebarna juga membawa uang sumbangan dari guru-guru yang baru kuberikan tadi siang untuk diantarkan ke ‘belakang’. Aku juga punya perhitungan bahwa Soebarna tak akan kuat menderita siksaan serdadu Nica, sehingga terpaksa ia membuka rahasia bahwa akulah yang biasa mengumpulkan uang sumbangan untuk diberikan kepada ‘orang belakang’ itu.

Aku bersiap-siap. Aku memakai kemeja tangan panjang, baju hangat, celana panjang, kaus kaki panjang lengkap dengan sepatu, agar bisa bertahan terhadap gigitan nyamuk dan cuaca dingin kalau aku ditahan. Lalu aku menanti…..

“Kamu TNI, ya?” kata Letnan Jansen kepada Soebarna di Markas I.D. Darmaraja.

“Bukan, Tuan,” jawab Soebarna, “saya cuma suruhan.”

“Lalu, pistol ini siapa pnya?”

“Punya seorang Kapten TNI yang akan cuti untuk diserahkan kepada penggantinya, seorang

Letnan TNI di daerah Cadasngampar,” jawab Soebarna tenang.

“Kenapa kamu pakai?”

“Untuk gagah-gagahan, Tuan.”

“Di mana itu Kapten sekarang?”

“Tidak tahu, Tuan.”

“Apa kamu bilang? Tidak tahu? Tadi baru ia berikan ia punya pistol kepada kamu, bukan? Masa tidak tahu, goblok!” hardik Letnan Jansen sambil menampar muka Soebarna.

Subarna menatap muka Letnan Jansen tanpa berkedip.

“Kamu berani menantang aku, ya? Ayo jawab!” perintah Letnan Jansen mulai marah. Sambil mengambil bedilnya ia berteriak, “Atau lebih baik aku pukul kamu pakai ini bedil?” “Ampun, Tuan, ya, ya, saya jawab.” kata Soebarna lagi mulai ketakutan. “Siang ini ia sedang nonton sepak bola di Cipaok, tetapi sekarang…..”

“Kopral!” teriak Letnan Jansen kepada bawahannya, “Perintahkan satu peleton untuk tangkap TNI di Cipaok!”

“Siap, Let!” jawab Kopral itu, lalu menilpon ke Markas Nica di Cikreo.

“Letnan yang akan diserahi ini pistol ada di mana?” tanya Letnan Jansen lagi.

“Tidak tahu, Tuan, mungkin di Cadasngampar.”

“Masa tidak tahu! ‘Kan kamu mau ke sana menyampaikan ini pistol. Apa kamu bisa bawa saya ke tempat sembunyi itu Letnan di Cadasngampar sekarang juga?”

“Bisa saja, Tuan” jawab Soebarna tegas, “tetapi saya kuatir kalau-kalau Tuan tidak bisa pulang dengan selamat.”

“Kurang ajar! Lancang sekali kamu punya mulut!” teriak Letnan Jansen sambil memukul mulut

Soebarna. Darah segar mengucur dari sela-sela bibirnya.

“Ini surat permintaan sumbangan kepada guru-guru mau diserahkan kepada siapa?”

“Tidak tahu, Tuan, baca saja alamatnya.”

“Ini surat tidak pakai alamat, goblok!” Sebuah pukulan mendarat di bagian belakang kepala Soebarna. Ia roboh. Pingsan.

Kurir yang kusuruh sudah kembali. “Celaka, Pak,” katanya terengah-engah sambil menyandarkan sepedanya di dinding rumah.

“Serdadu Nica sebanyak satu power sudah mendahului saya ke sana. Lalu saya kembali saja ke sini.” “Sudahlah, tenang saja.” kataku menenangkan dirinya, “Kamu pulang saja.”

Aku sendiri menenangkan diriku. Aku tetap menanti…..

Pertandingan sepak bola antara kesebelasan TNI melawan kesebelasan rakyat di Cipaok

berlangsung dengan seru. Penonton bersorak-sorak memberi semangat kepada kesebelasan favoritnya.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan, “Siaaaaap…..! Ada mobil dataaaaang…..!”

Dalam sekejap mata lapangan sepak bola di tengah sawah itu menjadi lengang. Para anggota TNI dengan cepat menyelamatkan dirinya sendiri-sendiri, sedangkan rakyat pulang ke rumahnya masing-masing.

Ketika power-wagon yang membawa satu peleton serdadu Nica itu datang, tidak ada seorang pun di lapangan itu. Seorang serdadu Nica yang bertanya kepada seorang anak yang sedang main layang-layang, mendapat jawaban, “Ya, tadi banyak orang di sini, main bola.”

Power wagon itu kembali ke Markas I.D. di Darmaraja untuk melaporkan tugasnya, kemudian melanjutkan perjalanannya, pulang ke markasnya di Cikareo. Di depan warung Eme, tetanggaku di pinggir jalan, yang banya selang dua rumah dari rumahku, power-wagon itu berhenti.

Ketika mendengar suara mobil berhenti di dekat rumahku itu aku bergumam, “Sekaranglah waktunya aku ditangkap. Ya, Allah, lindungilah diriku…..”

Aku tetap menanti dengan tenang. Tenaaaaang sekali.

Sementara itu kabar tentang tertangkapnya Soebarna dan tentang diketemukannya surat untuk minta sumbangan kepada guru-guru dan pegawai-pegawai, lalu tentang sebuah power-wagon berhenti di depan warung Eme di dekat rumahku, dengan cepat sudah sampai ke Ciwangi, kepada ayahku yang mantan Kuwu desa Cibogo itu. Ayahku segera melakukan sholat hajat. Ketika ayahku sedang berdoa dengan khusyuk, agar aku diselamatkan dari bencana, tiba-tiba ada orang berteriak, “Ada cahaya merah-putih dari langit menuju ke makam Bapak Gentooooong…..!”

Ayahku keluar. Ketika dilihatnya ada pelangi di langit, yang salah satu ujungnya seperti

menancap di tempat pemakaman Bapak Gentong, langsung ia menadahkan tangannya dan berkata, “Alham-dulillah! Selamat! Insya Allah anakku selamat. Ya, Allah, lindungilah anakku…..”

Setelah berhenti sebentar di depan warung Eme, supir power-wagon itu berteriak, “Ayo, cepat beli rokoknya! Aku sudah lapar! Nanti kehabisan ompreng!”

Terdengar bunyi deruman mobil yang berangkat meninggalkan warung Eme. Aku masih menanti apa yang akan terjadi dengan tenang. Hari ini rasanya panjaaaaang sekali…..”

***

3. Mengungsi Lagi

Keesokan harinya aku pergi ke sekolah seperti biasa. Sesuai dengan perhitunganku, murid-murid gelisah karena di salah satu ruangan kelas ditemukan surat perintah dari TNI untuk menutup sekolah sebab Darmaraja akan diserang oleh TNI. Surat perintah itu diserahkan kepada salah seorang guru, kemudian ia menyerahkannya kepadaku, lalu aku mengadakan pertemuan kilat dengan guru-guru. Mereka setuju menutup sekolah untuk sementara, demi keselamatan muridmurid.

Kemudian aku dan guru-guru menghadap Wedana dan Kepolisian Negara untuk minta izin penutupan sekolah. Dengan pertimbangan untuk menjaga keselamatan murid-murid, mereka menyetujui penutupan sekolah untuk sementara.

Hari itu juga aku pergi ke Sumedang dengan alasan untuk melaporkan penutupan sekolah kepada atasanku. Di balik itu aku sedang merencanakan suatu pelarian, karena aku yakin bahwa cepat atau lambat, aku akan ditangkap oleh si Jansen.

Atasanku bisa menerima alasan penutupan sekolah itu dan mengizinkan aku meninggalkan Darmaraja untuk diperbantukan pada Kantor Inspeksi Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan Kabupaten di Sumedang.

Setelah mendapat rumah sewaan di Jalan Kebonkol, milik Kang Oemar, kakak kelasku di

Normaalschool Garut dulu, yang Shodancho Peta itu, aku mengirim surat kepada istriku,

memberi tahu untuk menyusulku pindah ke Sumedang. Aku sendiri tidak berani datang lagi ke Darmaraja, takut kalau-kalau ada yang berkhianat dan melaporkan kedatanganku kepada si Jansen.

Di Sumedang aku berkumpul lagi dengan keluargaku, termasuk dua orang anak laki-lakiku yang tadinya indekos di rumah Pak Karna.  sementara itu dari Darmaraja dikabarkan bahwa adik sepupuku, yang tukang jagal, Njimas Aroem, didatangi seseorang yang mengaku dari ‘belakang’ bermaksud minta sumbangan uang. Karena merasa takut, Njimas Aroem memberinya sejumlah uang. Kemudian ternyata bahwa orang itu adalah mata-mata Nica suruhan si Jansen untuk menjebak Njimas Aroem. Tak lama kemudian datang serdadu Nica untuk menangkap suaminya, Mas Roehana. Menyaksikan peristiwa ini, anak perempuannya, Njimas Enong, yang juga seorang guru, mencariku dan menemuiku di Sumedang.

“Uwa,” katanya, “Uwa harus segera meninggalkan Sumedang, karena Abah sudah ditangkap. Saya takut kalau-kalau Abah tidak tahan menderita siksaan, lalu membocorkan rahasia bahwa Uwa yang biasa mengumpulkan uang sumbangan dari guru-guru dan para pegawai untuk ‘orang belakang’. Kemungkinan besar si Jansen akan mencari Uwa di Sumedang, oleh karena itu sejak sekarang juga Uwa jangan ada lagi di Sumedang.” (‘Abah’ sama dengan ‘ayah’.) Atas pemberitahuan ini aku mengucapkan terima kasih.

Berita terakhir mengabarkan bahwa Mas Roehana dibebaskan dari tahanan setelah ditebus dengan sebentuk cincin berlian.

Beberapa hari kemudian dari Darmaraja diterima kabar lain yang mengatakan bahwa pada suatu hari ibu-mertuaku marah-marah karena mendengar ada orang yang berjalan dengan hentakan kaki yang keras di serambi rumah panggung itu.

“Kalau berjalan perlahan-lahan! Nanti rumahnya ambruk!” teriak ibu-mertuaku dari dalam rumah sambil membuka pintu depan.

“Oh, Gusti! Maaf, Tuan, saya tidak tahu yang datang itu Tuan,” kata ibu-mertuaku tergagap ketika diketahuinya bahwa yang datang itu serdadu Nica.

“Mana Guru Dodo?” tanya si Jansen sambil melihat-lihat buku yang tergeletak di atas meja. “Ke….., ke Sumedang, Tuan,” jawab ibu-mertuaku dengan gemetar.

“Kapan dia pergi?” tanyanya lagi sambil melihat-lihat buku di lemari buku.

“Sudan seminggu, Tuan,” jawab ibu-mertuaku lagi.

“Sudah seminggu?” si Jansen balik bertnya. “Nah, betul, ‘kan, Guru Dodo itu jahat. Buktinya sekarang ia meninggalkan tugasnya dan lari ke Sumedang.”

Setelah itu mereka pergi meninggalkan ibu-mertuaku yang masih terkesima dan ketakutan.

Di Sumedang gagang kaca mataku patah, sehingga tidak dapat dipergunakan. Terpaksa aku tidak memakai kaca mata untuk sementara, sambil menunggu perbaikan kaca mataku di Bandung yang memakan waktu agak lama. Seorang pegawai Inspeksi Agama kenalanku mengabarkan, bahwa pada suatu hari di kantornya ia bertemu dengan seorang serdadu Nica berpangkat Letnan yang menanyakan rumah seorang guru berasal dari Darmaraja bernama Dodo, dengan ciri-ciri berambut putih dan berkacamata.

Karena ia mencurigainya kalau-kalau aku sedang dalam keadaan berbahaya, ia menjawab,

“Tidak tahu.”

Kukira ia si Jansen yang sudah mencari-cariku sampai ke Sumedang. Aku yakin ia tak akan berhasil menemukan mangsanya karena ia hanya mencari seorang guru bernama Dodo, berambut putih, dan berkaca mata, sedangkan kaca mataku tak pernah kupakai lagi.

Pada suatu hari Kosasih berkata, “Pih, tadi pagi ketika saya habis berolah raga dari alun-alun akan pulang ke sekolah, bertemu dengan Kang Soebarna sedang kerja bakti membersihkan rumput di pinggir jalan dekat Rumah Penjara. Ketika rombongan anak-anak lewat, ia mengajak tertawa kepada saya dan berkata, ‘Eh, ada orang Darmaraja’ katanya. Lalu ia berteriak ‘Merdeka! Merdeka!’, padahal di dekatnya ada polisi yang menjaga.” (Kata “Pih” berasal dari kata ‘bapih’, plesetan dari kata ‘papih’ yang berarti ‘bapak’.)

“Polisinya tidak marah?”

“Tidak,” jawab Kosasih, “ia diam saja.”

“O, ya, Pih,” kata Kosasih lagi, “bolehkah saya mengikuti rombongan kesenian untuk menghibur TNI di Baginda?” (Baginda adalah Markas TNI di luar kota sebelah timur kota Sumedang.)

“Itu ‘kan daerah gerilya, nanti kamu ditangkap Nica?”

“Tidak, kok, Bapak Direktur juga mengatakan bahwa yang akan ikut rombongan kesenian tidak akan diapa-apakan.”

Aos akan mempertunjukkan kesenian apa?” tanyaku lagi.

“Drama, judulnya ‘Pahlawan Telah Gugur’. Bagus sekali, Pih. Kami sudah beberapa kali berlatih di sekolah.”

“Ya, kalau begitu bolehlah,” jawabku. “Kapan pertunjukan itu diadakan?”

“Minggu depan,” kata Kosasih gembira.

Beberapa hari setelah percakapanku dengan anakku itu, kude-ngar kabar yang mengatakan bahwa Soebarna telah melarikan diri dari Rumah Penjara menuju ke timur. Polisi mengejarnya dan menembakinya, tetapi tidak kena.

“Mungkin Polisi Negara itu tidak menembak sungguhan,” pikirku. “Mungkin ia menembak ke atas.” Memang di tubuh Kepolisian Negara ‘boneka’ Pasundan juga banyak orang-orang republikein.

Menurut kabar itu, setelah ia menyeberangi Sungai Cileuleuy, Polisi Negara itu tidak berani melanjutkan pengejarannya karena daerah di sebelah timur Sungai Cileuleuy itu sudah merupakan daerah gerilya. Soebarna selamat. Alhamdulillah…..

Pada tanggal 1 Maret 1949 terjadi serangan umum terhadap kota Yogyakarta oleh

gerilyawan/TNI dan mendudukinya selama enam jam, dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10, daerah Wehrkreise III, yang membawahi daerah Yogyakarta.

Dengan ini diperlihatkan kepada dunia internasional, bahwa TNI itu masih ada dan masih setia kepada Republik Indonesia.

Di kemudian hari Letnan Kolonel Soeharto ini menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua, menggantikan Presiden Soekarno.

Pada tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani ‘Persetudjuan Roem-Royen’ yang berisi:

1. Kesediaan Pemerintah Indonesia untuk:

a) mengeluarkan perintah kepada pasukan bersenjata/gerilyawan untuk menghentikan perang gerilya;(b) bekerja sama menyelenggarakan perdamaian dan ketertiban; dan (c) turut serta dalam KMB (Konperansi

Medja Bundar) di Den Haag (Nederland).

2. Kesediaan Pemerintah Belanda untuk: (a) menyetujui kembalinya Pemerintah R.I. ke

Yogyakarta; (b) menjamin penghentian gerakan militer dan membebaskan semua tawanan

politik; (c) tidak akan mendirikan lagi ‘negara-negara boneka’; (d) mengakui daerah de facto R.I. untuk bergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat); dan (e) segera

menyelenggarakan KMB.

Sebagai akibat dari ‘Persetudjuan Roem-Royen’ ini banyak tawanan politik dan orang-orang yang hijrah ke Yogyakarta diizinkan kembali pulang kampung. Salah seorang di antaranya adalah Soemardi, kakaknya Soebarna, yang dengan gembira datang ke Darmaraja. Ia adalah seorang guru yang mempunyai perusahaan perte-nunan dan pencelupan. Pada waktu itu ia ditangkap oleh Militer Nica karena di rumahnya terdapat banyak seragam TNI yang sedang dicelup dengan warna hijau. Ia ditangkap oleh Militer Nica, lalu setelah ‘Persetudjuan Roem-Royen’ ia ditukar dengan tawanan dari Yogyakarta, kenudian ia dikirimkan ke Yogyakarta. Selanjutnya ia diperbolehkan pulang.

Malam hari setelah kedatangannya ia berjalan-jalan ke alun-alun. Di sana ia bertemu dengan teman-temannya yang sudah menjadi anggota Militer Nica. Mereka ngobrol-ngobrol di warung minuman.

“Apa kabar?” tanya temannya yang anggota militer Nica itu.

“Baik. Di Yogya sana saya menderita lahir batin, orang-orang Yogya mengejek orang-orang Sunda yang hijrah ke Yogya itu sebagai ‘pemuda peuyeum’ yang kalah perang. Kamu, sih, enakenak saja di sini menjadi ‘anjing Nica’,” kata Soemardi sambil tertawa-tawa. “Untuk apa mencari kesengsaraan di Yogya, menjadi ‘anjing Nica’ di sini, ‘kan lebih enak,” jawab salah seorang temannya sambil tertawa-tawa pula.

Obrolan diteruskan sampai larut malam.

Keesokan harinya orang-orang yang akan pergi ke pasar gempar karena melihat mayat Soemardi berlumuran darah terkapar di pinggir jalan dekat alun-alun Darmaraja.

4. Kawan Dan Lawan

Untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan, kalau-kalau si Jansen masih penasaran, tetap mencari dan lalu menangkapku, aku merencanakan untuk meninggalkan kota Sumedang. Aku datang ke tempat praktek Dokter Djoenaedi, yang terkenal sebagai orang republikein, di Jalan Raya, Sumedang, untuk minta pertolongan. Sengaja aku menanti giliran terakhir.

“Bapak sakit apa,” tanya Dokter Djoenaedi.

“Saya tidak sakit, Dok, cuma tidak bisa tidur,” jawabku

“Sebabnya?”

“Saya selalu merasa ketakutan”

“Takut apa?”

“Takut ditangkap Belanda.”

“Sebabnya?”

“Saya ini Mantri Guru di Darmaraja, Dok,” jelasku, “oleh guru-guru dan para pegawai di

Darmaraja yang republikein diberi tugas mengumpulkan dana untuk dikirimkan ke ‘belakang’ pada tiap bulan. Baru-baru ini kurir saya tertangkap dan seka-rang saya diawasi militer Nica, sehingga diri saya merasa terancam. Kemudian saya mengungsi ke Sumedang ini, tetapi belum lama ini ada militer Nica yang mencari-cari rumah saya di Sumedang ini.”

“Sekarang, apa yang bisa saya bantu?” tanya Dokter Djoenaedi kemudian.

“Saya akan minta bantuan Dokter, untuk sementara saya mau mengungsi ke Bandung, tetapi jangan sampai ketahuan meninggalkan tugas di Sumedang ini.”

“O, begitu,” kata Dokter Djoenaedi, yang sudah mulai mengerti ke mana arah permintaanku,

“Baiklah, Bapak akan saya beri cuti sakit selama lima belas hari, dengan catatan Bapak jangan menyalahgunakan kesempatan ini, karena dengan demikian ini saya sudah melanggar kode etik kedokteran, demi perjuangan dan demi revolusi. Selama cuti saya harap Bapak mencari jalan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah ini.”

“Akan saya usahakan, Dok. Terima kasih.”

Kepada atasanku, Pak Hamdan, aku minta izin meninggalkan tugas karena akan berobat ke Bandung, sambil memperlihatkan surat keterangan cuti sakit dari Dokter Djoenaedi itu. Setelah itu aku menemui Kang Oemar, yang bekas kakak kelasku di Normaalschool Garut, yang Shodancho Peta, dan yang rumahnya kutinggali di Sumedang ini. Kepadanya kuceritakan dengan berterus terang tentang kesulitan yang kuhadapi seperti yang kuceritakan kepada Dokter Djoenaedi.

“Kalau begitu, coba saja minta pertimbangan kepada anakku, Letnan Hendra, di Bandung. Ia anggota KNIL, Batalyon Baret Hidjau.”

Sebelum aku pergi ke Bandung, keluargaku kusuruh kembali pulang ke Darmaraja. Istriku pulang bersama ketiga anak perempanku yang masih bersekolah di Sekolah Rakjat, sedangkan kedua anak laki-lakiku yang sudah bersekolah di SMP kutitipkan kembali di rumah Pak Karna.

Di Bandung aku menemui anak Kang Oemar, Letnan Hendra, yang anggota Baret Hidjau itu di rumahnya.

Setelah membaca surat yang kubawa, ia berkata, “Kalau Emang ingin bekerja dengan saya, tidak akan kuat. Terlalu berat bagi Emang.”

“Bukan begitu maksud Emang. Emang ini merasa ketakutan oleh Letnan Jansen, Kepala I.D. di Darmaraja,” kataku, lalu kuceritakan kesulitanku seperti yang kuceritakan kepada ayahnya.

“O, kalau begitu gampang,” katanya, “kalau Emang ditangkap oleh si Jansen, hubungkan saja si Jansen dengan saya. Ini nomor tilpon saya.” Ia menyodorkan kartu namanya yang lengkap dengan pangkat, alamat, dan nomor tilponnya.

Setelah itu aku melaporkan diri kepada Inspeksi P.D. dan K. Kabupaten Bandung dan dengan alasan untuk berobat di Bandung aku minta dipindahkan ke Bandung, diperbantukan pada Sekolah Rakjat Kiaracondong.

Untuk merealisasikan keputusan-keputusan ‘Persetudjuan Roem-Royen’ diadakan persiapan- persiapan.

Persiapan pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda terhadap Pemerintah Republik

Indonesia Serikat dilaksanakan sebagai berikut:

1. Tanggal 29 Juni 1949 Tentara Nasional Indonesia masuk kota Yogyakarta.

2. Tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta

para pejabat lainnya, masuk kota Yogyakarta.

3. Tanggal 10 Juli 1949 Djenderal Soedirman masuk kota Yogyakarta.

4. Tanggal 11 Juli 1949 Mr. Sjafroeddin Prawiranegara selaku Kepala Pemerintah

Darurat Republik Indonesia menyerahkan mandat kepada Ir. Soekarno selaku Presiden

Republik Indonesia.

5. Tanggal 15 Desember 1949 pemilihan Presiden Republik Indonesia Serikat oleh Dewan Pemilihan Presiden Republik Indonesia Serikat.

6. Tanggal 16 Desember 1949 penetapan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat.

7. Tanggal 17 Desember 1949 pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat.

8. Tanggal 20 Desember 1949 pelantikan Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 27 Desember 1949 adalah sebagai berikut:

1. Di Yogyakarta: Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia menyerahkan mandat ada Mr. Asaat sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.

2. Di Jakarta: Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink (sebagai wakil Pemerintah Belanda) dan Sultan Hamengkubusono IX (sebagai wakil Pemerintah Republik Indonesia Serikat) menandatangani naskah pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia Serikat.

3.Di Den Haag (Nederland): Ratu Juliana (sebagai wakil Pemerintah Belanda) dan Drs.

Mohammad Hatta (sebagai wakil Pemerintah Republik Indonesia Serikat) menandatangani naskah pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia Serikat.

RIS (Republik Indonesia Serikat) adalah sebuah perserikatan dari republik atau negara di daerah bekas Hindia Belanda dulu, yang terdiri atas:

(1) Republik Indonesia,

(2) Negara Indonesia Timur,

(3) Negara Pasundan,

(4) Negara Djawa Timur,

(5) Negara Madura,

(6) Negara Sumatera Timur,

(7) Negara Sumatera Selatan,

(8) Negara Djawa Tengah.

(9) Bangka,

(10) Belitung,

(11) Riau,

(12) Daerah Istimewa Kalimantan Barat,

(13) Dajak Besar,

(14) Daerah Bandjar,

(15) Kalimantan Tenggara), dan

(16) Kalimantan Timur.

***

Pad tanggal 29 Januari 1950 Djenderal Soedirman, Panglima Besar TNI, meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan ‘Semaki’, Yogyakarta.

Pada pertengahan tahun itu pula Kosasih lulus udjian akhir SMP Negeri, lagi-lagi dengan nilai terbaik untuk SMP bagian A. Segera ia mengirim surat kepadaku di Darmaraja. Ia tidak tahu bahwa aku sedang bertualang tanpa tempat tinggal tertentu di Bandung.

Istriku yang menerima surat dari anakku itu, yang menanyakan harus ke mana ia melanjutkan sekolah dan harus di mana ia tinggal di Bandung, hanya bisa membalas suratnya dengan katakata, “Bapih tidak ada di rumah. Tentang sekolah dan tempat tinggalmu di Bandung Emih tidak tahu. Tunggulah sampai Bapih datang. Bersabarlah.” (Kalau berkata kepada anak-anaknya istriku menyebut dirinya ’emih’ yang merupakan plesetan dari kata ‘mamih’ yang berarti ‘ibu’.)

Setahuku, dalam seumur hidupnya, hanya sekali itulah istriku membuat surat untuk anaknya. Akhirnya anakku pergi sendiri ke Bandung menemui kakakku, Kang Adjep yang sudah menjadi Penilik Pendidikan Masjarakat di Bekasi, tetapi berdomisili di Bandung. Untuk sementara, Kosasih tinggal padanya di Babakan Surabaya (Jalan Kiaracondong), Bandung, dan bersekolah di SMA Negeri III (yang kemudian menjadi SMA Negeri I) di Jalan Jawa, Bandung.

setelah tinggal beberapa bulan dengan berpindah-pindah tempat di Bandung, dan setelah memperhatikan situasi keamanan di Sumedang, aku kembali ke Sumedang. Di Sumedang aku disambut oleh Pak Hamdan dengan kata-kata, “Ayi harus segera kembali ke Darmaraja. Tanpa ada Ayi di Darmaraja, Akang tidak bisa bertugas ke Darmaraja. (‘Ayi’ = ‘adik’, ‘Akang’ = ‘kakak’.)

Aku diam sejenak.

“Akang mohon dengan sangat,” katanya lagi.

“Saya belum berani pulang ke Darmaraja, karena takut oleh si Jansen,” kataku.

“Ya, Akang takut oleh TNI,” katanya lagi seperti yang putus asa.

“Saya akan menghadap Kepala Inspeksi dulu untuk minta pertimbangan beliau,” usulku,

“Mudah-mudahan beliau memberi jalan keluar.”

Di depan Kepala Inspeksi P.P. dan K. Kabupaten Sumedang, Pak Loekas, yang masih terhitung famili istriku, aku memberitahukan pembicaraanku dengan Penilik Sekolah.

“Kalau begitu, coba saja hubungi adik saya, Pak Haji,” katanya. “Ia juga anggota I.D. di

Sumedang ini. Pasti ia kenal si Jansen.”

Ketika aku menemui Pak Haji dan menceritakan kesulitanku, ia berkata, “Sekarang begini saja, kalau ditangkap si Jansen, berikan saja nomor tilpon saya ini. Suruh si Jansen menilpon saya.”

Aku pulang dengan hati yang tenang, ke Darmaraja.

5. Karunia Tuhan

Aku bekerja kembali di Darmaraja. Serdadu-serdadu Nica sudah tidak ada lagi di Darmaraja, karena mereka telah ditarik dan dikonsinyir di Bandung. Kini Darmaraja diperintah oleh dua penguasa, yaitu oleh Negara ‘boneka’ Pasundan dan oleh Republik Indonesia, yang kedua-duanya tergabung dalam Republik Indonesia Serikat, Aku bekerja kembali seperti sedia kala pada Negara ‘boneka’ Pasundan sebagai Mantri Guru Sekolah Rakjat, dan bekerja pada Republik Indonesia sebaai Kepala Urusan Pendidikan (setingkat Penilik Sekolah).

Sementara itu anakku kedua, Kuswara, lulus ujian penghabisan SMP Negeri Sumedang, lalu masuk ke SGA Negeri II, Jalan Citarum, Bandung, dan tinggal pada kakakku Kang, Adjep, di Babakan Surabaya (Jalan Kiaracondong), Bandung. (‘SGA’ adalah Sekolah Guru A, yaitu sekolah pendidikan calon guru-guru SMP). Kakaknya, Kosasih, pindah indekosnya ke rumah Nji Etoj, anak adik sepupuku, Njimas Aroem, di Melong Kidul (Jalan Lengkong Besar), Bandung, mendekati sekolahnya.

Masuknya Kuswara ke SGA Negeri II dengan ikatan dinas ini ternyata membawa missi yang mengharukan. Ia berkata, “Biarlah saya masuk ke SGA Negeri dengan berikatan dinas, agar biaya untuk sekolah saya dilimpahkan kepada adik-adik saya yang masih membutuhkan biaya.”

Mulia benar hati anakku, Kuswara.

Untuk merealisasikan rencana Pemerintahan Militer Republik Indonesia di pinggiran dan luar kota Darmaraja, aku diberi tugas merekrut tenaga guru untuk mengisi kekosongan guru-guru di sekolah-sekolah di sekitar Darmaraja, terutama di tempat-tempat terpencil, yang keadaannya tidak aman karena sering diganggu oleh gerombolan DI/TII. Terkumpullah empat puluh orang calon guru sukarelawan yang bersedia mengajar tanpa dibayar.

Karena mereka hanya berijasah Sekolah Rakjat saja, guru-guru senior yang telah berpengalaman, dengan suka rela memberi bimbingan dan pelajaran dalam kursus yang khusus diselenggarakan untuk meng-upgrade calon-calon guru tersebut.

Untuk membicarakan rencana selanjutnya tentang kurikulum pelajaran dalam kursus dan tentang masa depan guru-guru muda itu, aku mengadakan pertemuan dengan guru-guru dan jawatanjawatan yang terkait, mengambil tempat di Situraja, di bawah pimpinan Komandan ODM Darmaraja, Letnan Soesilo.

Baru saja rapat berjalan lebih kurang lima belas menit, dan Letnan Soesilo selesai menyampaikan pembukaan dan pengarahan dalam rapat tersebut, di depan tempat pertemuan itu berhenti tiga buah mobil dan dari dalamnya keluar (1) Pak Moechtar, Bupati Sumedang (Pasundan); (2) Pak Doedi, Kepala Inspeksi P.P. dan K. Negara Pasundan; (3) Pak Loekas, Kepala Inspeksi P.P. dan K. Kabupaten Sumedang (Pasundan); (4) Pak Hamdan, Penilik Sekolah Kawedanan Darmaraja (Pasundan); dan (5) Kang Oemar, Kepala Inspeksi P.P.dan K. Kabupaten Sumedang (R.I.).

Aku sempat kaget. “Pasti ada yang membocorkan rencana rapat ini,” pikirku.

Setelah mereka kupersilakan duduk, Pak Doedi bertanya kepadaku, “Ini rapat apa?”

“Rapat guru-guru dengan jawatan yang terkait,” jawabku tenang.

“Membicarakan apa?” tanyanya lagi.

“Membicarakan kursus bagi calon guru sukarelawan,” jawabku lagi.

“Rasanya belum pernah saya memberi instruksi seperti itu di seluruh Pasundan ini,” katanya kemudian, “Siapa yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan rapat ini?”

Letnan Soesilo berdiri dan berkata dengan tegas, “Saya sebagai Komandan ODM di Darmaraja yang memerintahkan penyelenggaraan rapat ini.”

“O, begitu?” kata Pak Doedi, “Kalau begitu, silakan dilanjutkan.”

Aku berdiri dan mengulas acara rapat pada hari itu, kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang maksud dan tujuan kursus guru-guru sukarelawan. Selanjutnya aku mempersilakan bila dari para pejabat itu akan ada yang memberi sambutan. Sambutan diberikan oleh Kang Oemar, yang memuji inisatif dari bawah dalam pengadaan guru-guru sukarelawan itu. Kemudian diumumkan rencana-rencana perluasan kursus untuk calon guru-guru. Rapat diakhiri dengan acara tanyajawab.

Setelah rapat selesai, Pak Lukas bertanya kepadaku, “Do, bawa sepeda?”

“Tidak, Pak,” jawabku.

“Tentu saja tidak,” tukas Pak Hamdan, “Darmaraja, ‘kan jauh dari sini, lima belas kilometer.”

“Kalau begiru ikut saja dengan kita,” ajak Pak Loekas, yang masih ada hubungan famili dengan istriku itu.

Ketiga mobil itu beriring-iringan meninggalkan Situraja menuju Darmaraja. Mobil yang keempat adalah sebuah jip militer yang ditumpangi oleh Letnan Soesilo.

“Do,” kata Pak Loekas kepadaku setelah mobil berjalan, “Dodo ini bagaimana? Bukankah Dodo ini pegawai Negara Pasundan, digaji oleh Negara Pasundan, kenapa dalam jam kerja seperti ini bekarja untuk Pemerintah R.I.?”

“Saya tidak bisa menjawab,’ jawabku tegas.

“Tentu saja dia tidak akan bisa menjawab,” kata Kang Oemar sambil tertawa, “karena kedua atasannya ada di sini, ya dari Pasundan, ya dari R.I.”

“Andaikata saya harus menjawab juga, inilah jawaban saya,” kataku lagi, “bila tindakan saya ini dibenarkan oleh atasan saya, saya mengucapkan terima kasih, tetapi bila tindakan saya ini disalahkan oleh atasan saya, saya menerima bersalah.”

Orang-orang di dalam mobil itu hening sejenak, tetapi tidak berapa lama kemudian menjadi ramai lagi membicarakan hal-hal lain.

Sesampainya di Darmaraja Letnan Soesilo sebagai Komandan ODM wilayah Darmaraja

mempersilakan para tamu untuk memasuki ruang kantornya di Markas ODM. Mereka masuk dan naik ke lantai atas, sedangkan aku dan beberapa orang guru oleh Letnan Soesilo di suruh menunggu di lantai bawah.

“Jadi, sebenarnya Pak Letnan yang menginstruksikan pengangkatan guru-guru itu?” tanya Bupati Sumedang kepada Letnan Soesilo.

“Benar,” jawab Letnan Soesilo, “kami menganggap bahwa pendidikan itu penting sekali bagi generasi muda, generasi penerus yang akan menggantikan kita nanti, agar tidak ada generasi yng hilang. Adanya revolusi ini jangan sampai dianggap sebagai penghalang yang menghambat pendidikan. Untuk itu dibutuhkan tenaga-tenaga guru, sedangkan tenaga guru di Darmaraja ini sangat kurang, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang tidak aman.”

“Benar sekali,” kata Bupati lagi, “tetapi Pak Dodo tidak berwewenang untuk mengadakan kursus itu, apa lagi mengangkat mereka menjadi guru. Dan nanti siapa yang akan menggaji guru-guru itu? Negara Pasundan? Mana mau Negara Pasundan mengangkat dan menggaji mereka!”

“Bapak-Bapak yang terhormat, dalam revolusi ini kita tidak terlalu terikat oleh prosedur dan birokrasi. Perwira-perwira TNI yang memimpin perjuangan dalam revolusi ini juga tidak semuanya berpendidikan kemiliteran, pejabat-pejabat pemerintahan juga tidak semuanya berpendidikan kepamongprajaan, tetapi revolusi berjalan terus. Kalau kita menunggu-nunggu perintah dari atas dalam situasi seperti ini, pada saat hubungan komunikasi antara pusat dan daerah sering terputus, sedangkan para atasan jarang turun ke lapangan, kapan roda revolusi ini akan berjalan? Jadi, berwewenang atau tidak, bersalah atau tidak, itu akan dinilai oleh sejarah di masa depan. Kita semua ini sedang membuat sejarah, sejarah perjuangan bangsa Indonesia!” kata Letnan Soesilo dengan berapi-api.

“Tetapi guru-guru itu ‘kan harus dibayar juga,” kata Bupati itu lagi.

“Itu adalah tugas Bapak-Bapak di atas untuk memperjuangkannya. Bahkan kalau perlu, tidak usah dibayar. Mereka rela mengurbankan tenaganya demi kemenangan revolusi Indonesia, bahkan mereka rela mengurbankan jiwanya bila diperlukan.” kata Letnan soesilo dengan nada tinggi.

Para hadirin diam.

“Sekarang begini saja,” kata Letnan Soesilo dengan suara keras sambil meletakkan pistolnya di atas meja, “Jika Bapak-Bapak tetap mempermasalahkan dan menyalahkan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Pak Dodo, jangan harap bisa meninggalkan wilayah kekuasaan saya di Darmaraja ini dengan selamat! Kami akan bertindak demi revolusi!”

Para hadirin tetap diam.

Setalah agak lama terdiam, Letnan Soesilo berkata lagi dengan nada suara yang mulai rendah,

“Apakah ada yang akan berbicara lagi? Kalau tidak ada, barangkali pertemuan kita ini cukup sekian dulu dan kita tutup saja.” Pertemuan ditutup dan mereka turun.

“Pak Letnan,” kata Bupati sesampainya ke ruang bawah, “mari kita teruskan peninjauan kita ke Kantor Kawedanan.”

Rombongan meninggalkan Markas ODM menuju ke Kantor Kawedanan di dekat alun-alun.

Sementara itu Pak Hamdan berbisik padaku, “Yi, Pak Bupati harus disediakan makan siang.”

“Ya, akan saya usahakan,” jawabku.

Aku sempat dibuat bingung juga. Bagaimana mungkin mencari dan menyediakan makan siang untuk para pejabat dengan mendadak seperti ini di Darmaraja yang tidak mempunyai rumah makan. Dan di mana pula tempat makannya nanti, karena rumahku rumah panggung yang tidak memenuhi syarat untuk keperluan seperti ini.

Tiba-tiba aku ingat kepada adik sepupuku, Njimas Aroem, yang tukang jagal itu, yang tiga orang anak perempuanya dari enam orang bersaudara itu menjadi guru. “Mudah-mudahan ia bisa menolongku,” pikirku.

“Bi, saya bingung karena harus menyediakan makan siang untuk rombongan Bapak Bupati sekarang juga,” keluhku ketika aku menemuainya di tokonya. Aku memanggilnya ‘bibi’ karena mem-bibi-kan anak-anakku.

“Kenapa bingung?” tanyanya sambil tertawa menantang, “beras banyak, daging banyak! Berapa orang tamunya? Suruh saja guru-guru perempuan dan istri-istri guru untuk menyiapkannya!”

“Terima kasih, Bi.” kataku gembira, “Tetapi, di mana tempat makannya? Di rumah saya, ‘kan tidak lucu, takut rumah saya ambruk.”

“Itu, rumah saya juga besar, peralatan untuk makan juga lengkap, pakai saja!” jawabnya. Ia menunjuk ke rumahnya di belakang toko tempat ia berjualan.

Lalu, dimulailah kesibukan itu. Ibu-Ibu Guru dan istri-istri guru segera berkumpul dan memasak beramai-ramai di rumah adik sepupuku, Njimas Aroem.

Setelah selesai makan, Pak Doedi bertanya kepadaku, “Do, bagaimana mungkin anda

mengangkat guru-guru muda yang hanya berpendidikan Sekolah Rakjat itu untuk mengajar murid-murid Sekolah Rakjat?”

“Mereka diberi kursus oleh guru-guru senior yang telah berpengalaman.” jawabku.

“Honor guru-guru yang memberi kursus dari mana?”

“Mereka mengajar secara suka rela tanpa dibayar.”

“Waktu kursusnya kapan?”

“Tiap hari, waktu siang setelah mereka selesai mengajar di sekolahnya masing-masing.”

“Jadi, sekarang juga ada kursus?”

“Ada,” jawabku. Aku memang sudah menginstruksikan kepada para guru agar siang ini tetap mengadakan kursus, kalau-kalau ada inspeksi.

“Kalau begitu, mari kita lihat guru-guru yang sedang diberi kursus,” ajaknya kepada rombongan.

Kami semua mengunjungi kursus guru-guru yang sedang diselenggarakan di ruangan Sekolah Rakjat Darmaraja, dekat Kantor Kawedanan Darmaraja. Para anggota rombongan terlihat puas menyaksikan kursus itu.

“Do, teruskan saja kursus ini, nanti saya pikirkan cara penyelesaiannya,” kata Pak Doedi

kepadaku.

Usia Republik Indonesia Serikat ternyata hanya enam bulan saja, karena negara-negara bagian RIS ini satu demi satu meleburkan dirinya kepada Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1950 habislah negara-negara ‘boneka’ itu dan tinggallah sebuah negara Republik Indonesia yang merupakan sebuah negara kesatuan.

Kemudian Pejabat Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat, menyerahkan kembali mandatnya kepada Ir. Soekarno dan Drs Mohammad Hatta.

Pada suatu hari aku dipanggil oleh Kepala P.D. dan K, Kang Oemar di Sumedang.

“Do, bagaimana kursus guru-guru itu masih berjalan?” tanya-nya ketika aku datang menghadap.

“Masih, Kang,” jawabku.

“Bagus,” katanya, “tapi ada kesulitan juga dari atasan kita.”

“Kenapa, Kang?” tanyaku penasaran.

“Setelah pertemuan kita dengan Letnan Soesilo dulu, atasan kita merasa terpojokkan oleh

tindakan Dodo dan merasa tersinggung oleh tindakan Letnan Soesilo yang mengancamnya itu.

Mereka merasa dilangkahi dan didahului oleh Dodo, dan mereka merasa tertekan dan merasa dipaksa untuk menyetujui tindakan Dodo yang benar itu. Mereka merasa kehilangan muka.”

“Tetapi bukan maksud saya untuk…..”

“Ya, semua juga tahu bahwa bukan maksud Dodo untuk mempermalukan mereka, tetapi, ya, mereka akan mempersulit pengangkatan guru-guru yang sudah diberi kursus itu.”

“Tetapi mereka bersedia bekerja dengan sukarela, demi perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan kemerdekaan,” kataku kemudian.

“Ya, itu ‘kan cita-cita ideal Dodo,” bantahnya sambil tertawa. “Meraka ‘kan harus makan.

Mungkin di antaranya ada yang sudah mempunyai keluarga, mempunyai istri dan anak.”

Aku termenung, hatiku membenarkan pendapatnya.

“Ada jalan keluar…..” katanya seperti yang ragu-ragu.

“Bagaimana, Kang?” tanyaku tak sabar.

“Dodo harus dipisahkan dari guru-guru itu agar pihak atasan tidak merasa kehilangan muka,

sehingga bebas untuk mengangkat mereka menjadi pegawai. Jadi proyek yang diselenggarakan oleh Dodo itu akan diambil alih dan diakui sebagai proyek atasan kita. Kursus itu akan diresmikan oleh Pemerintah, seolah-olah didirikan oleh mereka. Nanti Pemerintah akan membiayai penyelenggaraan kursus itu dan akan membayar honor guru-gurunya yang akan didatangkan dari Sumedang. Lalu calon guru itu akan segera diangkat.”

“Jadi, saya harus meninggalkan mereka dan harus pindah meninggalkan jabatan saya?” tanyaku cemas.

“Ya….., begitulah” jawabnya sambil menatapku.

Aku terdiam sejenak. Merenung. Di kepalaku bersimpang siur pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa kupecahkan.

Perlahan-lahan, tetapi dengan penuh keyakinan, aku berkata, “Baiklah, saya akan menerima keputusan ini, demi masa depan guru-guru muda itu…..”

“Bagus!” katanya gembira. “Tapi…..,” kataku terputus.

“Tapi apa, Do?” tanyanya.

“Saya ada permohonan.”

“Apa? Katakanlah!”

“Saya dan keluarga telah mengembara ke sana kemari dalam mengabdi kepada Pemerintah, sejak diangkat menjadi guru bantu sampai menjadi Mantri Guru, Pada saat-saat mengakhiri tugas saya menjelang masa pensiun, saya dan teman-teman saya berusaha saling bertukar tempat bertugas, sehingga saya dan teman-teman bisa ditempatkan di tanah kelahiran masing-masing, dengan harapan tidak akan dipindahkan lagi sampai masa pensiun kami. Dan permohonan saya…..”

“Apa? Katakanlah!”

“Jika saya diharuskan pindah, janganlah saya dipindahkan ke tempat yang terlalu jauh dari Darmaraja, agar keluarga saya tidak usah ikut pindah-pindah lagi…..”

Cuma itu permintaan Dodo?” tanyanya menyela sambil tersenyum.

“Ya…..,” jawabku harap-harap cemas.

“Baiklah,” katanya sambil menyodorkan sebuah amplop, “terimalah surat keputusan pindah ini.”

Amplop kuterima dan sambil berdebar-debar segera kubuka. Kubaca…..

Aku tak percaya kepada mataku. Kubaca sekali lagi…..

Kualihkan pandanganku kepada Kepala Inspeksi P.P. dan K. Kabupaten Sumedang, Kang Oemar, yang kakak kelasku di Normaalschool Garut dulu itu. Ia memandangku sambil tersenyum….. Setitik demi setitik butir-butir air mata mulai membasahi pipiku…..

Dengan tak sadar kupeluk Kang Oemar…..

Ternyata aku diangkat menjadi Penilik Pendidikan Masjarakat Kawedanan Darmaraja. Jadi aku diberi jabatan baru dengan dinaikkan pangkat, tetapi tidak meninggalkan Darmaraja. Aku dipisahkan jauh-jauh dari guru-guru muda yang kuperjuangkan untuk diangkat jadi pegawai, tetapi masih tetap dekat dengan mereka.

Ah, cita-citaku sejak di Normaalschool Garut dulu, yaitu ingin berjuang untuk mencapai dan mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai pemberantas buta huruf rakyat Indonesia, di tanah kelahiranku, sudah menjadi kenyataan. Kini aku akam menjawab tantangan Meneer van der

Knap, Direktur Normaalschool Garut dulu, yang mengatakan “,…..mana mungkin bangsa

Indonesia bisa merdeka bila 90% rakyatnya masih buta huruf…..!”

Kini aku diangkat menjadi Penilik Pendidikan Masjarakat yang menjadi ujung tombak

Pemerintah dalam memberantas buta huruf.

“Ya Allah, aku mengucapkan syukur atas karunia-Mu ini……”

P E N D ID I K A N M A S YA R A K A T

1. D a r m a r a j a

Djawatan Pendidikan Masjarakat, yang termasuk Kementerian Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan Republik Indonesia, dikepalai oleh M. Sadarjoen Siswomartojo, berpusat di Jalan Cikini Raya, Jakarta. Di tingkat propinsi terdapat Kantor Inspeksi Pendidikan Masjarakat Propinsi yang dikepalai oleh Kepala Inspeksi Pendidikan Masjarakt Propinsi, di tingkat kabupaten terdapat Kantor Inspeksi Pendidikan Masjarakat Kabupaten yang dikepalai oleh Kepala Inspeksi Pendidikan Masjarakat Kabupaten, dan di tingkat kawedanan terdapat Kantor Penilik Pendidikan Masjarakat yang dikepalai oleh Penilik Pendidikan Masjarakat. Di tingkat kecamatan terdapat Panitia Pendidikan Masjarakat Kecamatan yang diketuai oleh Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk, dan di tingkat desa terdapat Panitia Pendidikan Masja-rakat Desa yang diketuai oleh Kepala Desa setempat atau pejabat setempat yang ditunjuk.

Pada Kantor Penmas Kawedanan Darmaraja ditempatkan tiga orang pegawai, yaitu aku sendiri sebagai Penilik Penmas, Tahir sebagai pegawai tata usaha, dan Adi sebagai pesuruh. Karena belum ada dana untuk membuat bangunan kantor, untuk sementara kami bertiga bekerja di ruangan tamu rumah panggungku, selang tiga rumah dari jalan raya. Setelah beberapa bulan kemudian, kami menyewa sebuah rumah penduduk yang terletak di pinggir jalan raya.

Sebagai sebuah jawatan baru, kami dihadapkan kepada program-program Pemerintah yang masih asing bagi kami. Secara garis besarnya Djawatan Pendidikan Masjarkat, sebagai bagian dari Kementerian Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan, jangkauan kerjanya lebih luas daripada Djawatan Pendidikan dan Pengadjaran, yang hanya membawahi sekolah-sekolah. Garis besar rencana Djawatan Penmas, selain tugas utama memberantas buta huruf terhadap rakyat yang berusia sepuluh tahun sampai dengan lima puluh tahun, juga mengelola para pemuda dan pemudi yang tidak bersekolah secara formal. Para pemuda dibina dalam bidang olah raga dan kepramukaan, sedangkan para pemudi dibina dalam bidang olah raga, kerajinan tangan, masakmemasak, dan sulam-menyulam. Para pemuda dibina oleh panitia yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Cibogo, kakak-iparku Kang Wikanta, para pemudi dipimpin oleh istriku dibantu oleh istri-istri kepala instansi yang terkait, sedangkan kepramukaan dipimpin oleh dua orang guru S.D. yang telah mendapat latihan kepramukaan di Sumedang.

Di samping itu masyarakat dibimbing untuk memelihara ‘warung hidup’ (menanam bahan

makanan seperti: tomat, cabai, tanaman bumbu, dan lain-lain) di halaman rumahnya. Juga

dianjurkan untuk memelihara ‘apotik hidup’ (menanam tanaman obat, seperti: handeuleum, tapak dara, sirih, dan lain-lain) di halaman rumahnya. Karena halaman rumahku luas, halaman rumahku dijadikan proyek contoh ‘warung hidup’ dan ‘apotik hidup ‘ tersebut. Pada setiap perayaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus, hasil kerajinan tangan, hasil ‘warung hidup’, dan hasil ‘apotik hidup’ tersebut dipamerkan dalam pameran di pendopo Kawedanan Darmaraja.

Dengan kegiatan yang luas ini, aku yang biasanya hanya bergelut dengan sekolah, guru, dan murid, sekarang berkecimpung di masyarakat luas. Wilayahku merupakan wilayah yang luas, meliputi wilayah kawedanan Darmarja, yang di sebelah utara dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, di sebelah selatn berbatasan dengan Kabupaten Garut, dan di sebelah barat berbatasan dengn Kawedanan Sumedang Kota. Sebagian dari daerah ini masih ada yang dikuasai oleh gerombolan DI/TII, sehingga jika mengadakan kunjungan kerja ke daerah yang berbahaya ini, beberapa jawatan yaitu: Pemerintah Daerah, Djawatan Penerangan, Djawatan Kesehatan, Djawatan Pendidikan dan Pengajaran, Djawatan Penmas, dan lain-lain,

mengadakan kunjungan kerja bersama dengan pengawalan Polisi dan Tentara.

Pernah kami dari beberapa instansi mengunjungi Desa Cimungkal, yaitu desa yang berbatasan dengan kabupaten Majalengka. Setelah menyelesaikan tugas kami masing-masing, kami mengadakan rekreasi dengan acara ‘marak’, yaitu menangkap ikan di sungai yang sedang surut airnya dengan cara membendungnya, sehingga sungai itu menjadi kering, sedangkan airnya dibelokkan ke arah lain. Semua orang turun ke sungai dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja. Kami mendapat ikan banyak.

Tiba-tiba ketika kami asyik menangkap ikan, ada pengawal yang memberi laporan bahwa

gerombolan DI/TII sedang menuju ke tempat kami. Segera kami mempersiapkan diri untuk meninggalkan tempat itu. Ketika kami akan berpakaian ternyata pakaian kami telah diamankan terlebih dulu oleh para pengawal kami dan dibawa ke tempat kami manginap. Dengan demikian kami terpaksa berjalan sejauh lebih kurang satu kilometer hanya berpakaian dalam saja dalam cuaca panas terik dan berangin kencang, tanpa sepatu pula. Akibatnya sesampai di rumah, aku jatuh sakit agak parah. Istriku dan kakakku, Nji Antria, membawaku ke Rumah Sakit Umum Sumedang dan selanjutnya aku mendapat pemeriksaan intensif di Laboratorium Paru-Paru di Jalan Cibadak, Bandung.

Aku bukan perokok, tetapi selama ini kadang-kadang aku merokok hanya sekedar basa-basi saja, misalnya kalau ada tamu. Celakanya, kalau tamu itu sudah pulang, daripada rokok itu dibuang, terpaksa kuhabiskan. Sebagai hasil pemotretan Rontgen, aku dinyatakan positif menderita sakit paru-paru. Setelah itu aku memutuskan tidak akan merokok lagi dan berhenti merokok secara total. Alhamduli’llah sejak itu paru-paruku tidak pernah sakit lagi.

Dalam waktu tertentu Kantor Penmas Darmaraja dikirim brosur-brosur, koran-koran, majalahmajalah dinas, dan majalah-majalah umum, sebagai bahan informasi kepada masyarakat. Juga kami diberi inventaris sebuah fototoestel untuk mengabadikan kegiatan-kegiatan masyarakat.

Program kerja yang paling dominan bagi Djawatan Penmas adalah pemberantasan buta huruf.

Penilik Penmas merupakan ujung tombak Pemerintah dalam pemberantasan buta huruf ini dengan dibantu oleh Panitia Penmas di kecamatan dan di desa.

Sejenak aku teringat kembali kepada tantangan Meneer van der Knap, Direktur Normaalschool di Garut dulu, “….. mana mungkin bangsa Indonesia bisa merdeka bila 90% rakyatnya masih buta huruf…..”

Dengan membusungkan dada tantangannya ini, insya Allah, akan kujawab.

Persoalan ‘non’ dan ‘ko’ sudah tidak menjadi masalah lagi. Baik golongan ‘non’ maupun golongan ‘ko’ diterima dengan baik oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pelimpahan dari Negara Indonesia Serikat, yang dulunya terdiri atas Negara ‘boneka’ Pasundan dan Republik Indonesia yang waktu itu dipimpin oleh Pejabat Presiden Mr. Assaat di Yogyakarta.

Keempat puluh calon guru yang pernah kuangkat menjadi guru darurat ketika aku masih

menjabat Koordinator Pendidikan pada Pemerintah Militer Republik Indonesia, sekarang sudah resmi diangkat menjadi guru Sekolah Dasar pada Pemerintah Republik Indonesia. Kini dalam tugas sehari-hari mereka jauh daripadaku karena jawatannya berlainan, mereka bertugas di sekolah masing-masing, sedangkan aku di Kantor Penmas, tetapi dalam tugas-tugas tertentu yang ada kaitannya, mereka tetap bekerja sama membantuku, bahkan mereka tetap menganggap aku sebagai ‘bapak’nya.

Dalam hubungan kekeluargaan, di antara guru-guru tadi ada yang punya cerita sendiri. Salah seorang di antaranya, Mardi, datang ke rumahku.

“Pak,” katanya dengan nada terharu, “pada hari ini saya pertama kali mendapat gaji resmi dari Pemerintah. Saya selalu teringat, bahwa saya menjadi guru ini adalah karena jasa Bapak pribadi dengan melalui prosedur yang berbelit-belit, sehingga pada waktu itu sangat memahayakan kedudukan Bapak sendiri. Karena itu, saya tidak merasa berhak atas gaji saya ini dan sekarang gaji ini saya serahkan kepada Bapak, selanjutnya berapa yang akan Bapak berikan kepada saya sebagai gaji saya, terserah Bapak.”

Ia memberikan amplop yang berisi gajinya.

Sejenak aku tertegun. Terharu.

Ketika sudah tenang, aku berkata, “Adalah kewajiban saya untuk menolong sesama, karena pada waktu itu saya mempunyai wewenang untuk melakukan hal itu, lebih-lebih lagi hal ini terjadi pada masa revolusi, masa perjuanganm untuk kemenangan revolusi Indonesia. Gaji ini adalah hak Mardi. Terimalah!”

“Tidak, Pak,” bantahnya, “Bapak harus menerima ini sebagai tanda terima kasih saya.”

“Tidak!” kataku menegaskan sambil mengembalikan amplop itu kepadanya, “Gaji ini adalah hak Mardi sebagai pegawai negeri.”

Ia menerima amplop itu, tetapi segera mendorongkannya kembali kepadaku di atas meja di depanku sambil berkata, “Pak, saya merelakan memberi uang ini kepada Bapak. Terimalah, Pak!

Setidak-tidaknya untuk bulan ini saja, karena ini merupakan gaji saya yang pertama.”

Setelah aku merenung sebentar, kuterima juga uang itu sambil berkata, “Baiklah, uang ini saya terima.”

“Terima kasih, Pak, atas kesediaan Bapak menerima uang ini,” katanya dengan nada gembira.

“Mardi sudah berkeluarga,” tanyaku.

“Sudah, Pak.”

“Berapa orang anak Mardi?”

“Dua orang, Pak.”

“Sudah kelas berapa?”

“Belum bersekolah, Pak, baru berumur empat dan dua tahun.”

“Nah sampaikanlah salam saya kepada kedua orang anak Mardi itu dan sampaikan pula pesan saya kepada istri Mardi, belilah pakaian dan makanan secukupnya untuk anak-anak yang dua orang itu dengan uang ini, agar anak-anak sehat,” kataku sambil memberikan amplop itu kepadanya.

“Bagaimana, Pak?” tanyanya kebingungan.

“Ya, sampaikanlah pesan saya itu kepada istri Mardi. Ayo, ambillah amplop ini! Ini adalah uang saya, jadi saya mempunyai kebebasan untuk mempergunakan uang ini untuk apa saja. Juga saya mempunyai kebebasn untuk memberikan uang ini kepada siapa saja. Sekarang uang ini saya hadiahkan kepada anak-anak Mardi.”

Mau tidak mau, ia mengambil amplop itu, meskipun dengan memperlihatkan sikap ragu-ragu menyesali keputusanku.

“Baiklah, saya terima uang ini, Pak, sebagai hadiah dari Bapak untuk anak-anak saya. Saya tidak akan melupakan budi baik Bapak,” katanya terharu. Setitik air mata bergulir ke pipinya.

Pada hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1953 Kosasih mengikuti Perlombaan

Mengarang yang diselenggarakan oleh Harian ‘Pikiran Rakjat’ dalam ruangan Remaja ‘Kuntum Mekar’ dan ia mendapat hadiah I. Karena Hari Kebangkitan Nasional ini jatuh bersamaan dengan Hari Ulang Tahun Kodam ‘Siliwangi’, para pemenang Perlombaan Mengarang, yang terdiri atas 25 orang remaja ini menjadi tamu Kodam ‘Siliwangi’ selama sehari sambil menikmati penerbangan Bandung (Andir) -Jakarta (Kemajoran) pergi-pulang dengan pesawat Dakota AURI.

Itulah untuk pertama kalinya Kosasih naik pesawat terbang.

Selama bersekolah di SMA, Kosasih sering berpindah-pindah indekos karena mencari tempat yang lebih dekat ke sekolah. Di tempat kakakku, Kang Adjep, ia hanya tinggal setahun saja. Pernah ia, karena kesalahannya sendiri, di Kosambi tertabrak truck militer ketika naik sepeda akan pergi ke sekolah. Aku menjenguknya ke Rumah Sakit Umum Rantjabadak sambil membawa kain kafan, kalau-kalau diperlukan. Alhamduli’llah, luka-lukanya tidak terlalu parah dan dalam tempo satu minggu sudah dapat bersekolah lagi.

Karena terlalu jauh ke sekolah, lalu ia pindah ke rumah Njimas Etoj, adik Njimas Enong, anak adik sepupuku, Njimas Aroem, yang tukang jagal itu, di Melong Kidul (Jalan Lengkong Besar). Njimas Etoj menjadi guru di Sekolah Dasar Lengkong Besar, sedangkan suaminya, Samsu, sedang mengikuti kursus pada Kursus Persamaan SGA. Setelah lulus ujian persamaan tersebut, mereka sekeluarga dipindahkan ke Purwakarta. Di kemudian hari, sebelum memasuki masa pensiun, Samsu menjabat Kepala Inspeksi Sekolah Dasar Propinsi Djawa Barat di Bandung.

Kosasih mencari tempat indekos baru. Setelah membaca iklan pada harian ‘Pikiran Rakjat’, Kosasih mencoba-coba mendatangi keluarga yang akan menerima indekos di Jalan Belimbing, tetapi karena di sana sudah banyak yang indekos, ia tidak jadi indekos di sana. Ternyata yang didatangi Kosasih itu adalah keluarga Bapak Soemantri, Kepala Inspeksi Penmas Propinsi Jawa Barat, atasanku. Karena ia menanyakan kepadaku, kenapa Kosasih tidak jadi indekos padanya, aku datang ke rumahnya untuk minta maaf kepadanya karena anakku tidak jadi indekos. Akhirnya Kosasih indekos pada Pak Padma, bekas gurunya di SMP Negeri Sumedang, yang pada waktu itu sudah menjadi Kepala Inspeksi Pendidikan Agama Kabupaten Bogor, tetapi keluarganya berdomisili di Gang Onong (Jalan Pagasih), Bandung.

Karena setahun kemudian sebagian rumah Pak Padma dikontrakkan, Kosasih memasang iklan pada harian ‘Pikirn Rakjat’ untuk mencari tempat indekos baru. Pak Otong, salah seorang gurunya pada SMA Negeri I Bandung, dan bekas gurunya pada SMP Negeri Sumedang, menerimanya indekos di rumahnya di Jalan Wayang, Bandung.

Pada tahun 1954 Kosasih lulus dari SMA Negeri I, Bandung, lalu melanjutkan kuliah dengan ikatan dinas pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Negeri di Jalan Dr.Setiabudi, Bandung, yang kebetulan dipimpin oleh Dekan M. Sadarjoen Siswomartojo, Kepala Djawatan Pendidikan Masjarakat Pusat.

Karena waktu menjelang kenaikan kelas ke kelas II di SMA Negeri I Bandung itu Kosasih sakit tipes selama dua bulan, ia tidak naik kelas, sehingga SMA-nya diselesaikan dalam waktu empat tahun sehingga tersusul oleh adiknya, Kuswara. Pada tahun yang sama Kuswara lulus dari SPG Negeri II, lalu diangkat menjadi guru pada SMP Negeri Bengkulu.

Setelah lulus SMA Kosasih pindah indekos pada Pak Sura, Camat pada kantor Pemerintah Kotapradja Bandung, di Jalan Buahbatu. Sementara itu anakku keempat, Kurniasari lulus SMP Negeri Sumedang dan melanjutkan ke

SGTK (Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak) di Bandung, bergabung dengan kakaknya, Kosasih, di Jalan Buahbatu.

Setahun kemudian mereka pindah indekos ke keluarga Aom Ogog di Jalan Liogenteng, yang ketika aku masuk Normaalschool di Garut pada tahun 1923 dulu, menjadi Patih Kabupaten Garut dan menjadi Ketua Panitia Penerimaan Murid Normaalxchool Garut, yang sudah menolongku untuk bisa mengikuti ujian masuk.

Ketika asrama PTPG Bandung mulai dibuka, Kosasih pindah ke asrama, sedangkan Kurniasari tetap pada keluarga Aom Ogog.

Selama menjadi mahasiswa PTPG Kosasih sudah tidak mendapat bantuan keuangan lagi

daripadaku, karena di samping mendapat uang ikatan dinas dari Pemerintah, ia juga mengajar pada beberapa SMP dan SMA swasta, juga bekerja sebagai korektor dan redaktur majalah remaja ‘Kuntum Mekar’ pada harian ‘Pikiran Rakjat’ Bandung.

Karena banyak aktivitas di kota, yang letaknya lebih kurang delapan kilometer dari Kampus PTPG, sehingga tidak bisa mengikuti peraturan-peraturan asrama, Kosasih keluar dari asrama dan pindah ke rumah Pak Sutarma di sekitar PTPG itu. Selanjut-nya karena ia merasa kuatir terhadap adiknya yang indekos sendiri di kota, maka ia pindah lagi ke kota, bergabung lagi dengan adiknya, menyewa rumah di Jalan Bojongloa, Bandung. Tidak lama kemudian pindah lagi menyewa rumah di Jalan Mohammad Toha, Bandung.

Anakku Kuswara tidak pernah pindah-pindah indekos. Selama tiga tahun bersekolah di SGA Negeri II di Jalan Citarum, ia tinggal pada kakakku, Kang Adjep, di Babakan Surabaya (Jalan Kiaracondong). Hubungan ke sekolahnya mudah, yaitu dari Babakan Surabaya jalan kaki sampai Binong, dari sana langsung naik bis kota sampai sekolahnya.

Penempatan anakku pada SMP Negeri Bengkulu ini tampaknya cocok dengan kepribadiannya yang suka bertualang. Ia indekos di rumah Kepala Kepolisian Kabupaten Bengkulu. Ia sering bertualang di laut mengikuti para nelayan. Memang di samping aku, di antara anak-anakku hanya ia sendiri yang bisa berenang.

Di kemudian hari, setelah ia lulus dari PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) Negeri di Palembang, diangkat menjadi Kepala SMP Negeri Tandjungsakti (Bengkulu).

Di sini ia bergaul lebih akrab lagi dengan penduduk, sampai-sampai ada orang tua murid yang menghadiahkan seekor kerbau kepadanya.

Sementara itu anakku kelima, Kurlinasih, sudah lulus dari SMP Negeri Sumedang dan

melanjutkan ke SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Puteri) di Bandung dan bergabung dengan Kosasih di Jalan Mohammad Toha.

Sebagai penghargaan atas jasa-jasaku selama revolusi kemerdekaan, aku diberi Surat Penghargaan dan diangkat menjadi anggota Tentara, berlaku surut terhitung mulai tanggal 25 Januari 1949. Surat Penghargaan tersebut kuterima dengan perasaan bangga, tetapi surat pengangkatan menjadi Tentara kukembalikan dengan alasan aku tidak sanggup untuk menjadi Tentara aktif dan pada waktu itu aku sudah mempunyai tugas di bidang lain. Selanjutnya dengan Surat Keputusan Markas Besar Angkatan Darat tanggal 13 Mei 1954 no. 70/Adjen/KPTS/54 aku didemobilisasikan.

Tahun 1955 diselenggarakan Pemilihan Umum. Sebagai hasil Pemilihan Umum ini aku diangkat menjadi Anggota DPRD Kabupaten Sumedang sebagai wakil dari PSI (Partai Sosialis Indonesia). Setelah aku mengikuti kegiatan-kegiatan sebagai wakil rakyat dalan keanggotaan DPRD Kabupaten Sumedang, hati kecilku mengatakan bahwa bidang ini bukanlah bidangku. Aku bukan manusia politik, melainkan manusia kerja. Akhirnya aku minta kepada Ketua Partai untuk mengundurkan diri dan diganti oleh anggota lain.

Pada tahun 1955 adik iparku, Mas Soma Soeria bin Mas Sastradiria, yang dilahirkan pada tahun 1918, meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Kapunduhan’, Sukaratu.

Seperti diketahui sejak aku pindah ke Darmaraja, aku sekeluarga tinggal bersama mertuaku di rumah panggung yang besar. Setelah sedikit demi sedikit menabung, akhirnya baru pada tahun 1958 aku mampu mendirikan rumah sendiri, terletak di pinggir jalan raya. Dalam hidupku ini ada sebuah doa dalam hatiku, yaitu bila aku harus mengawinkan anakku perempuan jangan kepada Tentara atau jangan kepada orang yang tidak sesuku. Alasannya mudah saja, yaitu aku takut kalau-kalau anakku dibawa pindah ke sana kemari kalau suaminya seorang Tentara, atau dibawa pindah ke tanah kelahirannya kalau kawin dengan orang yang tidak sesuku.

Pada tahun 1958 ini untuk pertama kali aku menikahkan anak, yaitu Kurniasari, kepada Sersan Mayor TNI/AU Anen Gunawan. Mereka bertemu ketika pada tahun 1955 diadakan Pemilihan Umum dan AURI menjaga keamanan penyelenggaraan Pemilu di Darmaraja, sedangkan anakku sendiri pada waktu itu masih menjadi murid SGTK (Sekolah Guru Taman Kanak-kanak) di Bandung.

Ternyata Tuhan tidak mengabulkan doaku, anakku kawin dengan seorang Tentara. Ini kuterima sebagai takdir Tuhan.

Di antara para tamu yang datang ke perkawinan anakku, terdapat Mardi, guru sukarelawan yang telah diangkat menjadi guru S.R. itu, yang datang dengan menuntun seekor kambing besar. Alhamduli’llah.

Setelah kawin, Kurniasari bersama suaminya tinggal di ‘Hotel Riau’ di Jalan Riau (sekarang: Jalan Laksamana Laut E. Martadinata), Bandung, kemudian pindah ke ‘Hotel Mutiara’ di Jalan Mutiara, Bandung.

Pada tahun 1958 ini Kosasih lulus sebagai Sarjana Muda Pendidikan dari PTPG Bandung.

Karena terlalu sibuk bekerja di luar, yaitu mengajar pada beberapa SMA swasta, merangkap bekerja sebagai korektor dan redaktur koran remaja ‘Kuntum Mekar’ pada harian ‘Pikiran Rakjat” Bandung, bersama Atang Ruswita, ia melalaikan tugas pokoknya, yaitu melanjutkan kuliah ke tingkat sarjana atau melapor kepada Pemerintah untuk diangkat menjadi guru Pemerintah sebagai penebus ikatan dinas yang diterimanya. Atang Ruswita sendiri sukses di lapangan media massa ini sehingga di kemudian hari ia menjadi Pemimpin Umm Harian ‘Pikiran Rakjat’ Bandung dan menjadi Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat.

Karena kesibukannya itu Kosasih jarang sekali pulang kampung. Pada suatu hari aku

mengunjunginya ke Bandung dan ketika aku akan pulang, kami berdua berjalan-jalan di Jalan Pangeran Sumedang (sekarang: Jalan Otto Iskandardinata). Ketika melalui sebuah toko kelontong milik orang India, yang di depannya dipasang pengumuman bahwa di situ bisa diramal nasib, jodoh, dan lain-lain, aku berkata kepada anakku, “Os, mau coba-coba lihat nasib?”

“Mau!” jawabnya spontan. Kami masuk. Ketika aku menanyakan masa depan anakku, orang India itu melihat telapak tangan kiri anakku,

lalu setelah termenung sebentar, ia berkata, “Saudara ini akan menikah dalam waktu dekat ini dan di kemudian hari akan bekerja di luar negeri.”

Mendengar jawaban orang India itu anakku menukas, “Ah, masa. Bagaimana bisa kawin dalam waktu dekat, pacar saja belum punya.”

“Benar, kok, kira-kira sebulan lagi,” jawab orang India itu dengan tenang.

“Sebulan lagi?” tanya anakku lagi, “lalu tentang kepergian ke luar negeri itu kapan.”

“Masih lama, tetapi pasti,” jawabnya lagi.

Setelah membayar menurut tarif yang tertulis di dinding, kami keluar.

“Os, ramalan itu harus dipikirkan juga,” kataku setelah berada di luar, “Aos harus melakukan persiapan-persiapan.”

“Ah, saya tidak begitu percaya,” jawab Kosasih. “Mustahil, pacar saja belum punya,”

“Ya, siapa tahu.” kataku lagi.

Karena mendapat teguran dari Kepala Urusan Mahasiswa PTPG Bandung, akhirnya Kosasih menguruskan penempatan tugasnya ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jalan Cilacap, Jakarta. Selama di Jakarta, ia menginap di rumah kemanakanku Karmini, anak Kang Adjep, yang bersuamikan Kapten TNI/AD Imam Suwendi di Kompleks Perumahan Perwira di Medan Merdeka Utara, Jakarta. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis Jakarta, Nanan Tresnaningsih, anak tiri kemanakanku itu, yang sebulan kemudian menjadi istrinya dan langsung diboyong ke Purworejo (Jawa Tengah) karena Kosasih, terhitung mulai tanggal 1 Maret 1959 diangkat menjadi guru SMA Negeri di Purworejo. Ternyata ramalan orang India itu menjadi kenyataan. Wallahu a`lam bi’ssawab.

Karena rumah sewaan di Jalan Mohammad Toha ditinggalkan oleh Kosasih, maka keluarga Kurniasari-Gunawan pindah dari ‘Hotel Mutiara’ ke rumah sewaan di Jalan Mohammad Toha itu untuk menemani Kurlinasih.

Pada tahun itu juga keluarga Kurniasari-Gunawan di Bandung dikaruniai anak pertama,

perempuan, diberi nama Anne Srijani, merupakan cucuku pertama. Sersan Mayor TNI/AU A. Gunawan bekerja pada AURI di Lanuma Husen Sastranegara, Bandung.

Pada awal tahun 1960 keluarga Kosasih-Nanan di Purworejo dianugerahi anak pertama, lakilaki, diberi nama Raden Tatang Raspati, merupakan cucuku kedua.

Keluarga Kurniasari-Gunawan di Bandung dianugerahi anak kedua, diberi nama Ruddy Sukmawan, merupakan cucuku ketiga.

Ketika pada tahun 1960 partai politik Masjumi (Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dibubarkan, aku menjadi orang yang ‘partijloos’ (tidak berpartai). Aku tidak berminat untuk memasuki partai politik yang lain.

Panitia Penmas di desa Cibogo kuserahan kepada kakak iparku, Kang Wikanta, yang pada waktu itu menjadi Kepala Sekolah Dasar di Cibogo. Kepadanya kuperingatkan bahwa kalau kita ingin berbakti kepada tanah kelahiran kita, sekaranglah waktunya. Aku mengharap kepadanya agar bersungguh-sungguh meningkatkan kursus Pemberantasan Buta Huruf di desa Cibogo.

Berkat kegigihan dalam tugasnya, akhirnya desa Cibogo dinobatkan sebagai ‘Desa Bebas Buta Huruf’ yang pertama untuk Kabupaten Sumedang. Peristiwa ini diliput dan diabadikan oleh para wartawan yang sengaja datang ke desa itu. Tidak lama setelah peristiwa itu, pada halaman depan ‘Madjalah Pendidikan Masjarakat’ yang diterbitkan oleh Djawatan Penmas Pusat di Jakarta, terpampang potretku yang sedang melakukan kegiatan pemberantasan buta huruf di desa Cibogo itu.

Sekali lagi aku mencoba menjawab tantangan Meneer van der Knap, Direktur Normaalschool di Garut dulu, “….. mana mungkin bangsa Indonesia bisa merdeka bila 90% rakyatnya masih buta huruf…..!”

Sekarang Indonesia sudah merdeka, tetapi aku masih punya hutang. Aku akan membuktikan bahwa pada suatu waktu seluruh bangsa Indonesia tidak buta huruf lagi.

Atas keberhasilannya ini Kang Wikanta diangkat menjadi Penilik Pendidikan Masjarakat

Kawedanan Darmaraja, menggantikan kedudukanku yang pada saat yang bersamaan aku

diangkat menjadi Kepala Inspeksi Pendidikan Masjarakat Kabupaten Pandeglang (Banten).

2. Pandeglang

Bersamaan dengan datangnya Surat Keputusan pengangkatanku menjadi Kepala Inspeksi

Pendidikan Masjarakat Kabupaten Pandeglang, aku dipanggil ke Bandung oleh Kepala Inspeksi Pendidikan Masjarakat Propinsi Djawa Barat.

“Kang,” kata Pak Soemantri setiba aku di kantornya, “sebelum Akang berangkat ke Pandeglang, saya ada beberapa pesan.”

“Insya Allah akan saya laksanakan pesan-pesan Bapak itu,” jawabku sungguh-sungguh.

“Akang harus tahu, mengapa Akang ditugaskan di sana. Itu karena saya tahu bahwa Akang tidak berpartai. Oleh karena itulah Akang ditempatkan di sana, sebab orang yang seperti Akanglah yang tepat untuk ditempatkan di sana.”

“Bolehkah saya mengetahui alasannya?” tanyaku penasaran.

“Saya berharap agar Djawatan Penmas di Pandeglang diduduki oleh orang yang bisa menjadi penengah dalam pertentangan partai-partai di sana. Akang harus tahu bahwa jabatan Kepala Inspeksi Penmas Pandeglang, terakhir ini kosong dan pejabatnya adalah Penilik Pendidikan Masjarakat Kota Pandelang, Suradjio, yang anggota Partindo. Dan harus Akang ketahui juga bahwa posisi penting dalam Djawatan Penmas Djawa Barat ini diduduki oleh orang-orang PNI, termasuk saya sendiri. Tugas Akang adalah mengendalikan Partindo atau partai apa saja agar jangan sampai berkuasa di Djawatan Penmas Pandeglang.” (‘Partindo’ adalah ‘Partai Indonesia Raja’ dan ‘PNI’ adalah ‘Partai Nasional Indonesia’.)

Sejenak aku tertegun mendengar pesan Pak Soemantri itu. Berat juga rasanya tugasku di luar dinas ini.

“Saya kira Akang akan sanggup melakukannya,” katanya lagi.

“Ya, saya siap melaksanakan pesan-pesan Bapak,” jawabku sungguh-sungguh.

“Terima kasih,” katanya, “O, ya, apakah Aceuk langsung dibawa ke Pandeglang sekarang?” (‘Aceuk’ berarti ‘kakak perempuan’ dan yang dimaksud oleh Pak Soemantri adalah istriku.)

“Maaf, baru sekarang saya akan melaporkan kepada Bapak, bahwa istri saya tidak bisa

mendampingi saya di Pandeglang karena ia harus menunggui ibunya yang sudah jompo di Darmaraja,” kataku.

“Tidak apa-apa, kalau memang maunya begitu. Kebetulan juga, kalau begitu. Setiap awal bulan,Akang saya beri tugas untuk datang ke Bandung memberi laporan lisan tentang perkembangan Penmas di Pandeglang, setelah itu Akang bisa langsung pulang ke Darmaraja.”

“Terima kasih, Pak,” jawabku gembira karena dengan demikian aku bisa pulang tiap bulan ke Darmaraja dengan mempergunakan fasilitas perjalanan dinas.

Ketika kami sedang berbicara, tiba-tiba ada salah seorang pegawai masuk dan bertanya, “Apakah ini Pak Dodo?”

“Betul,” jawab Pak Soemantri, “ada apa?”

“Ada pesan melalui tilpon dari Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten Lebak, bahwa jika Pak Dodo akan ke Pandeglang harus menemuinya dulu di Rangkasbitung. Katanya penting sekali.”

“Terima kasih,” jawabku.

“O, ya,” kata Pak Soemantri lagi, “Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten Lebak itu orangnya baik. Akang sudah kenal kepadanya?”

“Sudah, ia Iwa, adik kelas saya waktu di Normaalschool Garut dulu” jawabku.

“Bagus, ia juga orang PNI dan dapat dipercaya.”

Demikianlah percakapanku yang pertama sebagai Kepala Inspeksi Pendidikan Masjarakat

Pandeglang, dengan Pak Soemantri, atasanku.

Hari itu juga aku kembali ke Darmaraja untuk mempersiapkan kepindahanku ke Pandeglang.

Pada hari yang telah ditentukan aku berangkat ke Pandeglang seorang diri dengan menjinjing sebuah kopor. Dari Darmaraja aku naik bis ‘Gembira’ langsung ke Terminal Bis ‘Bungur’ di Jakarta. Dari sana naik bis yang menuju ke Rangkasbitung. Aku tidak langsung ke Pandeglang karena akan memenuhi pesan Iwa, Kepala Insspeksi Penmas Kabupaten Lebak, yang adik kelasku waktu di Normaalschool dulu, untuk mampir ke tempatnya.

“Selamat atas pengangkatan Akang jadi orang Pandeglang,” katanya menyambut kedatanganku di kantornya. “Malam ini menginap saja di sini, jangan langsung ke Pandeglang. Ada yang akan saya bicarakan dengan Akang.”

“Kok, rajin sekali, sudah lewat jam kerja masih di kantor?” tanyaku ketika kulihat jam tanganku menunjukkan pukul tiga sore.

“Bukan rajin, ini sih, ada acara istimewa, menyambut ‘Tamu Agung’ yang baru datang dari Bandung.”

“Terima kasih, Wa, atas sambutannya,” kataku, “biarlah Akang menginap semalam. Akang juga masih sono.”

“Tapi, saya tinggal di hotel sendirian, jadi tak akan ada yang menyambut di rumah.”

“Biarlah, kita sama-sama bujangan lagi,” jawabku sambil tertawa.

Kemudian kami pergi ke hotel tempat tinggalnya yang letaknya tidak jauh dari kantor.

“Ada baiknya Akang pergi besok,” kataku, “Akang akan datang kira-kira pukul setengah dua.

Akang ingin tahu siapa yang masih mempunyai disiplin mentaati jam kerja di sana.”

“Bagus, tetapi jangan terlalu kelihatan Akang akan menerapkan disiplin kerja yang kaku di sana. Kalau mereka tahu bahwa kita mengawasinya dengan ketat, mereka akan menjegal dan memusuhi kita. Ingatlah ini adalah daerah Banten, daerah keras!”

“O, ya, Wa, tolong ceritakan pengalaman Iwa selama bertugas di daerah Banten ini, biar Akang waspada.”

“Justru untuk itulah saya menyuruh Akang mampir dulu kemari sebelum ke Pandeglang. Saya akan menyampaikan beberapa pesan.”

“Terima kasih, Wa.”

“Begini, Pejabat Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten Pandeglang sampai saat ini adalah Suradjio, Penilik Penmas Kota Pandeglang. Ia sangat berpengaruh di Pandeglang, sampai-sampai Bupati bisa diaturnya. Memang ada dasarnya, ia orang kaya, punya mobil, punya bagan, punya perusahaan. Selain itu, ia bekas Tentara Pejuang dan sekarang menjadi anggota Partindo. Suatu kiat untuk hidup sukses di Banten adalah kita harus menunjukkan kepribadian kita. Cara yang pertama, kita boleh berkepribadian sebagai orang kuat, tetapi kekuatan kita harus seratus kali kekuatan mereka, sehingga kita bisa menguasai mereka secara fisik dan secara mental. Kita harus ingat bahwa di Banten ini banyak ‘jawara’ yang mempunyai kekuatan lahir dan batin, yang berani berkelahi mati-matian untuk mengalahkan lawannya. Usahakanlah agar mereka tunduk dan bertekuk lutut kepada kita. Barulah kita merasa aman.”

“Berat juga, ya,” keluhku.

“Tidak juga, sebab ada cara yang kedua, yaitu kita menunjukkan kesediaan kita untuk bekerja sama dan bersahabat. Kita tunjukkan kasih sayang kita kepada mereka, kita tunjukkan ketulusan hati kita bersahabat dengan mereka, sehingga dengan tidak disadarinya mereka akan menjadi sahabat dan sekaligus menjadi pelindung kita, dan siap berkurban untuk membela kita setiap saat. Itulah pesan pendek dari saya. Semoga Akang sukses di sana.”

Terima kasih, Wa, pesan Iwa ini akan Akang pegang teguh.”

“Ada satu hal lagi,” katanya sambil tersenyum, “karena Akang sekarang berpisah dengan Aceuk,

saya peringatkan, jangan sekali-kali Akang memberi hati atau bersikap terlalu ramah kepada wanita-wanita di sini. Bisa-bisa keramahtamahan kita disalahartikan oleh mereka, dan Akang akan tergelincir dan terperangkap, lalu Akang akan menjadi orang Banten untuk selama-lamanya dan melupakan tanah kelahiran. Maaf saja, Kang, saya memberi nasihat kepada yang lebih tua, yang tentunya lebih berpengalaman daripada saya. Biarlah, ya, demi untuk keselamatan Akang, bukan?”

“Sekali lagi, terima kasih, Wa, memang baru pertama kali ini Akang berpisah dengan Aceuk.”

Keesokan harinya aku berangkat ke Pandeglang sendirian, setelah menilpon Kantor Penmas Pandeglang mengatakan bahwa aku akan datang hari ini. Iwa sengaja tidak ikut mengantar, biar aku kelihatan tegar, berani datang sendiri. Aku sampai di kota Pandeglang, yang kata Iwa, kota Islami yang tidak punya gedung bioskop, pukul satu siang. Sengaja aku menunggu sebentar di terminal bis untuk menyesuaikan waktu agar tiba di kantor lebih kurang pukul dua kurang seperempat.

Ketika aku tiba di kantor ternyata hanya tinggal seorang pegawai, yaitu Sajuti, Kepala Tata Usaha. Dengan demikian ia sudah kuberi nilai seratus untuk presensi dalam konduitenya pada laporan yang akan datang.

“Selamat datang, Pak,” katanya menyambut kedatanganku. “Tadi Pak Suradjio dan pegawaipegawai lainnya menanti Bapak sampai pukul setengah dua. Karena Bapak belum datang juga, mereka pulang.”

“O, begitu,” kataku basa-basi. “Bagaimana hotel untuk saya sudah dipesan?”

“Sudah, Pak, di ‘Hotel Famili’, di jalan ini juga,” jawabnya. “Kalau Bapak sudah beristirahat, mari saya antarkan ke sana. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari sini, kita berjalan kaki saja. Ibu di mana, Pak?”

“Ibu tidak ikut, karena tidak bisa meninggalkan ibunya yang sudah jompo.”

“Di hotel juga banyak pegawai yang tinggal karena mereka tidak membawa keluarganya

kemari,” kata Sajuti lagi.

“Baiklah, sekarang antarkan saya ke hotel.”

Ternyata di ‘Hotel Famili’ itu tinggal juga Pak Mansjoer, Kepala Dinas Pekerdjaan Oemoem

Kabupaten Pandeglang yang berasal dari Bengkulu dan Pak Rohanda, Kepala Inspeksi Sekolah Dasar Kabupaten Pandeglang yang berasal dari Bandung. Mereka menyambut kedatanganku dan segera menjadi akrab denganku.

Penyambutan Pemerintah Kabupaten Pandeglang atas kedatanganku bersamaan dengan pertemuan bulanan di Pendopo Kabupaten.

Yang pertama berbicara adalah Suradjio sebagai Pejabat Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten Pandeglang, yang mengucapkan selamat datang kepadaku sebagai petugas baru. Dalam pidatonya, antara lain ia berkata, “Kita sambut kedatangan Pak Dodo sebagai Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten Pandeglang yang baru. Kami di sini sebagai anggota masyarakat Pandeglang akan menilai dan menguji Pak Dodo sebagai seorang pemimpin. Mudah-mudahan Pak Dodo akan kerasan di sini. Selamat datang!”

Meskipun dari obrolan dengan Iwa sudah ada bayangan bahwa aku akan mengalami hal-hal yang menyinggung perasaanku, tetapi mendengar pidato Suradjio itu terkejut juga aku, bagaikan mendengar petir di siang bolong. Ternyata begitu berani ia menantangku dengan terangterangan. Aku masih mencoba menahan diri.

Pembicara kedua adalah aku sendiri. Dalam pidatoku, mengulas pidato Suradjio, aku berkata, “Saya sebagai petugas baru mengucapkan terima kasih atas sambutan pejabat lama khususnya dan masyarakat Pandeglang umumnya terhadap kedatangan saya di Pandeglang ini. Saya bersedia dinilai dan diuji. Mudah-mudahan ujian saya ini lulus, tetapi andaikata ujian saya ini tidak lulus, saya bersedia kembali ke kampung halaman saya, Darmaraja, dengan menjinjing kopor yang saya bawa dari sana.”

Pembicara ketiga adalah Bupati Pandeglang yang mengucapkan selamat datang kepadaku dan mengucapkan selamat bekerja di wilayah kabupaten Pandeglang ini. Juga ditekankan agar Djawatan Penmas segera membebaskan buta huruf di kabupaten Pandeglang. Pidatonya diakhiri dengan petunjuk dan pengarahan terhadapku dan terhadap para pegawai yang hadir. Acara selesai lebih kurang pukul dua belas setelah diakhiri dengan acara ramah tamah.

Aku sudah masuk kantor secara resmi. Berkas yang pertama kali kuperiksa adalah berkas

keuangan. Secara dinas, status keuangan beres, yaitu jumlah uang seluruhnya, kuitansi-kuitnsi pengeluaran dan saldo uang, cocok. Yang menjadi perhatianku adalah dari sekian jumlah kuitansi pengeluaran, sebagian besar adalah bon pegawai yang harus ditagih kembali, sehingga biaya untuk keperluan kantor, tampaknya terabaikan. Jadi uang kantor itu dipinjam dulu oleh para pegawai, baru sisanya dipergunakan untuk keperluan dinas. Tentu saja hal ini tidak bisa berlanjut terus. Tetapi, aku juga tidak bisa sekaligus menegur secara mendadak kebijaksanaan pejabat lama dan para pegawai untuk tidak membuat bon kantor.

Untuk mengatasi keruwetan ini aku mengambil kebijaksanaan, yaitu, Suradjio sebagai Penilik Penmas Kota, diperbantukan untuk mengelola keuangan pada Kantor Inspeksi Penmas Kabupaten, di bawah pengawasanku. Aku yakin bahwa pengelolaan di tangannya akan aman, karena ia orang berpengaruh dan orang kaya. Sementara aku akan memasukkan ide-ide dan kebijaksanaanku dalam pengelolaan uang selanjutnya, secara perlahan-lahan. Dengan demikian, mudah-mudahan ia makin dekat kepadaku dan dengan demikian pula ia akan menjadi tangan kananku yang dapat kupercaya. Ternyata maksudku ini menjadi kenyataan. Tak jarang ia mempergunakan mobil pribadinya untuk keperluan dinas, bahkan untuk keperluan pribadiku. Tentang Suradjio ini, yang usianya jauh lebih muda daripadaku, aku sudah dapat membaca hatinya, ia sangat berambisi untuk menjadi Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten Pandeglang, setidak-tidaknya setelah masa jabatanku di Pandeglang berakhir. Untuk itu ia bekerja dengan giat dan bersaing dengan jujur terhadap saingan-saingannya, para Penilik Penmas sekabupaten Pandeglang. Terhadap atasan ia sangat loyal dan berusaha mencapai keberhasilan dalam mengerjakan tugasnya. Aku sangat mendukung segala usahanya ini.

Di samping itu ia sangat cerdik. Untuk menyelenggarakan kursus kerajinan tangan dan

ketrampilan ia mengambil para narapidana dari penjara untuk peserta kursusnya. Dengan

demikian hasilnya sangat baik karena para narapidana itu lebih dapat memusatkan perhatiannya daripada para peserta dari anggota masyarakat lainnya yang sudah sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari dalam mencari nafkah.

Untuk program peternakan ia minta izin kepada Bupati untuk memanfaatkan tanah kosong di halaman belakang gedung kabupaten yang dilalui sungai kecil.

Di sana ia bersama para napi menternakkan itik secara besar-besaran. Hasilnya, dapat penilaian baik sekali dari Bupati. Juga Ibu Bupati menilainya baik sekali, terutama karena tiap hari ada kiriman telur itik ke dapurnya.

Yang menjadi pemikiran bagiku adalah pesan Pak Soemantri, Kepala Djawatan Penmas

Propinsi yang aktivis PNI itu, aku harus menjaga agar Djawatan Penmas Pandeglang tidak dirongrong oleh pengaruh partai-partai, sedangkan Suradjio adalah orang Partindo. Sampai sejauh ini, kekuatiran Pak Soemantri belum terbukti.

Tentang kerasnya orang Banten, pernah kualami suatu peristiwa yang menyerempet-nyerempet bahaya. Pada suatu hari aku mendapat tilpon dari Penilik Olahraga Kawedanan Pandeglang Kota, Suparta, yang maksudnya minta bola sepak untuk keperluan latihan dalam lingkungan jawatannya. Aku menjawab, bahwa alat-alat olah raga dari Djawatan Penmas tidak bisa diberikan secara khusus kepada suatu instansi, melainkan diberikan kepada Panitia Penmas setempat, untuk kemudian dipergunakan oleh siapa saja, di bawah pengawasan Ketua Panitia tersebut. Mendengar penjelasanku, tiba-tiba ia marah, “Kalau memang tidak mau memberi, sudah saja jangan macam-macam, menyuruh bergabung dengan panitia setempat segala!” Lalu ia menutup tilpon dengan keras.

Hal tersebut kuceritakan kepada Sajuti.

“Bapak harus hati-hati, ia seorang ‘jawara’,” katanya serius. “Nanti kalau Bapak pulang saya antar.” Usia Sajuti hampir sama dengan usiaku.

Ketika jam menunjukkan pukul dua, Sajuti berkata kepadaku, “Lihat, Suparta sudah menunggu di seberang jalan. Mari kita pulang. Jangan melihat kepadanya. Kita pura-pura tidak tahu saja. Kepada saya ia tak akan berani macam-macam.” Aku belum kenal secara pribadi dengan Suparta.

Aku dan Sajuti berjalan berdampingan. Ketika sampai di depan hotel aku berbelok masuk

halaman hotel, sedangkan Sajuti melanjutkan perjalanan untuk kembali ke arah kantor lagi karena rumahnya berlawanan arah dengan jalan ke hotelku.

Dari hotel kulihat Suparta lewat di depan hotel sambil melirik ke arah hotel, lalu pergi lagi.

Keesokan harinya pukul setengah tujuh Sajuti sudah menanti di depan hotel untuk menjemputku pergi ke kantor. Suparta tidak kelihatan.

Hal ini berlangsung selama tiga hari berturu-turut. Suparta selalu menantiku di depan kantor dan mengikutiku. Demikian pula Sajuti selalu mengantarku pulang ke hotel dan keesokan harinya menjemputku dari hotel. Pada hari keempat Suparta tidak keli-hatan lagi di depan kantor, tetapi Sajuti masih tetap mengantarku pulang selama dua hari berikutnya. Barulah setelah itu Sajuti membiarkan aku pulang sendiri. Dan peristiwa antar jemput itu berakhir di situ.

Wilayah kabupaten Pandeglang yang menjadi wilayah kerjaku terbentang luas dengan dibatasi kabupaten Serang di sebelah utara, kabupaten Lebak di sebelah timur, pantai Samudera Hindia di sebelah selatan, dan Selat Sunda di sebelah barat.

Pada suatu waktu beberapa jawatan yang ada di Pandeglang merencanakan kunjungan selama dua hari ke daerah Saketi. Kunjungan ini dibiayai secara bergotong-royong oleh jawatan-jawatan yang mengikutinya. Djawatan Penmas kebagian mengeluarkan biaya untuk menyewa generator yang akan dipakai pertunjukan pemutaran film di sana, sedangkan proyektor dan filmnya disediakan oleh Djawatan Penerangan. Jawatan lainnya mandapat tugas masing-masing, di antaranya: menyediakan konsumsi, menyediakan akomodasi, menyediakan fasilitas kesehatan, dan lain-lain.

Ketika rombongan sudah sampai ke Saketi segera menyiapkan acara-acara yang sudah disusun.

Acara yang segera dapat dilaksanakan adalah pertandingan sepak bola antara para tamu dan penduduk setempat, bola voli, dan bulu tangkis. Aku dan pegawai-pegawaiku menyiapkan peralatan untuk pertunjukan film.

Sampai pukul lima sore, generator yang menjadi tanggung jawabku belum muncul juga. Aku menyuruh seorang petugas untuk melacak keberadaan generator tersebut. Dari petugas tersebut aku mendapat laporan bahwa mobil yang menggandeng generator itu mendapat kecelakaan yaitu generator itu terlepas gandengannya dan terjerumus ke dalam jurang sedalam lebih kurang tiga meter. Mendengar berita itu, aku dan beberapa orang pegawaiku dengan ditemani sekelompok Pramuka pergi ke lokasi kecelakaan yang jauhnya lebih kurang lima kilometer menjelang Saketi.

Setelah bersusah payah, dengan dibantu oleh masyarakat setempat, akhirnya generator itu dapat diangkat ke tepi jalan, lalu digandengkan lagi dan segera berangkat. Sampai di sana sudah pukul enam petang. Pemutaran film dimulai pukul tujuh malam dengan disambut oleh sorak-sorai lebih kurang seribu orang penonton yang sudah menanti-nanti sejak sore harinya. Entah apa jadinya andaikata generator itu tidak dapat diangkat. Pasti rakyat di sana sangat kecewa.

Pernah aku merencanakan pergi ke Cibaliung, daerah kawedanan paling selatan di daerah

Banten, bersama Pak Mansjoer dan Pak Rohanda, naik jip Pak Mansjoer. Ketika sampai ke sebuah sungai besar aku kaget karena jalan itu berakhir di sungai itu dan tidak ada jembatan untuk menyeberang.

“Pak Dodo jangan kaget,” kata Pak Mansjoer sambil tertawa memperhatikanku, “kita tidak akan berenang menyeberangi sungai ini.”

Benar saja, tidak lama kemudian dari seberang sungai itu datang sebuah rakit dan jip itu

dinaikkan ke atas rakit. Sesampai ke seberang kami mengendarai jip itu kembali. Tidak lama kemudian kulihat di tengah jalan banyak kayu batangan yang melintang dan jip berjalan perlahan-lahan di atas kayu-kayu yang melintang itu karena tanahnya berlumpur. Tiba-tiba jip terhenti, sedangkan mesinnya meraung-raung mengeluarkan tenaganya, tetapi jip itu tetap saja tidak bisa maju. Ketika diperiksa ternyata ban depan yang sebelah kiri amblas masuk ke dalam lumpur karena kayu yang menjadi landasannya telah hancur berantakan. Setelah berulang-ulang dicoba untuk maju, tetapi tidak berhasil saja, akhirnya jip dibawa mundur kembali, dan perjalanan kami dibatalkan. Kami kembali ke Pandeglang.

Pada tahun 1962 aku menikahkan anakku yang kelima, Kurlinasih, setelah ia lulus dari SGKP Sekolah Guru Kepandaian Puteri) di Bandung. Ia menikah di Darmaraja dengan Suhandoko, BA, sarjana muda pendidikan, lulusan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri Bandung. Suhandoko yang orang Surabaya ini adalah bekas gurunya pada waktu Kurlinasih bersekolah di SMP Negeri Sumedang dulu. Satu lagi doaku tidak dikabulkan Tuhan, yaitu anak perempuanku kawin dengan orang yang tidak sesuku. Akibatnya segera terasa, dua hari setelah pernikahannya, anakku diboyong ke Surabaya dan terus pindah ke sana karena Suhandoko minta dipindahkan menjadi guru SMA Negeri 5 di Surabaya.

Setahun kemudian keluarga Kurlinasih-Handoko ini dianugerahi anak pertama, perempauan, diberi nama Luki Handajani, merupakan cucuku keempat.

Untuk kedua kalinya kami merencanakan pergi ke Cibaliung. Sekali ini dengan jawatan lain dan perjalanan direncanakan melalui laut Selat Sunda. Rombongan kami terdiri atas duapuluh orang menaiki dua buah perahu motor.

Baru sekali ini aku berlayar di laut. Sungguh mengesankan. Sejauh-jauh mata memandang hanya air saja yang terlihat dan daratan sudah tidak kelihatan lagi. Memang ketika aku menjadi guru di Jakarta sering memancing di laut, tetapi itu hanya di dermaga saja, meskipun jauh menjorok ke laut. Diam-diam perasaanku agak ngeri juga.

Sementara itu air laut kelihatan indah, kadang-kadang menguning kadang-kadang menghijau. Rupanya air laut yang bening itu terpengaruh oleh rumput-rumput yang tumbuh di dalam laut. Perahu motor kami berlomba-lomba dahulu-mendahului. Bila salah satu perahu motor dapat mendahului yang lain penumpangnya bersorak-sorak mengejek perahu motor yang dilaluinya, sedangkan penumpang perahu motor yang dilaluinya basah kuyup kena semburan air dari perahu motor yang mendahuluinya.

Tiba-tiba kegembiraan kami terhenti karena terkejut dengan terhentinya perahu motor yang kutumpangi disebabkan mesinnya mogok. Jurumudinya dengan dibantu seorang Tentara mencoba memperbaiki mesinnya, tetapi lama tidak berhasil, sedangkan perahu motor yang satu lagi sudah jauh meninggalkan kami. Semua penumpang mulai panik. Betapa tidak, perahu motor mulai oleng, dibantingkan ombak ke sana kemari dan makin ke tengah laut. Air laut mulai pasang, angin mulai bertiup kencang. Air laut sudah mulai memasuki perahu. Segera kami membuang air itu kembali ke laut. Setelah itu semua penumpang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya terdiam pasrah. Hanya jurumudi dan Tentara itulah yang terus berusaha untuk menghidupkan mesin.

Dengan tidak terasa meneteslah butir-butir air mata dari sudut mataku. Tiba-tiba saja aku jadi teringat istriku di rumah, “Oh, Mih, engkau tidak tahu bahwa suamimu sedang ada di laut di ambang pintu kecelakaan. Doamu kuharapkan, Mih….., Ya Allah, iyya ka na’budu wa iyya ka nasta’in, hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku minta pertolongan. Dan hanya Engkau juga yang bisa menyelamatkanku.”

Hatiku bertambah ngeri ketika teringat bahwa sebulan yang lalu rombongan mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) mengalami kecelakaan di laut seperti ini, yaitu perahu motornya mogok, lalu perahunya terbalik dibantingkan ombak. Hanya dua orang yang bisa menyelamatkan diri. Di antara anggota rombongan yang hilang adalah Ir. Abidin, teman anakku, Kosasih. Tiba-tiba terdengar bisikan dalam hatiku, “Dodo, jangan putus asa. Berusahalah!”

O, ya, tiba-tiba aku tersadar. Bukankah aku ini orang Ciwa-ngi yang pada masa kanak-kanakku selalu bermain di Sungai Cimanuk, yang dengan mudah dapat menyeberangi Sungai Cimanuk, sewaktu banjir sekalipun, hanya dengan berpegangan pada sebatang bambu saja? Bukankah aku sudah lulus ujian berenang 100 meter wwktu aku menjadi murid Normaalschool di Garut dulu? Meskipun pantai tidak kelihatan, aku yakin bahwa kami tidak terlalu jauh dari daratan, karena jalur perjalanan kami adalah menyusuri pantai Selat Sunda dari utara ke selatan, sehingga dengan pertolongan benda yang terapung di air, aku akan mampu berenang lebih dari satu kilometer untuk mencapai daratan. Tetapi….., bagaimanakah kalau aku diseret ombak ke tengah lautan dan makin jauh dari daratan? Entahlah…..

Aku memperhatikan keadaan sekelilingku. Dalam perahu itu terdapat beberapa batang bambu. Ini dapat kupergunakan nanti. Aku mulai membuka sepatuku. Kancing bajuku sudah kulepas juga, agar bila perlu, bajuku dapat cepat kulepas.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh dua kali tembakan pistol. Tentara yang melihat bahwa jurumudi sudah berputus asa tidak bisa menjalankan kembali mesin perahu itu melepaskan tembakan ke udara. Ternyata bunyi tembakan pistol itu terdengar oleh perahu di depan kami, karena tidak berapa lama kulihat mereka kembali untuk menjemput kami.

Ketika perahu itu sudah dekat, jurumudinya melemparkan tambang besar untuk menarik perahu kami. Tiba-tiba gelombang besar menghempaskan perahu kami sehingga tambang itu putus. Kemudian dari perahu kami dilemparkkan pula tambang besar semacam itu, sehingga perahu kami dapat ditarik kembali. Tidak lama setelah perahu kami ditarik, motor perahu kami hidup lagi dan tambang pengikat dilepas kembali. Perjalanan kami dilanjutkan….. Para penumpang menarik nafas lega. Ah, bagaimana jadinya bila kami hanya mempergunakan sebuah perahu motor saja…..? Atau, bagaimana bila Tentara itu berada dalam perahu yang satu lagi, sehingga tidak bisa memberi tanda bahaya dengan tembakan pistolnya itu…..? Hanya Allah yang mahatahu.

Seperti sudah direncanakan sesuai dengan permintaan Kepala Inspeksi Penmas Propinsi Djawa Barat, Pak Soemantri, tiap bulan aku datang ke Bandung untuk menyampaikan laporan lisan tentang keadaan Penmas di Pandeglang, selanjutnya aku pulang ke Darmaraja. Aku berusaha untuk memberi laporan sejujurnya mengenai keadaan politik di Pandeglang. Tentang Suradjio aku menceritakan apa adanya. Pak Sumantri kelihatan puas.

Suatu ketika, waktu aku akan pulang ke Darmaraja, di pasar Sumedang aku bertemu dengan Kang Oemar, yang kakak kelasku di Normaalschool Garut itu, yang Syodancho Peta itu, yang rumahnya kutinggali ketika aku mengungsi di Sumedang itu. Ia masih Kepala Inspeksi PP dan K Kabupaten Sumedang.

“Bagaimana tugas di Pandeglang, menyenangkan?” tanyanya.

“Alhamdulillah, Kang,” jawabku, “hanya, yah, saya harus ekstra hati-hati menghadapi ‘jawarajawara’ Banten.”

“Memang harus hati-hati. Orang-orang Banten keras-keras, ya?”

“Ya, begitulah, tetapi tidak semuanya begitu.”

“Dodo percaya tidak kepada ‘susuk’?” tanya Kang Oemar tiba-tiba.

“Percaya tidak percaya,” jawabku, “karena saya belum pernah membuktikannya.”

“Mari kita ke sana,” ajak Kang Oemar sambil menunjuk ke kerumunan orang yang mengelilingi

seorang laki-laki tua yang berpakaian serba hitam duduk di atas tikar. Ternyata orang itu sedang berpidato mengenai ‘susuk’ yang dijualnya. “Mau pakai?” tanya Kang Oemar sambil memandangku. “Akang sendiri sudah pakai. Untuk yang bekerja di daerah keras perlu juga untuk jaga diri.”

“Bolehlah,” jawabku.

Aku berjongkok berhadapan dengan orang yang duduk di atas tikar itu.

“Bapak bekerja di mana?” tanyanya.

“Di Pandeglang,” jawabku.

“O, kebetulan, saya juga orang Banten, dari Cibaliung,” katanya lagi. “Memang untuk bekerja dengan tenang di sana Bapak sebaiknya pakai ‘susuk’ untuk menangkal para ‘jawara’ di sana.”

Ia mengeluarkan sebatang logam sebesar lidi sepanjang lebih kurang satu sentimeter, katanya emas. Logam itu digoreskan dan ditancapkan ke keningku sambil mngucapkan mantera, Terasa sedikit perih. Kemudian ia mengusap-usap dan menekan-nekan keningku.

Aku sendiri mengusap-usap keningku kalau-kalau terluka. Ternyata tidak apa-apa.

Setelah aku membayar menurut permintaannya, aku dan Kang Oemar berjalan lagi. Kang Oemar terus pulang, sedangkan aku menuju garasi bis ‘Perintis’ yang akan bertolak ke Darmaraja.

Sebulan kemudian cobaan ‘susuk’ ini terjadi. Ketika itu aku akan naik bis ‘Gembira’ di terminal bis di sebelah selatan stasiun kereta api Bandung.

Penumpang yang akan turun di Bandung kelihatan sudah siap di pintu bis untuk turun.

Penumpang baru yang akan menuju ke Darmaraja atau Sumedang sudah berkerumun di pintu masuk. Terjadilah desak-mendesak antara penumpang yang akan turun dan penumpang yang akan naik. Ada seorang penumpang yang gemuk mendesak turun dengan paksa sehingga bajunya terkait pintu bis sampai sobek. Ia membalikkan badannya dan marah-marah kepada penumpang yang akan masuk bis. Terjadilah kekacauan. Ketika aku sudah duduk, aku disodori kopiah oleh salah seorang penumpang sambil berkata, “Ini kopiahnya, Pak, tadi terjatuh. Bapak sendiri tidak apa-apa?” “Ada apa, sih?” tanyaku sambil menerima kopiahku dan mengatakan terima kasih.

“Tadi waktu berdesakan di pintu bis ada orang yang sobek bajunya, lalu ia memukul kepala Bapak sampai kopiah Bapak terjatuh,” jawab salah seorang penumpang. “O, itu ada darahnya, kening Bapak terluka.”

“O, begitu?” kataku terheran-heran sambil mengusap darah di keningku, “Kok, saya tidak merasa apa-apa.”

“Ada apa? Ada apa?” tanya seseorang yang baru masuk ke dalam bis ketika ia melihat aku dikerumuni orang. Ternyata ia Kapten Kasmoedi yang akan pulang ke Wado. Pada waktu dibentuk Pemerintahan Militer R.I. sebagai tandingan terhadap Negara ‘boneka’ Pasundan, Kapten Kasmoedi, yang waktu itu masih Letnan, adalah Komandan ODM (Onder District Militair) di kecamatan Wado. Sekarang ia sudah purnawirawan.

“O, Pak Dodo! Ada apa?” katanya kemudian setelah ia melihat bahwa orang yang dikerumuni orang-orang itu dikenalnya.

“Bapak ini dipukul orang ketika berdesak-desakan di pintu masuk,” kata seseorang, “sampai keningnya berdarah.”

“Mana orangnya?” teriak Kapten Kasmoedi sambil turun kembali dari bis dan mencari-cari orang itu, tetapi orang itu sudah tidak ada.

“Pak Dodo tidak apa-apa?” tanya Kapten Kasmoedi ketika kembali ke dalam bis.

“Tidak,” jawabku.

Setelah itu Kapten Kasmoedi duduk dibagian belakang dalam bis itu.

Aku jadi tidak habis pikir, kenapa ada orang memukul kepalaku sampai keningku berdarah tidak terasa sama sekali. Apakah ini karena pengaruh ‘susuk’ itu? Wallahu a`lam bissawab.

Pada suatu awal bulan aku mendapat tawaran dari Suradjio untuk bersama sama pergi ke Bandung naik mobilnya, karena kebetulan ia ada perlu ke Bandung. Aku ikut menumpang sampai ke Bandung.

“Bapak tidak akan terus ke Sumedang?” tanyanya setiba di Bandung. “Kebetulan saya ada keperluan ke Sumedang.”

“Tidak,” jawabku, “saya ada keperluan dulu di Bandung.”

Memang sebenarnya, aku aka keperluan di Bandung. aku harus memberi laporan lisan kepada Pak Soemantri.

“Saya sudah merencanakan mutasi beberapa orang pegawai di lingkungan Penmas.” kata Pak Soemantri sesampai aku di kantor-nya.

“Siapa saja yang kena mutasi, Pak?” tanyaku ingin tahu.

“Banyak,” jawabnya, “di antaranya Akang sendiri dimutasikan ke Kantor Pusat di Jakarta.

Pandeglang akan diisi oleh orang kuat PNI dari Tangerang, Suradjio akan diangkat ke

Tangerang, Sumedang yang kosong karena dipensiun, akan diisi oleh Penilik dari Leuwimunding yang diangkat jadi Kepala Inspeksi Kabupaten.”

“Apakah ini sudah pasti, Pak?” tanyaku.

“Ya, belum 100% tetapi sudah mendekati kepastian. Ada apa?”

“Tadi pagi saya bersama-sama dengan Suradjio sampai Bandung, lalu ia melanjutkan

perjalanannya ke Sumedang. apakah ada kaitannya dengan kekosongan Penmas di Sumedang?” tanyaku.

“Kita tunggu saja perkembangannya. Bagaimana sepak terjang Suradjio pada saat terakhir ini?”

“Baik, Pak, baik sekali,” jawabku sejujurnya.

“Dalam waktu dekat ini saya akan mengadakan pemantauan dan penilaian terhadapnya.”

“Bolehkah saya memberitahukannya tentang akan diadakan pemantauan ini?” tanyaku.

“Boleh saja,” jawab Pak Soemantri.

Hari itu juga aku melanjutkan perjalanan ke Darmaraja untuk menjenguk istriku. Selama dalam perjalanan dan selama di Darmaraja aku selalu merenungkan rencana pengangkatanku ke Kantor Pusat di Jakarta. Aku merasa bingung. Betapa tidak. Aku akan bekerja dengan orang-orang Pusat yang belum kuketahui sifat-sifatnya, sedangkan aku akan datang sebagai orang dari ‘bawah’ dan dari ‘udik’. Mungkin juga di antara mereka ada yang datang dari daerah yang belum kukenal adat istiadatnya. Sudah dapat dipastikan mereka berasal dari bermacam-macam latar belakang pendidikan, yang berbeda dengan latar belakang pendidikanku sendiri. Kubayangkan bahwa aku akan canggung bergaul dengan mereka. Bila mereka merupakan generasi di atasku, sudah dapat dipastikan mereka akan fasih berbahasa Belanda, sedangkan bila mereka dari
generasi di bawahku meraka akan fasih berbahasa Inggris, sedangkan aku tidak mendapat pelajaran kedua bahasa asing itu di sekolahku dulu. Di samping itu aku akan berpisah terus dengan istriku dan aku akan hidup di kota besar yang lain keadaannya dibandingkan dengan kota kecil seperti Pandeglang atau seperti kota Betawi dulu. Setelah kupikir masak-masak, aku memutuskan akan menolak rencana pengangkatanku itu.

Kalau diizinkan aku akan memilih Sumedang saja yang pada waktu ini kosong, bahkan kalau tidak diizinkan aku akan memilih pensiun saja. Usiaku sekarang sudah 55 tahun dan masa kerjaku sudah 36 tahun. Kukira sudah cukup matang untuk memasuki masa pensiun. Ketika aku akan kembali ke Pandeglang, aku mampir ke Kantor Inspeksi Penmas Sumedang dan mampir lagi ke Kantor Penmas Propinsi. “Setelah saya pikir-pikir, ternyata saya tidak akan mampu bekerja di Kantor Pusat itu, Pak,” keluhku setelah berhadapan dengan Pak Soemantri. “Kenapa?” tanyanya keheranan.

Kemudian aku memberikan alasan-alasan ketidaksanggupanku.

“Mereka juga sama saja seperti kita,” katanya lagi sambil tertawa, “Saya pun akan dipindahkan ke Pusat, nanti kita bertemu lagi di sana. Bulan depan saya akan dikirim ke Belanda selama tiga bulan, sepulang dari sana baru akan bertugas di Pusat.”

“Kalau diizinkan, saya lebih baik memilih Sumedang saja, Pak,” jawabku.

“Kalau memilih Sumedang berarti Akang tidak naik jabatannya,” kata Pak Sumantri lagi.

“Tidak apa-apa, Pak. Malah kalau tidak diizinkan saya akan minta pensiun saja.

“Baiklah, kalau begitu. O, ya, ini ada surat dari Bupati Pandeglang,” kata Pak Soemantri

mengalihkan pembicaraan, “isinya mengusulkan agar Akang dipindahkan ke Sumedang, karena ia tahu Sumedang kosong, sedangkan ia juga tahu bahwa Akang orang Sumedang. Ia belum tahu kalau Akang dipromosikan ke Pusat. Untuk Pandeglang ia mengusulkan agar Suradjio diangkat di sana menggantikan Akang. Saya yakin ini adalah kata-kata Suradjio sendiri. Mengapa ia berani mengusulkan dirinya untuk menggantikan Akang di Pandeglang, tanpa konsultasi dengan Akang sebagai atasannya. Itu sama saja dengan menyepelekan Akang sebagai atasannya. Coba lihatlah!”

Pak Soemantri menyodorkan surat dari Bupati itu kepadaku. Dengan berdebar-debar surat itu kubaca. Ternyata benar, isi surat itu mengusulkan agar Suradjio diangkat di Pandeglang setelah ia ‘mengusirku’. Berani benar ia. Kagum juga aku atas kelihaian Suradjio mempengaruhi Bupati.

“Betul, ‘kan?” tanya Pak Soemantri.

“Sebetulnya saya sudah tahu rencana Suradjio,” jawabku berbohong. “ia tidak akan berani melakukan hal itu tanpa sepe-ngetahuan saya.”

“Jadi Akang sudah tahu rencananya? Mengapa tidak memberi laporan kepada saya?”

Mendengar pertanyaan yang tak terduga itu aku agak kaget juga. Tadinya bermaksud melindungi Suradjio, malah aku yang kena. Tetapi segera aku dapat menguasai diriku, lalu kujawab, “Ia baru ngobrol-ngobrol dengan saya dan saya belum dapat memastikan, apakah ia akan langsung melaksanakan niatnya atau tidak.”

Pak Soemantri diam sejenak.

“Jadi, Akang tetap tidak mau dipromosikan ke Pusat?” katanya kemudian.

“Tidak, Pak, kalau Bapak tidak berkeberatan, saya minta Sumedang saja.”

“Tapi Akang tidak naik jabatan meskipun pangkatnya naik menjadi golongan F/III.”

“Tidak apa-apa, Pak,” jawabku tegas.

“Baiklah kalau begitu, Akang ke Sumedang, Pandeglang diisi oleh Tangerang, Suradjio diangkat di Tangerang, Penilik Leuwimunding untuk sementara ditarik ke Propinsi. Ke Pusat diisi dari Propinsi saja karena dari lapangan belum ada yang memenuhi syarat.”

“Terima kasih, Pak,” kataku, “dan ada yang ingin saya kemukakan, Pak.”

“Apa itu?” tanyanya.

“Waktu saya pergi ke Darmaraja kemarin, saya mampir dulu ke Kantor Penmas Sumedang. Ternyata Suradjio datang ke Penmas Sumedang dan menganjurkan agar para pegawai Kantor Inspeksi Penmas Sumedang membuat semacam resolusi yang meminta agar saya dipindahkan ke Sumedang. Bagaimana pendapat Bapak?”

“Jangan!” jawabnya tegas. “Janganlah mereka diberi kesempatan membuat surat resolusi

semacam itu, sebab nanti posisi Akang akan lemah. Mereka akan menepuk dada mengatakan bahwa kepindahan Akang ke Sumedang itu atas jasa mereka, sehingga di kemudian hari mereka akan menguasai Akang. Padahal, Akang sudah pasti akan saya tempatkan di Sumedang.”

“Terima kasih, Pak.”

Setibanya di Pandeglang langsung kuberitahukan kepada Sura-djio bahwa Kepala Penmas Propinsi akan mengadakan kunjungan kerja kepadanya. Intuisinya yang tajam menggerakkan hatinya untuk bersiap-siap pada saat itu juga. Hari itu juga dengan dibantu oleh bawahannya ia mulai mengecat dinding kantornya sampai jauh malam, bahkan pemberesan yang lainnya dilakukan sampai pagi. Urusan ketatausahaan juga dibereskan pada malam itu. Pagi harinya keadaan Kantor Penmas Kawedanan Kota Pandeglang sudah disulap seperti kantor baru.

Pukul dua belas siang keesokan harinya datang dua orang tamu dari Djawatan Penmas Propinsi yang akan mengadakan kunjungan kerja kepada Penilik Penmas Kawedanan Kota. Ternyata mereka datang berenam dari Bandung kemarin dan menginap di Serang, kemudian keesokan harinya berangkat dari Serang, dua orang menuju ke Pandeglang, dua orang ke Rangkasbitung, dan dua orang lagi di Serang. Mereka mengadakan kunjungan kerja ke kawedanan-kawedanan di daerah Banten.

Dari hasil kunjungan kerja itu Suradjio mendapat penilaian baik sekali.

Ketika sebulan kemudian aku datang lagi ke Kantor Penmas Propinsi di Bandung, Pak Soemantri, sudah berangkat ke Belanda. Aku menemui wakilnya untuk menanyakan

kepindahanku ke Sumedang.

“Usul kepindahan Bapak ke Sumedang sudah diberangkatkan ke Jakarta. Kalau Bapak mau mampir ke Jakarta, coba saja susul ke Pusat. Ini nomor agendanya,” katanya sambil

menyodorkan secarik kertas berisi nomor agenda pengiriman surat usul kepindahanku. Mudahmudahan sudah selesai dikerjakan.”

Segera aku pulang ke Darmaraja dan keesokan harinya langsung pergi ke Jakarta, menuju rumah kemanakanku Komisaris Besar Polisi M. Djamoeh di Kwitang. Keesokan harinya aku pergi ke Kantor Pendidikan Masjarakat Pusat di Jalan Cikini Raya mempergunakan mobil dinas kemenakanku. Aku berangkat hanya berdua dengan sopirnya.

“Ini yang datang Pak Dodo sendiri?” tanya seorang pejabat di Kantor Penmas Pusat.

“Betul,” jawabku.

“Di sini orang Sundanya cuma saya sendirian, yang lainnya kebanyakan orang Djawa. Ada juga orang Sumatra, bahkan ada orang Irian,” katanya dalam bahasa Sunda.

“O, ya,” kataku basa-basi.

“Untung aku tidak diusulkan pindah kemari,” pikirku.

“Bagaimana tentang usul kepindahan saya ke Sumedang itu?”

“Usul itu sudah disetujui oleh Bapak Kepala Djawatan, bahkan sudah ditandangani. Ini

berkasnya. Tetapi yang menerbitkan SK-nya adalah Departemaen P.P. dan K. Apakah surat ini harus saya kirim ke Departemen ataukah akan Bapak bawa sendiri ke sana, ke Departemen P.P. dan K. di Calan Cilacap?”

“Kalau boleh, akan saya bawa sendiri saja, di sana saya punya saudara, barangkali bisa

menolong.”

“Baiklah, kalau begitu,” katanya lagi sambil menyodorkan amplop yang berisi berkas surat persetujuan dari Kepala Djawatan Penmas. “Apakah berkas kepunyaan Pa Suradjio juga akan dibawa?”

“Saya bawa saja sekalian,” jawabku.

Karena amplop-amplop berkas itu tidak ditutup, dalam perjalanan menuju Departemen P.P. dan K. di Jalan Cilacap, kubuka berkas kepunyaan Suradjio. Ternyata ia diangkat sebagai Kepala Inspeksi Pendidikan Masjarakat Kabupaten Pandeglang.

“Akhirnya ia berhasil juga,” gumamku.

Di Jalan Cilacap aku menemui kemanakanku, Widjaja, yang bekerja di Direktorat Djenderal Perguruan Tinggi.

Ketika kuperlihatkan persetujuan kepindahanku ke Sumedang, ia berkata, “Ini gampang, tinggal mengetik saja, sebetulnya hari ini juga bisa selesai, tetapi sekarang hari Jumat dan sudah pukul sepuluh, pejabat yang akan menandatnganinya atas nama Menteri, mungkin sudah pulang. Bagaimana kalau Emang datang lagi besok pagi untuk mengambilnya?”

“Bagaimana baiknya saja,” jawabku.

“Tetapi kalau Emang mau cepat, biar diketik sekarang. Saya akan menyuruh pegawai saya bekerja lembur mengerjakan ini. Beri saja dia uang jajan. Besok pagi-pagi bisa ditandatangani dan langsung dibawa pulang oleh Emang.”

Ketika keesokan harinya, pukul sembilan, aku datang menemui Widjaja, SK kepindahanku dan SK pengangkatan Suradjio sudah selesai dan sudah ditandatangani.

“Yang mengerjakannya dua orang.” kata kemenakanku.

“Ini, lumayan, uang rokoknya. Sebaiknya dibagi tiga saja dengan Alo,” kataku. (‘Alo’ adalah kata panggilan untuk ‘kemanakan’.)

“Jangan, jangan begitu, aduh, malu sekali saya, kalau untuk menolong begitu saja harus dibayar. Kalau boleh, uang ini akan saya berikan kepada mereka berdua.”

Aku menyetujuinya.

Hari itu juga aku kembali ke Bandung untuk memberitahukan bahwa SK kepindahanku sudah selesai, sekaligus menyampaikan tembusan SK tersebut untuk Kantor Inspeksi Propinsi dan untuk Kantor Bendahara Negara di Bandung.

“Kenapa jadi begini?” tanya Wakil Kepala Penmas Propinsi, “Kalau ke Sumedang, betul Pak Dodo, tetapi ke Pandeglang mestinya dari Tangerang, justru Suradjio harus ke Tangerang.”

“Saya tidak tahu,” jawabku belaga pilon. “Mungkin sebelum berangkat ke Belanda, Pak

Sumantri memberi pesan rahasia ke Pusat.”

“Entahlah, kalau begitu,” katanya lagi.

Di kemudian hari aku tahu bahwa Suradjio pernah kasak-kusuk ke Kantor Penmas Pusat untuk mengatur pengangkatannya di Pandeglang.

Sebelum memasuki masa pensiunnya, kudengar berita bahwa ketika sedang mengikuti rapat dinas di Lembang (Bandung), Suradjio kena serangan jantung dan meninggal.

3. S u m e d a n g

Aku diterima dengan baik di Sumedang. Acara penyambutan kedatanganku dilaksanakan di Srimanganti (Ruang Pertemuan Kabupaten Sumedang) dalam suatu pertemuan bulanan rutin antar jawatan, yang dihadiri oleh Bupati.

Kantor Inspeksi Penmas Kabupaten Sumedang menempati sebuah gedung besar yang disewa dari penduduk, terletak di Jalan Gending. Karena di kantor masih terdapat kamar-kamar kosong, aku menempati kamar-kamar itu sebagai tempat tinggal, sehingga aku tidak usah tinggal di hotel. Ketika istriku kuajak, ia tidak mau ikut ke Sumedang. Untuk makan, aku berlangganan makan di sebuah rumah makan yang terletak di jalan itu juga, dekat kantor. Setiap hari Sabtu, pukul satu siang, aku pulang ke Darma-raja dan kembali lagi pada hari Senin berikutnya pukul lima pagi, langsung masuk kantor.

Daerah kerjaku meliputi wilayah kabupaten Sumedang, yang terdiri atas empat kawedanan, yaitu: Sumedang Kota, Darmaraja, Tanjungkerta, dan Tanjungsari. Wilayah ini di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Subang, di sebelah timur barbatasan dengan kabupaten Majalengka, di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaen Garut, dan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Bandung.

Sebulan setelah aku meninggalkan Pandeglang, datang surat dari Bupati Pandeglang, yang isinya mengatakan bahwa tahun ini Kabupaten Pandeglang dinyatakan sebagai ‘Kabupaten Bebas Buta Huruf’. Surat itu dilampiri juga ‘Piagam Bebas Buta Huruf’ dari Djawatan Penmas Pusat untuk Djawatan Penmas Kabupaten Pandeglang atas namaku. Di dalam surat itu Bupati menyatakan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepadaku, yang sudah membina Kabupatn Pandeglang dalam periode tahun 1960-1962.

Sekali lagi aku menjawab tantangan Meneer van der Knap, Direktur Normaalschool Garut dulu, yang mengatakan, ” ….. mana mungkin bangsa Indonesia bisa merdeka bila 90% rakyatnya masih buta huruf…..!”

Aku bangga menjadi pembebas buta huruf di bumi Indonesia ini.

“Yang biasa belanja tiap bulan untuk keperluan kantor dan keperluan lainnya untuk dikirim ke Penmas Kawedanan, siapa?” tanyaku pada suatu hari kepada Kurdi, Kepala Tata Usaha.

“Tidak tentu, Pak,” jawabnya, “kadang-kadang Bapak Kepala sendiri, kadang-kadang saya, kadang-kadang bersama-sama.”

“Lalu, kita punya toko langganan?”

“Ada, Pak, di daerah pasar sebelah utara,” jawabnya lagi. “Nanti kalau Bapak senggang, saya perkenalkan dengan yang punya tokonya.”

“Saya merencanakan membeli barang-barang ini untuk dikirim ke Kantor Penmas Kawedanan,” kataku sambil memberikan daftar barang yang akan dibeli. “Tolong dicek lagi, barangkali ada permintaan yang belum dimasukkan.”

“Dari Tanjungsari minta disediakan alat-alat oleh raga yang lebih banyak lagi karena kelompok muda-mudi di sana jumlahnya bertambah banyak.”

“Coba, saya lihat.”

Setelah dilengkapi dengan permintaan-permintaan dari tiap Kantor Penmas Kawedanan, daftar barang itu kuserahkan kepada Kurdi sambil berkata, “Untuk sekali ini, Kurdi saja yang belanja, saya akan menghadiri rapat bulanan di Srimanganti.”

Aku naik beca ke Srimanganti. Rapat sekali ini membicarakan rencana bulanan di jawatan masing-masing, di antaranya diputuskan bahwa pada akhir bulan ini akan diadakan kunjungan dinas bersama ke daerah Cadasngampar (Darmaraja) untuk berdialog dengan rakyat dan menampung aspirasi rakyat sehubungan dengan adanya rencana Pemerintah untuk membuat Waduk Jatigede. Hasil kunjungan ini nantinya akan dibawa oleh Bupati ke sidang DPRD Sumedang dan DPR Pusat.

Ketika aku kembali ke kantor, barang-barang yang dibeli oleh Kurdi sudah bertumpuk di ruanganku.

“Ini notanya, Pak,” kata Kurdi melapor, “dan ini kuitansinya rangkap enam.”

“Lho, kok, kuitansinya masih kosong, cuma ditandatangani saja?”

“Biasanya begitu, Pak,” jawabnya polos, “nanti kita yang mengetiknya rangkap enam sambil mengisi daftar harga-harga barang yang dibeli. Kalau perlu, harganya bisa disesuaikan.”

“Maksud Kurdi, dinaikkan?”

“Ya, begitulah, Pak.”

“Untuk sekali ini, coba diketik saja persis seperti harga-harga dalam nota. Jangan ada yang diubah.”

“Baik, Pak,” jawab Kurdi, lalu pergi.

Sebulan kemudian, ketika akan belanja keperluan kantor lagi, aku berangkat bersama Kurdi.

Ketika yang punya toko akan memberi kuitansi kosong, aku minta agar kuitansi itu diisi dengan tulisan tangan saja, rangkap enam memakai karbon, sesuai nota.

Waktu sebulan kemudian berbelanja lagi, aku berangkat ditemani Kurdi lagi. Yang punya toko memberi nota disertai dengan kuitansi kosong lagi. Aku diam saja. Sampai di kantor aku minta agar Kurdi mengetiknya sesuai nota.

Untuk bulan berikutnya lagi aku menyuruh Kurdi saja yang berbelanja. Kurdi membawa

belanjaannya dengan disertai nota dan kuitansi kosong lagi.

“Kalau harganya akan disesuaikan, jangan terlalu jauh dari harga dalam nota,” perintahku kepada Kurdi.

Setelah selesai mengetik, Kurdi melaporkan kepadaku bahwa harganya dinaikkan 10% dari harga di dalam nota.”

“Uang selisihnya simpan saja dulu dalam brankas, untuk keperluan darurat,” perintahku lagi.

Aku sudah mulai tidak jujur dalam penggunaan uang Negara.

Pada suatu awal bulan aku menyaksikan Kurdi membagikan gaji kepada para pegawai.

Ketika Ujang, pesuruh kantor, menerima amplop gaji itu, langsung membukanya dan menghitungnya.

“Dipotong separonya lagi, ya, Pak?” tanyanya kepada Kurdi.

“Biasanya juga begitu,” jawab Kurdi ketus.

“Ya, tengah bulan harus ngebon lagi,” keluh Ujang sambil melengos pergi.

“Jang, ke sini dulu,” panggilku sambil masuk ke ruanganku.

“Ya, Pak,” jawabnya sambil mengikutiku.

“Duduk!” perintahku. “Gajimu dipotong, ya? Berapa?”

“Betul, Pak, dipotong separonya.”

“Ngebon untuk apa sebanyak itu?”

“Sebetulnya peristiwanya sudah lama, Pak,” jawabnya, “waktu itu anak saya sakit, opname di rumah sakit.”

“Lalu, setelah itu kamu tiap bulan ngebon?”

“Betul, Pak, habis separo gaji tidak cukup untuk biaya hidup sebulan.”

“Andaikata tidak dipotong bon, apakah gajimu cukup untuk biaya hidup sebulan?”

“Cukup, Pak, malah kadang-kadang ada sisanya.”

“Kamu mau diatur?”

“Bagaimana maksud Bapak?”

“Kalau kamu dibebaskan dari potongan itu, kamu tidak akan ngebon lagi?”

“Tentu saja tidak, Pak, untuk apa bikin hutang kalau tidak terpaksa,” jawabnya penuh keyakinan.

“Sekarang begini, kamu ada tugas luar, untuk memasang spanduk ‘PBH’. Coba panggil dulu Kurdi.” (‘PBH’ adalah Pemberantasan Buta Huruf.)

“Kurdi,” kataku setelah ia datang ke kamarku, “saya akan menyuruh Ujang memasang spanduk. Keluarkan biaya untuk lima lokasi, tetapi yang dipasang di tiga lokasi saja.”

“Maksud Bapak?” tanyanya keheranan.

“Biaya untuk memasang di dua lokasi lagi berikan kepada Ujang untuk melunasi hutangnya, cukup tidak?”

“Dua lokasi….., belum, Pak, belum cukup, hutangnya banyak, sih.”

“Kalau ditambah dengan dana keperluan darurat, cukup, tidak?”

“Kalau ditambah dengan itu….., cukup, Pak.”

“Kalau begitu, Ujang, kamu pergi ke tempat sablon seperti biasa, bikin tiga buah spanduk PBH

seperti enam bulan yang lalu, uangnya minta ke Kurdi, lalu spanduknya dipasang di jalan yang menuju ke Bandung, di jalan yang menuju ke Wado, dan di jalan yang menuju ke Cirebon. Dengan demikian hutangmu lunas, tidak akan dipotong lagi. Tetapi kamu jangan ngebon lagi.”

“Lalu, saya mengembalikan hutang saya kepada Bapak, kapan?” tanyanya gembira.

“Tidak, kamu tidak usah membayar hutangmu, karena hutangmu dianggap lunas,”

“Bagaimana, Pak? Saya tidak mengerti,” katanya, masih kebi-ngungan.

“Kurdi mengerti, ‘kan?” tanyaku kepada Kurdi.

“Mengerti, Pak,” jawabnya sambil tersenyum.

“Sudah, sana, tanyakan kepada Kurdi,” kataku mengusir mereka.

Aku telah menyalahgunakan penggunaan uang Negara.

Pada suatu hari datang menghadap kepadaku Santa, pegawai tata usaha pada Penmas Darmaraja, sehabis mengambil gaji untuk tiga orang pegawai Penmas Darmaraja dari Kurdi.

“Maaf, Pak, saya mau merepoti,” katanya.

“Ada apa?” tanyaku.

“Saya kehabisan ongkos untuk pulang ke Darmaraja,” jawabnya.

“Lalu?” tanyaku.

“Kalau bisa mau ngebon,” katanya lagi.

“Bukankah dari kantor sudah diberi ongkos untuk mengambil gaji?”

“Sudah, Pak, tetapi uang itu terpakai untuk membeli obat istri saya, karena di Puskesmas

Darmaraja tidak ada dan saya membelinya ke apotek di sini.”

“Gajinya, ‘kan masih utuh?”

“Ah, itu sudah ada cadangan pengeluarannya, Pak.”

“Pegawai-pegawai di sini juga sedang saya tertibkan bon-bon hutangnya,” kataku memberi penjelasan.

“Kalau tidak bisa ngebon dari Kantor, saya pinjam pribadi saja dari Bapak.”

“Apalagi dari saya…..”

Ia diam sejenak. Aku pun diam.

“Sekarang begini saja,” kataku kemudian, Di sini ada buku-buku perpustakaan untuk dikirim ke Darmaraja. Tadinya mau saya kirim lewat pos, biar gratis. Kalau buku-buku itu mau dibawa sendiri, nanti saya beri ongkosnya.”

“Mau, Pak, biar saya bawa saja,” jawabnya spontan.

“Tetapi banyak, ada kira-kira duaratus lima puluh buku.”

“Tidak apa-apa, Pak, saya bisa mengurusnya.

“Kalau begitu, tandatangani kuitansi ini, lalu uangnya minta kepada Kardi. Juga buku-bukunya minta kepada Kardi. Ini daftar bukunya.”

Lagi-lagi aku menyalahgunakan pemakaian uang Negara.

Ayahku sakit keras di Ciwangi. Aku pulang. Ayahku, Raden Sastrapradja bin Raden Mardja’in Soerapradja, mantan Kuwu desa Cibogo, meninggal dunia dalam usia 85 tahun dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Batununggul’, Darmaraja.

Sementara itu, setelah Kurlinasih menikah dengan Suhandoko, keluarga Kurniasari-Gunawan pindah ke Hotel ‘Cibadak’ di Jalan Cibadak, Bandung. Anakku yang bungsu, Kurmajani, yang baru lulus dari SMP Negeri Sumedang dan masuk ke SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Puteri) di Bandung, ikut bergabung dengan mereka.

Sementara itu pada tahun 1962 Kabupaten Sumedang dinyatakan sebagai ‘Kabupaten Bebas Buta Huruf’. Untuk kesekian kalinya aku bersyukur kepada Allah Yang Mahakuasa, yang telah melimpahkan kebahagiaan ini kepadaku. Sekali lagi aku menjawab tantangan Meneer van der Knap, Direktur Normaalschool Garut dulu, yang mengatakan “….. mana mungkin bangsa Indonesia bisa merdeka bila 90% rakyatnya masih buta huruf…..!” Kini tantangan itu kujawab, “Insya Allah, setahap demi setahap rakyat Indonesia akan kubebaskan dari buta huruf.”

Keberhasilanku ini mendorong aku untuk melakukan introspeksi terhadap diriku sendiri, Sampai sejauh ini aku belum pernah mengecewakan atasanku, meskipun hati kecilku mengakui bahwa kini aku bukan lagi seorang pegawai yang jujur. Keadaanlah yang memaksaku melakukan ketidakjujurn itu. Aku yakin, bahwa akhir-nya, cepat atau lambat, yang buruk itu akan ketahuan juga.

Pada tahun 1962 ini Gunawan dan beberapa orang temannya diberi tugas mengambil pesawat Hercules dari Amerika Serikat. Di sana mereka diberi training dulu selama enam bulan, setelah itu mereka menerbangkannya ke Indonesia. Jabatan Gunawan adalah Juru Montir Udara. Sepulang dari Amerika Serikat Gunawan dipindahkan ke Lanuma Halim Perdanakusumah di Jakarta menjadi anggota ‘Skadron Hercules’.

Pada tahun ini juga keluarga Kurniasari-Gunawan di Jakarta dianugerahi anak ketiga,

perempuan, diberi nama Tenny Surjani, merupakan cucuku kelima.

Sementara itu keluarga Kosasih-Nanan di Purworejo dianuge-rahi anak kedua, perempuan, diberi nama Raden Tati Tresnawati, merupakan cucuku keenam.

Pada tahun 1962 Pemimpin DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, yang selama bertahuntahun memimpin geraakan mengacau dan mengganggu keamanan di Jawa Barat, tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Dengan demikian masyarakat Jawa Barat menjadi tenang dan tenteram.

Kota Sumedang pada awal tahun 1963 merupakan kota yang tenang. Pergolakan partai-partai politik tidak terlalu mencolok, tidak seperti di kota-kota lainnya. Meskipun demikian, bagi para pengamat politik, ketenangan ini merupakan tanda tanya besar. Ada apakah di balik ketenangan ini?

Ada seorang Wedana yang menjadi kenalan baikku, yaitu Pak Karyat. Dulu ia Camat di Wado,

ketika aku menjadi Penilik Penmas di Darmaraja. Sekarang ia tinggal di rumah dinasnya di Tegalkalong. Sering aku berbincang-bincang tentang situasi politik.

“Akang, sih, enak, tidak berpartai, jadi tidak ada beban,” katanya pada suatu hari kepadaku.

“Coba saya, belum apa-apa sudah dicap sebagai orang PNI, orang Pemerintah.”

“Justru Ayi yang enak, kedudukan Ayi aman,” bantahku. “Kalau ada apa-apa, Ayi akan

dilindungi oleh teman-teman separtai, bahkan oleh Pemerintah. Justru posisi Akang pada waktu ini berbahaya. Menjadi orang bebas itu tidak enak dan tidak aman, karena setiap pihak akan mencoba mempengaruhiya, bahkan menariknya untuk bergabung. Apalagi kedudukan Akang ini menguasai wilayah sekabupaten, disangkanya Akang bisa menghitamputihkan anak buah Akang, padahal nyatanya tidak. Kalau terjadi apa-apa tidak ada organisasi atau partai apa pun yang akan membela Akang.”

“Partai mana saja yang sudah mengajak-ajak Akang?”

“Boleh dikatakan semua partai sudah mengajak Akang untuk bergabung. Di antaranya anak buah Akang sendiri yang mengajak-nya.”

“Asal kita berkampanye secara jujur, bersaing secara jujur, bagi saya tidak menjadi masalah, partai apa pun boleh berusaha menjadi besar.”

“Menurut Ayi, partai mana saja yang tidak jujur itu?” tanyaku.

“Menurut pendapat saya, semua partai tidak jujur, tetapi kadar ketidakjujurannya itu tidak sama. Sayang, kita tidak tahu rahasia partai-partai itu di dalamnya, sehingga kita bisa waspada.”

“Kalau memang mau menyelidikinya, bagi Ayi mudah saja, karena Ayi mempunyai banyak bawahan untuk melakukannya.” “Bagaimana caranya?” tanyanya serius.

“Ini resep yang mudah saja dulu, beri tugas kepada anak buah Ayi untuk menyusup sebagai simpatisan atau sebagai calon anggota ke dalam suatu partai. Kalau ada partai yang sudah sering melakukan rapat-rapat rahasia, itu tandanya partai itu sedang bergolak, sedang merencanakan sesuatu.”

“Baiklah, akan saya coba,” jawabnya.

Ketika pada suatu malam aku akan makan malam di rumah makan langgananku, kulihat pada sebuah meja duduk seorang kenalanku, Pak Sukardjo, seorang anggota PKI.

“Hai, Pak Dodo,” katanya menegurku, “ke mana saja, sudah lama tidak bertemu.”

“Saya tidak ke mana-mana,” jawabku, “dari kamar tidur ke ruang kantor, ke kamar tidur lagi, setelah itu ke sini untuk makan, lalu ke rumah lagi. Begitu saja setiap hari.”

“Memang enak kalau berkantor di rumah, tidak usah pergi jauh-jauh untuk bekerja,” katanya sambil tertawa.

“Bukan berkantor di rumah, tetapi berumah di kantor,” kataku lagi sambil tertawa.

Tiba-tiba datang sebuah sedan hitam dengan nomor polisi B berhenti di depan rumah makan. Dari dalamnya turun seseorang yang langsung menuju ke sebuah meja.

“Maaf, saya ada tamu,” kata Pak Sukardjo sambil meninggalkanku menuju ke tamu yang baru datang tadi. Setelah berbisik-bisik mereka pergi.

Aku makan sendiri.

Tentang Pak Sukardjo ini, sering membuat aku bingung. Pasalnya, PKI begitu gencar mengirim brosur-brosur dan majalah-majalah lewat Penmas, sedangkan aku tidak boleh pilih kasih, siapa saja yang minta penyebaran brosur dan majalah ke masyarakat lewat Penmas, harus diladeni secara adil, selama penyebaran itu dilakukan secara legal. Tetapi kalau Penmas terus-menerus menyebarkan brosur-brosur dan majalah-majalah PKI, bisa-bisa aku dianggap anggota PKI.

Ketika kira-kira sebulan kemudian aku bertemu lagi dengan Pak Karyat, ia berkata, “Betul, Kang, menurut penyelidikan anak buah saya yang kususupkan, ada partai yang lagi sibuk menyelenggarakan rapat-rapat gelap. Para pesertanya banyak yang datang dari luar kota, terutama Jakarta.”

“Betul, ‘kan? Partai apa?” tanyaku.

“PKI.”

“Sudah Akang duga,” kataku lagi, “Akang juga semakin kuatir menyaksikan partai yang satu ini.” Lalu kuceritakan tentang penyebaran brosur-brosur dan majalah-majalah PKI lewat Penmas itu.

“Mungkin ada baiknya bila Akang minta pensiun saja agar tidak dirongrong seperti sekarang ini,” keluhku.

“Pensiun? Akang ‘kan belum waktunya untuk minta pensiun,” tanyanya.

“Akang sudah bisa mengajukan pensiun, karena usia sudah 55 tahun dan masa kerja sudah 36 tahun.”

“Mungkin saya juga lebih baik begitu, tetapi saya masih punya harapan, tahun depan saya sudah berhak untuk dipromosikan menjadi Patih. Sayang, kalau kesempatan ini ditinggalkan begitu saja.”

Ketika aku pulang, pikiranku selalu terganggu oleh keinginanku untuk mengajukan pensiun. Setelah kupikir masak-masak, keesokan harinya kubuat surat permohonan pensiun.

Pada tahun 1963 ini keluarga Kurlinasih-Suhandoko di Surabaya dianugerahi anak kedua,

perempuan, diberi nama Andrini, merupakan cucuku ketujuh.

Sementara itu Kosasih melamar pekerjaan untuk menjadi dosen Bahasa Indonesia pada AMN (Akademi Militer Nasional) di Magelang. Setelah mendapat surat lolos butuh dari Kepala SMA Negeri Purworejo dan sudah mendapat persetujuan dari Gubernur AMN di Magelang, ia pergi ke Jakarta untuk mendapat SK dari Departemen P.P. dan K. dan dari Departemen Pertahanan. Di Jakarta ia menginap pada kemenakanku, Roekmini, anak Kang Adjep yang menikah dengan Mayor TNI/AD A.H. Kastubi. Ia menyarankan agar Kosasih membatalkan permohonannya karena akan berat untuk bertugas di bidang kemiliteran, meskipun pada bidang pendidikan sekalipun, baik dengan pangkat aktif maupun dengan pangkat tituler. Belum lagi pergaulan istriistrinya, harus pandai-pandai menyesuaikan diri. Apalagi di AMN, di sana berkumpul Tentara dari tamtama sampai jenderal. Dengan panjang lebar ia memberi gambaran tentang bagaimana kerasnya kehidupan militer sehari-hari. Kekuatiran Mayor Kastubi ini memang beralasan, karena

postur tubuh Kosasih hanya mempunyai tinggi 155 cm dan berat badan 40 kg saja.

Akhirnya Kosasih mencabut lamarannya ke AMN, lalu mengikuti kuliah pada IKIP Negeri Yogyakarta dengan status tugas belajar terbatas, yaitu dalam seminggu hanya diwajibkan mengajar selama dua hari saja pada SMA Negeri Purworejo dan empat hari sisanya boleh mengikuti kuliah di Yogyakarta dengan biaya sendiri. Dengan demikian tiap minggu ia mundarmandir antara Purworejo dengan Yogyakarta sejauh enam puluh kilometer.

K.E M B A L I KE D A R M A R A J A

1. Masa Pensiun

Pada tanggal 1 Agustus 1963 dengan resmi aku memasuki masa pensiun dalam usia 55 tahun. Dalam masa pensiun ini aku mengharap akan memperoleh ketenangan hidup setelah membaktikan diri kepada negara selama 36 tahun sejak tahun 1927.

Kini aku kembali ke Darmaraja setelah berpindah-pindah tempat semenjak jadi guru bantu di Babelan (Bekasi), Gang Secang (Jakarta), Situraja (Sumedang); menjadi Mantri Guru di Sukahaji (Majalengka), Wado (Sumedang), Darmaraja (Sumedang); menjadi Penilik Penmas di Darmaraja (Sumedang); menjadi Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten Pandeglang, dan akhirnya Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten Sumedang.

Memasuki masa pensiun ini aku belum punya rencana akan mengerjakan apa. Yang jelas, aku akan kembali ke rumah yang selama tiga tahun telah kutinggalkan, yaitu selama aku berdinas di Pandeglang dan di Sumedang.

Kini aku kembali lagi ke tanah kelahiranku. Aku telah kembali ke Darmaraja. Kembali ke

Darmaraja!

Lama aku termenung merenungkan keadaan keluargaku.

Ayahku, Raden Sastrapradja bin Raden Mardja’in Soerapradja, yang mantan Kuwu desa Cibogo

itu, sudah meninggal pada tahun 1961, sedangkan ibuku, Njimas Natamoelia binti Mas

Martanata, sudah meninggal lebih dulu pada tahun 1942.

Kakakku yang pertama, laki-laki, Raden Saleh bin Raden Sastrapradja, meninggal pada waktu masih kecil. Kakakku yang kedua, Raden Adjep Martawisastra, sudah pensiun dari jabatan terakhirnya Penilik Penmas kawedanan Bekasi, tinggal di Babakan Surabaya, Bandung. Kakakku yang ketiga, Nji Raden Antria, mendampingi suaminya, Kang Wikanta, yang masih menjadi Penilik Penmas kawedanan Darmaraja (Sumedang) dan tinggal di Darmaraja (Sumedang).

Ayah-mertuaku, Mas Sastradiria bin Mas Moersiah, sudah meninggal pada tahun 1949,

sedangkan ibu-mertuaku, Njimas Andi, masih tinggal bersama kami di Darmaraja.

Istriku, Njimas Pi’ah, kini sudah berusia 47 tahun, tetap setia mendampingiku selama 33 tahun ini. Kami telah dianugerahi enam orang anak, dua orang anak laki-laki, Kosasih dan Kuswara,

dan empat orang anak perempuan, Siti Roemhaja, Kurniasari, Kurlinasih, dan Kurmajani.

Anakku yang kedua, perempuan, Siti Roemhaja binti Dodo Surapradja, hanya berusia tiga hari

dan meninggal pada tahun 1933. Tiga orang anakku sudah menikah. Dua orang lagi, yaitu anak

ketiga, laki-laki, Kuswara, dan anak keenam, perempuan, Kurmajani masih sendiri.

Adik iparku Mas Soma Soeria bin Mas Sastradiria, sudah meninggal pada tahun 1956,

sedangkan adik iparku, Mas Odjo Surjasumitra, masih bekerja pada Departemen Perhubungan Laut dan tinggal di Grogol, Jakarta.

anakku yang bungsu, Kurmajani, pada tahun ini lulus dari SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Puteri) di Bandung.

Dengan lulusnya anakku yang bungsu dari SGKP ini aku jadi teringat kepada pesan ayahku almarhum, yang mengatakan bahwa sejak kecil bercita-cita menjadi guru, tetapi nasib telah membawanya menjadi Kuwu di desa Cibogo. Oleh karena itu ia mengharap agar di antara keturunannya kelak ada yang melaksanakan cita-citanya untuk menjadi guru. Bahkan, kalau mungkin, ia sangat senang bila salah seorang anaknyalah yang menjadi guru.

Kenyataannya? Hebat sekali! Ya, inilah kenyataannya. Kakakku yang laki-laki, Kang Adjep, menjadi guru, kemudian menjadi Penilik Penmas kawedanan Bekasi. Kakakku yang perempuan, Antria, kawin dengan Kang Wikanta, seorang guru, yang kemudian menjadi Penilik Penmas kawedanan Darmaraja. Aku sendiri menjadi guru dan terakhir menjadi Kepala Inspeksi Penmas Kabupaten di Sumedang.

Selanjutnya, anakku yang pertama, Kosasih, sarjana muda lulusan PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Negeri di Bandung, menjadi guru pada SMA Negeri Purworejo (Jawa Tengah). Anakku yang ketiga, Kuswara, lulusan SGA (Sekolah Guru A) Negeri di Bandung, menjadi guru pada SMP Negeri Bengkulu, yang kemudian setelah lulus PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) Negeri di Palembang, diangkat menjadi Kepala Sekolah pada SMP Negeri di Tanjungsakti (Bengkulu). Anakku yang keempat, Kurniasari, lulusan SGTK (Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak) di Bandung, adalah calon guru dan menikah dengan Sersan Mayor TNI/AU Gunawan, yang setelah berpangkat Kapten TNI/AU lalu menjadi instruktur (guru) teknik dalam Skuadron Hercules di Lanuma Halim Perdanakusumah di Jakarta. Anakku yang kelima, Kurlinasih, lulusan SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Puteri) di Banfung, adalah calon guru, dan menikah dengan Suhandoko, sarjana muda lulusan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri di Bandung, guru pada SMA Negeri 5 di Surabaya (Jawa Timur).

Akhirnya, anakku yang keenam, Kurmajani, adalah lulusan SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Puteri) di Bandung, juga calon guru.

Perlu dicatat, bahwa dua orang anak perempuan Kang Adjep, menikah dengan kolega Kang Adjep sendiri, yang kedua-duanya guru pada Sekolah Rakjat di Jonggol (Bogor), yang pada masa revolusi menjadi anggota militer, yaitu Raden Karmini menikah dengan H.I. Suwendi (terakhir purnawirawan Kapten TNI/AD) dan pengusaha tekstil di Majalaya, Bandung), kemudian Raden Roekmini menikah dengan H.A. Kastubi (terakhir purnawirawan Brigdjen TNI/AD).

Dengan demikian, cita-cita ayahku telah tercapai secara mutlak. Karena cita-cita ayahku ingin menjadi guru tidak berkesampaian, maka keturunannya, yaitu anak-anak dan cucu-cucunya hampir semua menjadi guru atau kawin dengan guru. Begitu kuat cita-cita ayahku untuk menjadi guru…..

Pada tahun 1964 keluarga Kosasih-Nanan di Purworejo dianugerahi anak ketiga, perempuan, diberi nama Raden Nina Kristiningsih, merupakan cucuku kedelapan.

Sementara itu keluarga Kurniasari-Gunawan di Jakarta dianugerahi anak keempat, perempuan, diberi nama Yulia Surjantini, merupakan cucuku kesembilan.

Pada akhir tahun 1964 Gunawan mengantarkan para seniman Indonesia yang mengadakan muhibah kebudayaan ke Vietnam Utara dengan pesawat Hercules. Karena pada waktu itu Indonesia sedang melakukan ‘konfrontasi’ dengan Malaysia, yang disebut ‘Dwikora’ (Dwi Komando Rakjat), maka ketika lewat di atas wilayah Malaysia pesawat Hercules harus memutuskan semua jalur komunikasi dan harus terbang rendah sekali di atas permukaan laut untuk menghindari pantauan radar penjaga pantai Malaysia.

“Saya merasa ngeri sekali,” kata Gunawan sepulangnya dari Vietnam Utara, “entah bagaimana nasib pesawat Hercules itu kalau terpantau oleh penjaga pantai Malaysia yang dibantu Tentara Inggris itu, dan ditembaknya.”

Pada tahun 1965 dari Surabaya dikabarkan bahwa keluarga Kurlinasih-Suhandoko dianugerahi anak ketiga, perempuan, diberi nama Alit Andadari, merupakan cucuku yang kesepuluh.

Pada tahun yang sama dari Purworejo juga dikabarkan bahwa keluarga Kosasih-Nanan

dianugerahi anak keempat, laki-laki, diberi nama Raden Dadang Nugraha, merupakan cucuku kesebelas.

Pada tanggal 30 September 1965 meletuslah pemberontakan PKI yang disebut ‘G30S/PKI’ (Gerakan 30 September/PKI) yang menculik dan membunuh para Jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya, Jakarta. Yang gugur adalah: Letnan Djenderal Ahmad Jani, Major Djenderal R. Soeprapto, Major Djenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Major Djenderal Soewondo Parman, Brigadir Djenderal Donald Izacus Pandjaitan, dan Brigadir Djenderal Soetojo Siswomihardjo. Gugur juga Letnan Satu Pierre Andreas Tendean dan Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun. Di Yogyakarta gugur Kolonel Katamso Dharmokoesoemo dan Letnan Kolonel Soegijono Mangoenwijoto.

Kuswara sudah lama sekali tidak ada kabarnya. Setiap dikirim surat selalu tidak membalasnya. Oleh karena kami merasa kuatir, akhirnya Kurmajani mengirim surat kepada Kepala Tata Usaha SMP Negeri Tanjungsakti (Bengkulu) menanyakan keadaan kakaknya. Dari padanya kami mendapat balasan yang mengatakan bahwa Kuswara sudah pindah menjadi Kepala SMP Negeri Manggar (Pulau Belitung). Merasa dirinya dipergoki, barulah Kuswara membalas surat-surat kami.

Sementara itu anakku keenam, Kurmajani, menikah dengan Ijang Sutarjo di Darmaraja. Ijang, yang pegawai Pemerintahan Daerah Kotamadya Bandung ini, adalah adik Gunawan, suami anakku keempat, Kurniasari. Jadi kakak kawin dengan kakaknya dan adik kawin dengan adiknya.

Selanjutnya, keluarga Kurniasari-Gunawan di Jakarta dianugerahi anak kelima, laki-laki, diberi nama Teddy Sukmana, merupakan cucuku kedua belas.

Pada tahun 1966 dari Purworejo aku mendapat kabar bahwa Kosasih telah berhasil meraih gelar Sarjana Pendidikan dari IKIP (Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri di Yogyakarta.

Atas keberhasilannya ini aku hanya bisa mengucapkan selamat kepadanya disertai kata-kata, “Bapih merasa bahagia karena bisa menyaksikan keberhasilanmu sementara Bapih masih hidup,

sehingga Bapih bisa membanggakan keberhasilanmu dan menceritakannya kepada setiap orang yang kujumpai.”

Pada tanggal 27 Maret 1968 dilakukan pelantikan Djenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS no. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia.

Keluarga Kurmajani-Ijang pada tahun 1968 dianugerahi anak pertama, perempuan, diberi nama Lengga Prijani, merupakan cucuku ketiga belas. Pada masa remajanya Lengga tampil di TVRI dengan lagu-lagunya dan pernah mengorbitkan albumnya dengan judul ‘Bisikan Cinta’ dengan dukungan Obby Messakh dan Deddy Dores lewat ‘Gajah Mada Record’.

Pada tahun yang sama keluarga Kosasih-Nanan di Purworejo dianugerahi anak kelima,

perempuan, diberi nama Raden Rika Tresnasari, merupakan cucuku keempat belas. Di masa kanak-kanaknya Rika muncul sebagai juara I Bintang Kecil dalam Perlombaan Seni Suara versi ‘HAPMI’ sekabupaten Bandung di Cimahi (Bandung).

Pada tahun 1970 Keluarga Kurmajani-Ijang di Bandung dianugerahi anak kedua, laki-laki, diberi nama Darwin Pribadi, merupakan cucuku kelima belas.

Pada tahun yang sama keluarga Kosasih-Nanan di Purworejo dianugerahi anak keenam,

perempuan, diberi nama Raden Rini Restiningsih, merupakan cucuku keenam belas.

Pada tanggal 21 Juni 1970 Dr. Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama,

Proklamator Kemerdekaan Indonesia, meninggal dunia di Jakarta dan dimakamkan di makam keluarga di Blitar (Jawa Timur).

Dua bulan sebelum kepindahannya menjadi guru pada SMA Negeri Serang (Jawa Barat) pada tahun 1971, keluarga Kosasih-Nanan di Purworejo dianugerahi anak ketujuh, laki-laki, diberi nama Raden Bambang Pribadi, merupakan cucuku ketujuh belas.

Sementara itu keluarga Kurlinasih-Suhandoko di Surabaya dianugerahi anak keempat,

perempuan, diberi nama Katrin, merupakan cucuku kedelapan belas.

Pada tanggal 17 Agustus 1971 diberlakukan Ejaan Baru untuk menuliskan Bahasa Indonesia yang diberi nama EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan) sebagai pengganti Edjaan Republik Indonesia (Edjaan Suwandi). Perbedaan yang terutama EYD dengan Edjaan Suwandi adalah: huruf tj diganti menjadi huruf c (misalnya: ‘tjatjat’ menjadi ‘cacat’), huruf dj menjadi huruf j (misalnya: ‘djedjak’ menjadi ‘jejak’), huruf j menjadi huruf y (misalnya: ‘jakin’ menjadi ‘yakin’). Di samping itu ada juga perubahan-perubahan ejaan lainnya.

Pada tahun 1973 ibu-mertuaku Njimas Andi binti Mas Emon, meninggal di Darmaraja dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Kapunduhan’, Sukaratu.

Pada tahun yang sama, cucuku ketujuh belas, Bambang Pribadi bin Kosasih Surapradja,

meninggal di Serang dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Asemgede’, Serang.

Keluarga Kosasih pindah ke Bandung pada akhir tahun 1973 dan menjadi guru pada SMA Negeri 6 di Jalan Belitung, Bandung, yang kemudian berganti nama menjadi SMA Negeri 9, Bandung.

Pada tahun 1977 Kuswara menikah di Banjar (Ciamis) dengan Dra. Gaswita Asmara Rama, Akuntan, kemudian pindah ke Banjar menjadi guru pada SMP Negeri Banjar. Demi keluarga, ia rela pindah ke Banjar dan meninggalkan jabatannya sebagai Kepala SMP Negeri Manggar (Pulau Belitung) untuk selanjutnya menjadi guru biasa.

2. B u y u t

Usiaku semakin tua saja. Setelah lahir anak-anakku, kemudian lahir cucu-cucuku. Sekarang disusul dengan kelahiran cicit-cicitku. Sekarang aku menjadi seorang buyut.

Pada tahun 1978 Tati menikah dengan Aip Syarifudin di Bandung. Setahun kemudian lahir anak pertama, perempuan, diberi nama Sari Yuliawati, merupakan cicitku yang pertama.

Sayang, usia Sari hanya sebulan saja. Sari Yuliawati binti Aip Syarifuddin meninggal dan

dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Cikutra’, Bandung.

Pada tanggal 25 Juni 1980 aku merayakan perkawinan emasku, yaitu hari ulang tahun ke-50 perkawinanku. Semua anakku dan menantuku beserta cucu-cucuku datang. Kami mengadakan selamatan sekedarnya dengan mengundang para tetangga. Kami mendapat macam-macam hadiah dari anak-anakku dan cucu-cucuku. Dari keluarga Kuswara-Gaswita kami mendapat sepasang cincin emas untuk dipakai olehku dan oleh istriku. Pada hari itu aku merasa bahagia sekali.

Keluarga Kuswara-Gaswita di Banjar pada tahun itu dianugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Raden Gaswara Hikmah Utama, merupakan cucuku kesembilan belas.

Dua tahun kemudian mereka dianugerahi anak kedua, laki-laki, diberi nama Raden Galura Teja Utama, merupakan cucuku kedua puluh.

Keluarga Tati-Aip di Bandung pada tahun 1982 dianugerahi anak kedua, perempuan, diberi nama Risa Feminasari, merupakan cicitku kedua.

Pada tahun yang sama Tatang menikah dengan Ika Sriyana, BBA di Serang.

Pada tahun 1983 Kosasih bersama istrinya dan dua orang anak perempuannya, Rika dan Rini, berangkat ke Rangoon (Republik Sosialis Burma) untuk menjadi guru diperbantukan pada Departemen Luar Negeri selama empat tahun di Sekolah Indonesia Rangoon. Tiga bulan kemudian, karena Kepala Sekolah Indonesia Rangoon pulang ke Indonesia, Kosasih diangkat menjadi Kepala Sekolah Indonesia Rangoon.

Jadi, ramalan orang India di Bandung dulu menjadi kenyataan lagi: Kosasih bekerja di lur negeri. …Wallahu a’lam bissawab.

Karena Duta Besar Indonesia untuk Republik Sosialis Burma merangkap sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Nepal, pada bulan Agustus 1983 itu Rika mengikuti rombongan kesenian Kedutaan untuk merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Kathmandu (Kerajaan Nepal).

Selanjutnya Rika mengikuti PORSENI (Pekan Olahraga dan Seni) bagi sekolah-sekolah

Indonesia di luar negeri yang diselengga-rakan di Bangkok (Kerajaan Muang Thai).

Pada tahun yang sama keluarga Tatang-Ika di Bandung dianugerahi anak pertama, perempuan, diberi nama Raden Astri Wanda Laksakesuma, merupakan cicitku ketiga.

Pada tahun 1984, kakakku, Nyi Raden Antria binti Raden Sastrapradja meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun di Darmaraja dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Batununggul’, Darmaraja.

Pada tahun yang sama keluarga Kurniasari-Gunawan di Jakarta menikahkan Tenny dengan Sapto Pranggono.

Pada musim haji tahun itu Kuswara bersama istrinya mengajakku dan istriku untuk menunaikan ibadah haji. Karena aku dan istriku sudah mulai uzur, dengan menyesal sekali ajakannya itu kutolak. Akhirnya hanya mereka berdua yang menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah. Selama mereka pergi, kedua anaknya tinggal bersamaku di Darmaraja. Sepulangnya dari Ibadah Haji mereka dianugerahi anak ketiga, perempuan, diberi nama Raden Garmina Prasasti Utami, merupakan cucuku ke-21.

Demi anak-anak, Kuswara memasuki masa pensiun sebelum waktunya, yaitu pada usia lima puluh tahun. Ia memutuskan untuk mengasuh anak-anak di rumah, sehingga anak-anak tidak terlantar ditinggal oleh ayah dan ibunya. Istrinya, Gaswita, bekerja sebagai akuntan.

Pada tahun yang sama keluarga Tenny-Sapto di Jakarta dianugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Prasetya Pranggono, merupakan cicitku keempat.

Pada tahun 1985 Nanan bersama Rika kembali ke Indonesia dari Rangoon, sedangkan Kosasih dan Rini masih tinggal di sana. Di Rangoon, Kosasih menjalani operasi mata katarak pada mata kanan dan mata kirinya. Sementara itu Rini di Rangoon memperkuat kontingen Sekolah Indonesia Rangoon ke PORSENI di Manila (Republic of Phillipin). Selanjutnya Rini pulang sendirian dari Burma ke Indonesia pada tahun 1986, sedangkan Kosasih baru pulang tahun 1987 dan ditempatkan kembali sebagai guru pada SMA Negeri 9, Jalan Letnan Suparmin, Bandung.

Pada tahun 1988 kakakku, Raden Adjep Martawisastra bin Raden Sasrtrapradja, meninggal di Babakan Surabaya, Bandung dalam usia 87 tahun dan dimakamkan di Tempat Pemakaman umum ‘Cikutra’, Bandung.

Pada tahun yang sama dikabarkan bahwa keluarga Tati-Aip dianugerahi anak ketiga, laki-laki, diberi nama Ahmad Syarif Hidayat, merupakan cicitku kelima.

Sementara itu keluarga Tatang-Ika dianugerahi anak kedua, laki-laki, diberi nama Raden Rangga Radita Raspati, merupakan cicitku keenam.

Pada tahun ini keluarga Kurniasari-Gunawan di Jakarta menikahkan Yulia dengan Heru

Prastowo.

Pada tahun yang sama keluarga Tenny-Sapto dianugerahi anak kedua, laki-laki, diberi nama Pamungkas Pranggono, merupakan cicitku ketujuh.

Pada tahun 1990 Gunawan memasuki masa pensiun dengan pangkat terakhir Kapten TNI/AU. Sementara itu, anaknya yang pertama, Anne, menikah dengan Kolonel TNI/AU Sucipto di Jakarta pada tahun 1991, dan setahun kemudian dinugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Kiko Rizky Utama Putranto, merupakan cicitku kedelapan.

Ruddy menikah dengan Titiek Trisnowati di Jakarta, yang kemudian mempunyai seorang anak perempuan, diberi nama Anindita Sukmawan, merupakan cicitku kesembilan.

Selanjutnya keluarga Yulia-Heru di Jakarta dianugerahi anak pertama, perempuan, diberi nama Haning Herlia Nugrahaning Widi, merupakan cicitku kesepuluh, dan dua tahun kemudian dianugerahi anak kedua, perempuan, diberi nama Rully Ruliana Nur Bianti, merupakan cicitku kesebelas.

Dari keluarga Kurmayani-Iyang di Bandung diterima kabar bahwa Lengga telah lulus dari Akademi Sekretaris ‘Patuha’ Bandung lalu bekerja pada Bank BCA (Bank Central Asia) di Bandung.

Masih kabar dari Bandung, dari keluarga Kosasih-Nanan dibe-ritahukan bahwa keluarga Tati-Aip bercerai.

Dari Surabaya diterima kabar bahwa Andri lulus dari Fakultas Ekonomi ‘Universitas Surabaya’ di Surabaya, sedangkan Alit meraih gelar Insinyur Perikanan dari ‘Universitas Dr. Sutomo’ di Surabaya.

Sementara itu ayahnya, Suhandoko, memasuki masa pensiun dalam usia enam puluh tahun.

Pada tahun 1993 Kosasih menyusul memasuki masa pensiun dalam usia 61 tahun. Pada tahun yang sama keluarga Kosasih-Nanan menikahkan Rika dengan Agam Komar Alamsyah dan Nina dengan Agus Noorsaman, SE di Bandung.

Dari keluarga kakakku, Raden Adjep Martawisastra almarhum dikabarkan bahwa suami Poppy Endang Puspitasari (salah seorang cucunya dari pasangan anaknya, Raden RoekminiH.A.Kastubi), yaitu Hayono Isman diangkat menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga dalam Kabinet Pembangunan VI Republik Indonesia. Aku dapat merasakan betapa bahagia hati kakakku almarhum di alam sana.

Pada tahun 1994 keluarga Yulia-Heru di Jakarta dianugerahi anak ketiga, laki-laki, diberi nama Muhammad Patria Laksono, merupakan cicitku kedua belas.

Pada tahun yang sama keluarga Rika-Agam dianugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Kenni Gandhira Alamsyah, merupakan cicitku ketiga belas.

Masih dari Bandung dikabarkan bahwa keluarga Kosasih-Nanan menikahkan Rini kepada Ade Hendi Wijaya di Bandung.

Pada tahun 1994 ini Kuswara telah bersafari dengan Toyota Kijang dari Bekasi (Jawa Barat) ke Tanjungsakti (Bengkulu) napak tilas waktu berdinas di sana. Di sana Kuswara diterima dengan penuh kehormatan dan kekeluargaan, sampai-sampai ia dinobatkan menjadi warga Tanjungsakti.

Di sana ia menyumbang sejumlah uang untuk merehabilitasi sebuah kuburan yang dianggap sebagai kuburan nenek moyang penduduk di sana. Dari rekaman videonya aku merasa bangga menyaksikan betapa anakku disegani dan dihormati di sana.

Sementara itu dari Jakarta diterima kabar bahwa Teddy telah meraih gelar Sarjana Ekonomi dari ‘Universitas Pembangunan’ di Yogyakarta.

Pada tahun yang sama, kakak iparku, Kang Wikanta, meninggal di Tanjungkerta dan

dimakamkan di sana.

3. Surah Alfatihah

Pada akhir-akhir ini aku sering teringat kepada Surah Alfatihah. Aku dapat merasakan betapa tinggi kandungan arti tafsirnya. Aku dapat merasakan betapa agung Allah itu bagiku dan betapa kecil diriku di hadapan-Nya. Ayat-ayat yang paling sering kuingat adalah: ‘Iyya ka na’budu wa iyya ka nasta’inu’ (Hanya) kepada-Mu aku menyembah dan (hanya) kepada-Mu aku minta pertolongan.

Pada masa tuaku ini aku sering dirongrong macam-macam penyakit, di antaranya: susah buang air kecil, ambeien, tekanan darah tinggi, rematik, dan penyakit mata katarak. Anak-anak dan cucu-cucuku menganjurkan agar aku menjalani operasi saja. Ingin juga aku menjalani operasioperasi itu, agar kesehatanku pulih kembali di usiaku yang ke-86 ini.

Ketika ada operasi masal katarak di Rumah Sakit Umum Darma-raja, aku mendaftarkan diri untuk menjalani operasi. Pada pemeriksaan pertama aku dijadwalkan untuk menjalani operasi tersebut sebulan kemudian. Pada waktu yang ditentukan itu aku sudah siap, tetapi ketika dilakukan periksa ulang, ternyata operasiku dibatalkan karena, katanya, katarakku belum matang. Aku batal menjalani operasi.

Pembatalan operasiku ini mengingatkan aku kepada pesan ayahku almarhum. Pada waktu itu aku minta izin kepada ayahku untuk menjalani operasi paru-paru karena diduga mengidap penyakit TBC.

Mendengar ini, ayahku menjawab, “Kakakmu Adjep sudah menjalani operasi usus buntu,

kakakmu Antria sudah menjalani operasi rahim, masa Dodo harus menjalani operasi juga? Masa, semua anakku harus menjalani operasi? Kedua anakku yang menjalani operasi sudah selamat, siapa tahu kalau Dodo menjalani operasi, tidak tertolong. Tidak usah operasi! Nanti juga akan sembuh dengan obat!”

Benar juga kata-kata ayahku itu, setelah melakukan pengobatan yang intensif, penyakit paruparuku sembuh tanpa operasi. Mungkin pembatalan operasi ini disebabkan oleh ayahku almarhum di alam sana tetap tidak mengizinkan aku menjalani operasi.

Tapi sekarang, pada usiaku setua ini, tidak mungkin penyakitku akan sembuh tanpa menjalani operasi atau tanpa pengobatan yang sangat intensif.

Dalam masa pensiun ini kadang-kadang aku berpikir, “Aku ini sudah menjalani masa pensiun selama 31 tahun, jadi hampir sama dengan masa dinasku. Apakah Pemerintah tidak merasa rugi menggaji orang yang sudah tidak aktif lagi seperti aku untuk sekian lamanya?”

4. Jatuh Sakit

Pada hari Kamis tanggal 10 September 1994, ketika akan buang air kecil, aku tergelincir dan terjatuh di kamar mandi. Aku tidak bisa bangun lagi. Baru setelah ditolong oleh istriku dan adikiparku, Mas Odjo, yang kebetulan sedang ada di Darmaraja untuk mengambil gaji pensiunnya, aku dapat kembali ke tempat tidur.

Keesokan harinya, pukul empat sore, keadaanku diberitahukan lewat tilpon kepada Kosasih di Bandung. Kosasih meneruskan berita itu kepada semua anak-cucuku di Bandung dan Jakarta lewat tilpon. Pada malam itu juga, sejak pukul tujuh malam sampai dinihari, mereka berdatangan ke Darmaraja, kecuali yang dari Surabaya belum datang karena mereka sengaja belum diberi tahu dulu.

Hari Senin tanggal 11 September 1994 pukul tujuh pagi aku masuk Rumah Sakit Umum

Darmaraja untuk dirawat. Tiga hari kemudian, karena ingin mendapat perawatan yang lebih

intensif, aku dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Sumedang.

Sementara itu anak-anakku sudah datang semua, juga yang dari Surabaya, kecuali seorang menantuku, Gaswita, dan anak-anaknya dari Bekasi. Suaminya, Kuswara, datang sendirian.

Ketika mulai sakit tiba-tiba aku merasa ada yang berbisik kepadaku, “Dua puluh!” katanya. Artinya? Entahlah aku tidak mengerti. Hal ini kuceritakan kepada anak-cucuku.

“Apakah yang dimaksud dua puluh itu, Pih,” tanya seorang cucuku ketika hal itu kuceritakan kepada mereka.

“Tidak tahu,” jawabku sambil tertawa, “kata-kata itu terde-ngar begitu saja, entah Bapih

bermimpi entah sedang terjaga, Bapih tidak menyadarinya.”

Menjelang tanggal 20 September 1994 kulihat seluruh keluarga panik, gelisah, dan cemas.

Mereka menduga aku akan meninggal pada tanggal itu, sesuai dengan angka ‘dua puluh’ yang pernah kuberitahukan. Ternyata aku masih bertahan. Ketika tanggal 20 September 1994 telah terlewat, mereka kelihatan lega dan gembira.

Menjelang tanggal 20 Rabi’ulawwal 1415, bertepatan dengan tanggal 26 September 1994 mereka kelihatan cemas lagi. Ternyata tidak terjadi apa-apa dan aku masih juga bisa bertahan. Mereka tenang kembali.

Keluarga Surabaya, karena meskipun Suhandoko sudah pensiun, ia masih mengajar secara honorer di sekolah swasta, dan Luki sudah bekerja, pulang lebih dulu. Juga menantuku, Iyang, dan cucu-cucuku yang masih bekerja, semuanya pulang juga. Yang tinggal hanyalah Kosasih yang sudah pensiun, sedangkan istrinya, Nanan, pulang ke Bandung karena sedang dalam pemeriksaan intensif menjelang operasi batu ginjalnya. Di samping itu keluarga Gunawan yang juga sudah pensiun, tetap tinggal di Darmaraja, hanya direncanakan akan pulang dulu ke Jakarta karena istrinya, Kurniasari, sedang dalam perawatan intensif penyakit kanker rahim. Yang juga tinggal menungguiku adalah Anne dan anaknya, Kiko. Sementara itu anak-cucuku kadangkadang datang secara bergantian untuk menungguiku di RSU Sumedang.

Di RSU Sumedang pernah aku dikecewakan oleh oran-orang. Pada waktu itu aku sudah lelah berbaring terus, lalu aku minta didudukkan. Yang pertama kuminta mendudukkanku adalah Kosasih yang kebetulan sedang menungguiku. Ia hanya menjawb, “Kata Dokter Bapih tidak boleh duduk.”

Setelah itu masuk Teddy. Ketika aku minta didudukkan, jawabannya sama, dilarang oleh Dokter.

Ketika Rohanda, pegawai PD dan K yang setia kepadaku dan sedang menungguiku, masuk ruangan, aku meminta, “Tolong, Rohanda, bangunkan!” Rohanda hanya menggelengkan kepala.

Akhirnya karena setiap orang tidak mau meluluskan permintaanku, aku mulai marah, “Kenapa Dokter itu sok berkuasa sekali? Membuat peraturan seenaknya! Bukankah yang paling berkuasa itu Allah? Tidak! Aku tidak mau tunduk kepada perintah Dokter. Aku hanya tunduk kepada perintah Allah!”

Mendengar aku marah-marah seperti itu semua orang di sekelilingku diam. Aku mengulurkan tanganku minta dibangunkan, tetapi tidak seorang pun mau menolongku.

“Ayo, tunggu apa lagi? Bangunkan aku! Aku mau duduk! Aku punya hak untuk duduk! Aku ini orang bebas, orang merdeka, punya hak untuk bangun dan untuk duduk!”

Orang-orang masih diam. Aku mencoba bangun sendiri, tetapi sudah tidak mampu lagi.

Kuulurkan lagi tanganku minta bantuan, tetapi tetap tak ada orang yang mau membantuku.

“Heran,” kataku masih marah, “kenapa sih, tidak ada orang yang mau menolongku? Kenapa? Ya Allah, tolonglah aku, aku ingin bangun dan ingin duduk.”

Perlahan-lahan Kosasih mendekatiku dan berkata, “Pih, Allah itu sudah memberi perintah

kepada Dokter, agar Bapih tetap berbaring saja, tidak boleh bangun dan tidak boleh duduk, karena Bapih sedang sakit. Dokter itu tidak memberi perintah semaunya, melainkan menurut perintah Allah juga.”

Mendengar kata-kata itu aku diam. Mengerti.

Karena setelah setengah bulan dirawat di RSU Sumedang kesehatanku tidak berangsur baik, aku pulang ke rumah di Darmaraja. Sebetulnya kalau dirawat di rumah, bagiku tidak menjadi masalah, tetapi ada kendalanya, yaitu karena sukar buang air kecil aku harus memakai kateter, dan karena tidak punya selera makan aku harus diinfus. Kedua hal ini hanya bisa dilaksanakan di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Akhirnya aku kembali dirawat di RSU Darmaraja untuk pemasangan kateter dan infus.

Pada awal bulan Oktober 1994 kesadaran dan kemampuanku semakin berkurang, sampai-sampai aku sudah tidak mampu lagi menandatangani daftar gaji pensiunku. Hanya dengan kebijaksanaan Kepala Pos dan Giro Darmaraja-lah aku dapat memperoleh gaji pensiunku.

Keadaan penyakitku kurasakan semakin repot, sampai-sampai aku berkata kepada Kosasih, “Rupanya penyakit Bapih ini tidak akan dapat sembuh lagi.”

“Kenapa Bapih berkata begitu?” tanya Kosasih, “Bapih harus percaya, bahwa Allah menurunkan penyakit kepada manusia ini selalu dengan obat penyembuhnya. Tinggal kita bersungguhsungguh dan bertawakkal mengusahakan obat itu.”

“Bapih percaya,” jawabku ragu…..

Selama aku sakit ada seorang keluargaku bernama Juju yang diminta tolong untuk menungguiku

terus-menerus setiap malam, sedangkan kalau siang diaplus oleh anak-anakku yang lain. Juju adalah cucu adik sepupu istriku.

Kepada Juju, secara tidak sadar aku pernah bertanya, “Ju, berapa buah jarimu?”

“Ya, sepuluh,” jawabnya sambil tertawa.

“Semuanya dengan jari kakimu?” tanyaku lagi.

“Kalau dengan jari kaki, ya, dua puluh,” jawabnya lagi. “Ada apa, sih, Bapih tanya-tanya jari?”

“Tidak,” jawabku, “jariku juga ada dua puluh.”

“Kenapa sih, Bapih menyebut-nyebut angka dua puluh terus?” tanya Juju penasaran.

“Ya, jika dipikir, cucuku juga, jika dikurangi Bambang yang meninggal, semuanya dua puluh,” kataku lagi.

Mendengar kata-kataku Juju terdiam.

Pada tanggal 19 Oktober 1994 sore, ketika aku sedang disuapi makan oleh penungguku, Juju, aku merasa gelisah sekali. Ketika ia menyuruhku membuka mulut, aku merasa malas sekali. Aku merasa lemah dan tidak berdaya sama sekali. Akhirnya aku tidak sadarkan diri.

Segera keluargaku di rumah diberi tahu. Mereka panik. Aku dibawa pulang ke rumah, lalu aku dibaringkan di tengah rumah, dikelilingi anak-anak dan cucu-cucuku yang ada. Istriku sendiri tidak sampai hati menyaksikan keadaannku, yang tersengal-sengal karena sukar bernafas. Ia mengurung diri di kamar.

Ketika Kosasih masuk ke kamar dan memberitahukan keadaan diriku, istriku menjawab, “Ya, barangkali sudah waktunya, sudah cukup lama Bapih dan Emih hidup berdampingan. Barangkali seka-ranglah waktunya untuk berpisah……”

Aku merasa bangga atas ketabahan istriku menghadapi perpi-sahan ini. Aku bangga sekali!

Dan….., kapankah perpisahan ini akan terjadi? Kapankah? Malam inikah? Malam ini adalah tanggal 19 Oktober 1994 dan beberapa jam lagi akan menjadi tanggal 20 Oktober 1994.

“Ya Allah, inikah angka 20 yang Kaubisikkan kepadaku? Ya Allah, inikah saat yang

Kaujanjikan? Apakah sekarang ini saat aku harus menghadap-Mu? Jika benar, ya Allah,

kuserahkan diriku kepada-Mu….., maafkanlah semua dosa-dosaku selama hidup di dunia….., terimalah kedatanganku ini ke haribaan-Mu…… Allahu Akbar! Allahu Akbar! La illa ha illallaaaaah…..!”

E P I L O G

(dari penyunting)

1. Tahun 1994

Raden Dodo Surapradja bin Raden Sastrapradja meninggal pada hari Rabu tanggal 19 Oktober 1994 pukul 20.00 dalam usia 86 tahun, di rumah Jalan Raya Timur no. 333, Darmaraja (Sumedang), dimakamkan pada tanggal 20 Oktober 1994 di ‘Makam Keluarga Cigembor’, Darmaraja (Sumedang).

Keluarga Kosasih-Nanan di Bandung mengabarkan bahwa Nanan menjalani operasi ginjal.

Dengan demikian ginjalnya hanya tinggal satu lagi.

2. Tahun 1995

Keluarga Rini-Ade di Bandung dianugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Abi Kawitan

Wijaya, merupakan cicitnya keempat belas.

Lima bulan setelah Raden Dodo Surapradja meninggal, istrinya, Nyimas Pi’ah binti Mas

Sastradiria, jatuh sakit dengan mendadak dan meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 22 Maret 1995, pukul 15.00, dalam usia 79 tahun di Rumah Sakit Umum Darmaraja, dimakamkan pada tanggal 23 Maret 1995 di ‘Makam Keluarga Cigembor’ di samping makam suaminya.

Keluarga Kurniasari-Gunawan di Jakarta menikahkan Teddy kepada Ade Minah di Bogor.

Sebulan kemudian, Raden Kurniasari binti Raden Dodo Surapradja, yang sudah lama mengidap penyakit kanker rahim, meninggal pada tanggal 11 Juli 1995 dalam usia 58 tahun di rumah Kompleks Graha Indah Blok A-4 no. 5, Pondok Gede, Bekasi, dimakamkan di ‘Pemakaman AURI Graha Indah’ Pondok Gede, Bekasi.

Keluarga Nina-Agus di Tangerang dianugerahi anak pertama, perempuan, diberi nama Puput Andhini Ekaputri, merupakan cicitnya kelima belas.

Keluarga Kurlinasih-Suhandoko di Surabaya menikahkan Luki kepada Mulyo Riyanto dan dianugerahi anak pertama, perempuan, diberi nama Ayun, merupakan cicitnya keenam belas.

3. Tahun 1996

Keluarga Teddy-Minah dianugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Anugerah Ramadhan, merupakan cicitnya ketujuh belas.

Keluarga Kurlinasih-Suhandoko di Surabaya menikahkan Alit kepada Himawan Wijanarko.

Kelurga Alit-Himawan di Jakarta dianugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Vernanda Rizki Janarko, merupakan cicitnya kedelapan belas.

4. Tahun 1997

Keluarga Kosasih-Nanan di Bandung mengabarkan bahwa Nanan kena serangan tekanan darah tinggi sehingga mengalami stroke dan menjalani pembedahan untuk menanamkan pentil yang akan membuang cairan dari pembuluh otak ke dalam lambung. Sejak itu Nanan tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya.

Keluarga Nina-Agus di Tangerang dianugerahi anak kedua, laki-laki, diberi nama Boy Andika Dwiputra, merupakan cicitnya kesembilan belas.

5. Tahun 1998

Setelah menderita sakit lama, akhirnya pada tanggal 18 Pebruari 1998 Nanan Tresnaningsih binti Haji Iman Suwendi Kartadipura meninggal dunia dalam usia 56 tahun di rumah Jalan Manglayang I no. 2, Bandung, dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum ‘Sukasirna’, desa Palasari, Bandung.

Keluarga Kurmayani-Iyang menikahkan Lengga kepada Drs. Syukur Sabar di Bandung.

Keluarga Kosasih menikahkan Dadang kepada Darsiti, SH di Tegal.

Keluarga Rika-Agam di Bandung dianugerahi anak kedua, perempuan, diberi nama Meddi Nadia, merupakan cicitnya kedua puluh.

6. Tahun 1999

Keluarga Kurlinasih-Suhandoko di Surabaya menikahkan Andrini kepada Sumarso.

Keluarga Kurmayani-Iyang di Bandung menikahkan Darwin kepada Nina Herliana, BA.

Keluarga Lengga-Syukur dianugerahi anak pertama, perempuan, diberi nama Virliza Maraya, merupakan cicitnya ke-21.

Keluarga Anne-Sucipto di Jakarta dianugerahi anak kedua, perempuan, diberi nama Resti Utami Putranti, merupakan cicitnya ke-22.

Keluarga Dadang-Darsiti di Jakarta dianugerahi anak pertama, perempuan, diberi nama Raden Larasati Hasna Alifia, merupakan cicitnya ke-23.

7. Tahun 2000

Keluarga Tati menikahkan Risa kepada Rocky Rosdiana Gunawan di Bandung.

Keluarga Rini-Ade dianugerahi anak kedua, perempuan, diberi nama Nganti Rupa Kadua,

merupakan cicitnya ke-24.

Keluarga Darwin-Nina di Bandung dianugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Hikami Ariel Tangguh Pribadi, merupakan cicitnya ke-25.

Keluarga Andrini-Sumarso di Jakarta dianugerahi anak pertama, perempuan, diberi nama Mytha Agustina, merupakan cicitnya ke-26.

Keluarga Alit-Himawan di Jakarta dianugerahi anak kedua, perempuan, diberi nama Syafira Tasya, merupakan cicitnya ke-27.

Keluarga Risa-Rocky dianugerahi anak pertama, laki-laki, diberi nama Rizki Pratama Rosaputra, merupakan piut pertama.

8. Tahun 2001

Dari Bandung dikabarkan bahwa Tatang meraih gelar Sarjana Ilmu Politik dari ‘UT’ (Universitas Terbuka).dalam waktu hanya 3 tahun 10 bulan saja.

‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘‘ dst.

9. Tahun 2001

*****

LAMPIRAN I

B I O D A T A

1. N a m a : DODO SURAPRADJA (1908-1994)

2. Tempat lahir : kampung Ciwangi, desa Cibogo, kecamatan

Cadasngampar, kawedanan Darmaraja,

kabupaten Sumedang

3. Tanggal lahir : 20 Oktober 1908

4. Pendidikan : a. Volksschool di Darmaraja (1917-1920)

b. Vervolgschool di Darmaraja (1920-1922)

c. Normaalschool di Garut (1923-1927)

5. Pekerjaan :

1927-1930 Guru Sekolah Kelas II Babelan (Bekasi)

1930-1933 Guru Sekolah Kelas II Gang Secang (Jakarta)

1933-1935 Guru Vervolgschool Situraja (Sumedang)

1935-1944 Mantri Guru Vervolgschool Sukahaji (Majalengka)

1944-1946 Mantri Guru Sekolah Rakjat Wado (Sumedang)

1946-1955 Mantri Guru Sekolah Rakjat Darmaraja (Sumedang)

1955-1960 Penilik Pendidikan Masyarakat Kawedanan Darmaraja (Sumedang)

1960-1962 Kepala Inspeksi Pendidikan Masyarakat Kabupaten Pandeglang

1962-1963 Kepala Inspeksi Pendidikan Masyarakat Kabupaten Sumedang

1963-1994 Menjalani masa pensiun di Darmaraja (Sumedang)

6. Tempat meninggal : kampung Cipeundeuy, desa Sukaratu,

kecamatan Darmaraja, kawedanan Darmaraja,

kabupaten Sumedang,

7. Tanggal meninggal: 19 Oktober 1994 (pukul 20.00)

LAMPIRAN II:

SILSILAH KETURUNAN

1. RADEN MARDJA’IN SOERAPRADJA <> Nji Raden Atiah  (istri-I)

anak:

1.1. Raden Soeradimadja

1.2. Raden Adimadja

1.3. Raden Soemartapradja

1.4. Raden Sastrapradja

1.5. Nji Raden Soetidjah

1.6. Raden Winatapradja

RADEN MARDJA’IN SOERAPRADJA  <> Nji Raden Emod  (Istri-II)

anak:

1.7. Raden Natapradja

================================================================

1.4. RADEN SASTRAPRADJA  < > Njimas Natamoelia

anak:

1.4.1. Rd. Saleh

1.4.2. Rd. Adjep Martawisastra

1.4.3. Nji Rd. Antria

1.4.4. Rd. Dodo Surapradja

================================================================

1.4.4.

Rd. DODO SURAPRADJA  < >  Njimas Pi’ah

anak:

1.4.4.1. Drs. Rd. Kosasih Surapradja

1.4.4.2. Rd. Siti Roemhaja

1.4.4.3. Rd. H. Kuswara Surapradja

1.4.4.4. Rd. Kurniasari

1.4.4.5. Rd. Kurlinasih

1.4.4.6. Rd. Kurmayani

1.4.4.1. Drs. Rd. KOSASIH SURAPRADJA

istri:

Nanan Tresnaningsih

anak:

1.4.4.1.1. Rd. Tatang Raspati Surapradja, SIP

1.4.4.1.2. Rd. Tati Tresnawati

1.4.4.1.3. Rd. Nina Kristiningsih

1.4.4.1.4. Rd. Dadang Nugraha Surapradja

1.4.4.1.5. Rd. Rika Tresnasari

1.4.4.1.6. Rd. Rini Restiningsih

1.4.4.1.7. Rd. Bambang Pribadi Surapradja

1.4.4.1.1. Rd. TATANG RASPATI SURAPRADJA, SIP

istri:

Ika Sriyana, BBA

anak:

1.4.4.1.1.1. Rd. Astri Wanda Laksakesuma

1.4.4.1.1.2. Rd. Rangga Radita Raspati

1.4.4.1.2. Rd. TATI TRESNAWATI

suami:

Aip Syarifuddin

anak:

1.4.4.1.2.1. Sari Yuliawati

1.4.4.1.2.2. Risa Feminasari

1.4.4.1.2.3. Ahmad Syarif Hidayat

1.4.4.1.2.2.

RISA FEMINASARI

suami:

Rocky Rosdiana Gunawan

anak:

1.4.4.1.2.2.1. Rizki Pratama Rosaputra

1.4.4.1.3. Rd. NINA KRISTININGSIH

suami:

Agus Noorsaman, SE

anak:

1.4.4.1.3.1. Puput Andhini Ekaputri

1.4.4.1.3.2. Boy Andhika Dwiputra

1.4.4.1.4. Rd. DADANG NUGRAHA SURAPRADJA

istri:

Darsiti, SH

anak:

1.4.4.1.4.1. Rd. Larasati Hasna Alifia

1.4.4.1.5. Rd. RIKA TRESNASARI

suami:

Agam Komar Alamsyah

anak:

1.4.4.1.5.1. Kenni Gandira Alamsyah

1.4.4.1.5.2. Meddi Nadia

1.4.4.1.6. Rd. RINI RESTININGSIH

suami:

Ade Hendi Wijaya

anak:

1.4.4.1.6.1. Abi Kawitan Wijaya

1.4.4.1.6.2. Nganti Rupa Kadua

1.4.4.3. Rd. H. KUSWARA SURAPRADJA

istri:

Dra. Rd. Hj. Gaswita Asmara Rama, ak.

anak:

1.4.4.3.1. Rd. Gaswara Hikmah Utama

1.4.4.3.2. Rd. Galura Teja Utama

1.4.4.3.3. Rd. Garmina Prasasti Utami

1.4.4.4. Rd. KURNIASARI

suami:

Kapten TNI/AU (purn) H. Anen Gunawan

anak:

1.4.4.4.1. Anne Sriyani

1.4.4.4.2. Ruddy Sukmawan

1.4.4.4.3. Tenny Suryani

1.4.4.4.4. Yulia Suryantini

1.4.4.4.5. Teddy Sukmana, SE

1.4.4.4.1. ANNE SRIYANI

suami:

Kolonel TNI/AU Sucipto

anak:

1.4.4.4.1.1. Kiko Rizki Utama Putranto

1.4.4.4.1.2. Resti Utami Putranti

1.4.4.4.2. RUDDY SUKMAWAN

istri:

Titiek Trisnowati

anak:

1.4.4.4.2.1. Anindita Sukmawan

1.4.4.4.3. TENNY SURYANI

suami:

Sapto Pranggono

anak:

1.4.4.4.3.1. Prasetya Pranggono

1.4.4.4.3.2. Pamungkas Pranggono

1.4.4.4.4. YULIA SURYANTINI

suami:

Heru Prastowo

anak:

1.4.4.4.4.1. Haning Herlia Nugrahaning Widi

1.4.4.4.4.2. Rully Ruliana Nurbianti

1.4.4.4.4.3. Muhammad Patria Laksono

1.4.4.4.5. TEDDY SUKMANA, SE

istri:

Ade Minah

anak:

1.4.4.4.5.1. Anugerah Ramadhan

1.4.4.5. Rd. KURLINASIH

suami:

Suhandoko, BA

anak:

1.4.4.5.1. Luki Handayani

1.4.4.5.2. Andrini

1.4.4.5.3. Ir. Alit Andadari

1.4.4.5.4. Katrin

1.4.4.5.1.

LUKI HANDAYANI

suami:

Mulyo Riyanto

anak:

1.4.4.5.1.1. Ayun

1.4.4.5.2. ANDRINI

suami:

Sumarso

anak:

1.4.4.5.2.1. Mytha Agustina

1.4.4.5.3. Ir. ALIT ANDADARI

suami:

Himawan Wijanarko

anak:

1.4.4.5.3.1. Vernanda Rizki Janarko

1.4.4.5.3.2. Syafira Tasya

1.4.4.6. Rd. KURMAYANI

suami:

Iyang Sutaryo

anak:

1.4.4.6.1. Lengga Priyani

1.4.4.6.2. Darwin Pribadi

1.4.4.6.1. LENGGA PRIYANI

suami:

Drs. Syukur Sabar

anak:

1.4.4.6.1.1. Virliza Maraya

1.4.4.6.2. DARWIN PRIBADI

istri:

Nina Herliana, BA

anak:

1.4.4.6.2.1. Hikami Ariel Tangguh Pribadi

Tinggalkan komentar